wolulas

"Eh princess. Mukanya bahagia banget tuh. Nyenyak banget ya tidur."

Aku meringis.

"Vi, ada nggak orang galau yang cuma bertahan beberapa menit? Waktu cowoknya keluar kamar, gue tanya, 'susah ya, Mas, dirayunya? Belum baikan?' Dengan senyuman dijawab 'sudah kok, Cha, makasih ya'. Udah yakin gue! Nyesel banget semalam ngerasa khawatir."

Nasib deh bakalan jadi bulan-bulanan Cacha. Makanya, waktu Via terlihat senyum salah tingkah menanggapi obrolan Cacha, aku memilih pura-pura nggak ikut andil dengan terus melakukan niatku datang ke dapur tadi.

Mau ngapain, Hooman?

Mau minum teh hangat, sarapan roti.

"Bawa ke kamar aja ah, di dapur auranya lagi panas," seruku riang. Aku langsung nyelonong pergi setelah Cacha mendengus sambil bilang 'najis' andalannya itu.

Tak patut dicontoh sama sekali. Ck, perusak bangsa. Kalau aku kan masih mending. Meskipun, okay paham sih semalam tingkahku memang sungguh kekanakan. Harusnya, setelah tahu kalau Ingga berbohong, aku langsung aja bilang dia. Atau, yasudah, ngapain pakai nangis berlebihan begitu.

Enaknya kalau tinggal teori pembenaran. Padahal, semalam rasanya memang nyakitin. Oh wait, lagipula, aku belum percaya seratus persen walau semalam sudah mantap diyakinkan oleh Ingga. Antara Regan-Dita-Yudha-Laura. Aku yakin mereka berempat nggak bisa diabaikan begitu aja.

Terlebih Laura.

Coba dong diteliti lagi. Dia kan mantan Bapak Ingga yang super gemas itu. Mereka pisah bukan karena sudah nggak saling cinta, tetapi karena perbedaan prinsip dan keharusan semesta. Artinya, bisa aja mereka masih menyayangi. Kok bisa dia hamil dengan Regan? Atau, minimal, kalaupun cintanya bersama Ingga sudah musnah, gimana mungkin dia bisa mau hamil oleh teman mantannya?

Laura, Laura, kamu sepakar apa sampai bisa bikin pakar sepertiku kebingungan begini?

Pusing banget sih masalah percintaan ini.

Aku bangun dari sofa setelah mendengar denting handphone. Di mana aku taruh benda itu semalam? Kok nggak ada di nakas? Ya Tuhan, Glara, ternyata masih di bawah bantal.

Senyumku otomatis melebar begitu tahu siapa yang ngirim chat sekaligus isi pesannya. Fyi aja, aku kasih nama itu sepulangnya dari kejadian aku memergokinya masuk ke apartemen. Belum akan kuubah sampai aku memastikan Ingga nggak membuatku pusing dan marah lagi.

😍🥰👅😡😱
saya ke rumahmu buat ajak sarapan, boleh?

Yaaaah, aku memandang nelangsa gelas teh hangat dan piring bekas wadah rotiku tadi. Ah, tapi nggak apa, aku nggak akan naik drastis cuma karena sarapan dua kali. Lho, ngapain Ingga sarapan jam segini? Bukannya dia morning person?

Aku buru-buru menggelengkan kepala.

boleh banget🤭.

cacha ada di rumah enggak?

di dapur, lagi bikin pesenan.
coba tebak dia bikin apa?

kenapa tuh?

Aku terbahak. Kupikir, dia beneran sudah jadi murid tercerdas sekaligus tersayangnya Bu Guru Glara. Ternyata, pemahamannya tentang tebak-tebakan masih level bawah. Dia bahkan belum bisa membedakan aku sedang memberinya tebakan gombalan atau memintanya menjawab pertanyaanku sungguhan.

Bukan masalah, aku akan dengan sabar menjadi gurunya.

Setelah itu, aku memberitahu Cacha kalau pacarku mau datang ke sini dan memberinya makan juga. Mukanya sih berbinar banget, karena katanya kebetulan sekali dia hari ini mau istirahat di rumah.

Ish, sebenarnya males kalau pacaran ada Cacha.

Siap-siap dulu ah, menyambut pangeran penuh tanya.







***







"Ini sayur buatannya Bu Ajeng, Mas?"

"Iya. Enak?"

"Banget. Tahu gitu aku terima aja ya perjodohannya, punya mama mertua paket lengkap begini."

Yang diajak ngomong cuma senyum, salah tingkah sepertinya.

Wow, udaranya kok jadi panas? Daging sapinya juga mendadak jadi keras. Padahal, pertama tadi makan, semuanya serba pas dan enak. Sop daging memang kecintaan Cacha, tetapi bukan berarti aku enggak doyan.

"Buset, mau sulap bahan piring apa gimana, Gla? Kenceng amat nyendokinnya," kata Cacha, tanpa merasa berdosa.

"Dagingnya keras?" Si Ing menatapku dengan tatapan polos, jadi enggak gemas. "Punya saya empuk, mau coba yang ini?"

"Enggak."

"Saya aja, Mas, mau coba punya Mas Ingga. Kayaknya daging saya juga mendadak keras. Sini, aw, makasih."

Aku melongo, menatap Cacha dan Ingga saling berbagi daging. Kenapa pula hari ini Cacha ada di rumah? Biasanya dia kan selalu pergi setiap aku mau pacaran.

"Enak banget, Mas. Sama kayak kue buatanku yang menurut Mas Ingga enak. Iya, kan?"

"Iya."

Iya?! "Ck," gerutuku, sambil mengmbil lagi kuah kemudian menyeruputnya kencang.

"Aku punya menu baru, nanti aku buatin khusus buat Mas Ingga. Mau?"

"Boleh. Kue buatanmu enak."

Bunyi apa itu kencang banget? Oiya, perpaduan sendok dan piring akibat sang empu sedang cemburu berat atau hanya iri dengki semata.

"Ah, aku kenyang banget." Cacha berdiri, membawa piringnya. "Makasih banyak, Mas Ingga. Nanti aku bilang langsung aja ke Bu Ajeng ucapan makasihnya. Silakan dilanjutkan, aku buru-buru mau pergi. Tadi sengaja nimbrung buat ngetes sahabat aja."

What?!

"Cha---" Dia keburu melenggang setelah menikamku dengan belati.

Sialan Cacha!

"Mau nambah lagi?"

"Enggak!" Aku langsung menyadari intonasi spontan yang enggak seharusnya itu, dan meminta maaf dengan lirih. "Maaf. Maksudnya, enggak. Udah kenyang."

"Oh okay." Kepalanya menunduk, fokus pada makanan di depannya.

Kok aku jadi kasihan ya. Padahal dia nggak salah. Ingga hanya terlalu baik ke semua orang, sementara aku belum terbiasa karena itu. Ini pasti masih terbawa suasana Laura. Kalau Cacha, ya Tuhan, tolong, dia sahabatku. Meski kurang ajar dengan sengaja membuatku kesal atau terabaikan tadi, aku tetap menyayanginya (beda cerita kalau dia beneran naksir Ingga akhir-akhir ini, ayo berantem). Nah, kalau Laura, haduh, bikin pusing seorang pakar.

"Mas ...." Aku harus meminta maaf sungguh-sungguh.

"Ya?"

"Maaf ya."

"Untuk?"

"Untuk sifat kekanakanku." Giliran aku yang menunduk lesu, memainkan sendok di piring. "Semalam udah teriak kayak orang kesetanan, nuduh kamu macam-macam." Aku menambahkan dalam hati: Ya walaupun aku tetap harus jaga-jaga mengenai Laura ini. "Tadi bentak kamu kayak gitu. Kamu kesel nggak sih ketemu orang kayak aku? Kalau kata Cacha perhitungan, tapi noob dalam hal-hal lain."

Bukannya menjawab omonganku, Ingga malah memperparah keadaan dengan menatapku serius. Shit, aku yakin dia nggak paham damage-nya gimana. Merasa akan kalah, aku memutus pandangan, memandangi piring, kemudian menyuap sesendok full.

"Saya suka semuanya tentang kamu."

Double shit! Nasiku berhambur keluar dari mulut, membuatku panik mengelap sekitar tetapi malah makin kacau. Tenang, Gla, harap tenang. Pakar enggak melakukan hal-hal semacam ini.

"Kamu jangan kayak gitu lho. Akunya yang kelabakan gini ah. Enggak suka." Akhirnya aku menyerah.

"Kayak gitu gimana?"

"Ck, dia bahkan nggak sadar dia ngapain." Setelah berhasil membersihkan mulut dan sisa nasi di meja-atau-manapun, aku memberanikan diri menatap Ingga. "Aku udah selesai."

"Saya juga."

"Okay. Jadi, maafku diterima?"

"Gimana bisa maaf nggak diterima kalau yang kasih adalah kamu?" YA TUHAN, ING ING, aku gemas setengah mati! Tanganku di atas pangkuan sudah saling remas. Senyumnya yang semanis madu itu muncul. "Manusia itu kan beragam karakter. Kita nggak bisa memaksa semua harus sama frekuensi. Saya yang begini, ketemu kamu yang begitu. Kelihatannya memang beda banget ya?"

Aneh, ini aneh. Omongannya banyak dan berhasil bikin aku ketar-ketir. Takut aku akan terbang saking bahagianya.

"Padahal, tergantung gimana kesepakatan kita. Memang, saya nggak akan selalu bisa memahami kamu, dan sebaliknya. Tapi, dengan kamu mau terbuka kayak gini, mau minta maaf, saya optimis kita akan baik-baik aja."

"Ya amapun Bapak Ingga yang terhormat."

Dia tertawa pelan. "Why are you so cute?"

Hah! Akhirnya aku terbahak juga. "Iya kah? Karena kamu gemas setengah mati. Ah, mau peluk."

Secepat itulah, badannya nyerong ke kanan agar tak terhalang meja, kemudian tangannya terulur. Aku berdiri, menghampirinya dan kami berpelukan mantap.

Indahnya hubungan tanpa orang ketiga.

Laura, kamu minggat dulu sebentar, aku siapin amunisi nanti saat musyawarah besar-besaran bersama Cacha, okay?! Aku nggak mau menyelesaikan semua ini dengan cara tidak elegan. Itu bukan gaya seorang pakar, hehehe.

"Oh wait," aku menarik diri, memandangi kulit wajah Ingga yang ... "Sepertinya Anda butuh sedikit sentuhan tangan pakar, Bapak Ingga."

Dia terlihat kebingungan.

"Maksudku, bukan sentuhan mantap-mantap, tapi perawatan kulit." Aku nyengir lebar, lalu mengelus area hidungnya. "Aku punya masker ampuh buat bikin wajah lembut kayak pantat bayi. Mau coba?"

Kepalanya mengangguk. "Saya beresin ini dulu, kamu siapin maskernya. Gimana?"

"Kamu mau beresin ini?"

"Kenapa?"

"Nggak apa. Aku kasih hadiah deh." Aku mengecup hidungnya singkat. "Itung-itung penyemangat."

Hadiahnya juga aku suka. Kenapa enggak?

"Gla!" Panggilannya membuat langkahku terhenti, aku menoleh ke belakang. Dia sedang mengangkat piring, tetapi tetap tersenyum menatapku. "Minta hadiah lain, boleh?"

Aku menelan ludah. "A-apa tuh?"

"Nanti saja."

Ya Tuhan, Ingga, aku nyaris semaput.

Sisa hari itu, aku menghabiskan waktu bersama Ingga. Mulai dari memakai masker wajah. Menghilangkan komedo. Mencukur tipis-tipis rambut di area rahangnya. Sampai aku mengabadikan hasil karyaku, yaitu wajahnya. Maksudku, dia makin jadi super tampan. Dan, hadiah yang dia minta sebagai tambahan adalah ... anu, kok mendadak lidahku agak aneh ya mau menyebutnya? Benar-benar efek lajang mengenaskan, bisa berubah jadi jalang junior.

Kami .... ciuman mantap.

Wow, kalau Cacha lihat, dia pasti mengakui kemampuanku. Sedihnya, Ingga harus pamit pulang. Dia harus terbang malam nanti, dan aku mau nggak mau mengiyakan. Kira-kira, kalau nanti aku sudah memegang keseluruhan atas dirinya, ketika dia aku minta berhenti, apa mau ya?

Terus lo suruh dia ngapain? Ngangkang sama lo terus dapet duit?

Bisikan dari mulut kejinya Cacha seketika menghujam telingaku.

Aku menggelengkan kepala. Melambaikan tangan sambil nyengir lebar ketika dia membunyikan klakson. Ah, aku benci perpisahan, meski hanya sesaat. Masuk aja ah, ngelakuiin apa kek biar waktu cepat berlalu. Oiya, gimana kalau ajak Egan hunting foto makanan di beberapa kafe?

Idemu selalu menarik, Gla!

Namun sayang, ketika aku sudah selesai mandi, sudah dandan cantik, tinggal jalan ke kafe tempat janjianku dengan Egan, seseorang menekan bel rumah. Aku pikir Cacha yang iseng, atau, hati terdalamku berharap itu Ingga dengan mengatakan kalau dia masih kangen.

Ternyata aku tidak beruntung, karena keduanya salah. Yang benar adalah ... ada seorang lelaki. Setinggi Ingga. Lebih tampan Ingga, meski hidung lelaki ini jauh lebih mancung. Okay, sama tampannya. Aku tidak peduli fisiknya, karena kalimat yang dia sebutkan lebih butuh perhatianku. Dia mengatakan, "Halo, ini benar rumahnya Glara Garvita?"

"Ya."

"Saya Regan. Punya waktu sebentar buat saya?"













---
hai hai. rindu?
btw, makasi banyak buat yang udah rekomenim cerita ini di akun twitter (tadi pagi dapet info dari temen). nanti, kalau keadaan sudah agak baikan, kita saling mention di twitter ya, aku punya akun kok, walau anu.

500 komen apdet cepet, 1k komen apdet dalam waktu dekat, sejuta kome makin mantap, seiklhasnya insha allah masuk surga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top