telulas
"Halo. Glara. Gla, kamu masih di sana?"
Itu suara Ingga.
Seperti biasa, dia terdengar sangat tenang. Kelihatan sekali kalau dia tidak merasa terganggu dengan situasi ini. Seolah dia memang terbiasa melaluinya.
Yang aneh malah aku. Rasanya ... susah dijelaskan. Sejak aku memutuskan untuk setuju datang ke sini, aku pun sudah merasa bingung campur bahagia. Kemudian mengetahui bahwa Bu Ajeng menerimaku, itu luar biasa. Ditambah, semua info tentang Ingga yang ... memang sedikit canggung.
Sekarang, tentang mantan kekasihnya yang memanggilnya 'Yudha' sedang berada dengannya. Mereka di mana? Rumah? Berdua kah?
Kalau standar yang aku dan Cacha ciptakan adalah Bu Ajeng, lalau gimana dengan ini? Apa aku harus mundur sekarang?
"Sayang ...."
Aku tertawa kecil, menepuk dadaku.
Ingga yang manis, Ingga yang malang, kenapa hidupmu begitu rumit.
"Glara. Are you okay?"
"Hai," sapaku, lemas sekali. "Aku tadi mau kasih tebak-tebakan." Aku tertawa pelan. "Tapi, kayaknya kamu lagi ada urusan penting."
Gla, balik sekarang. Block Ingga. Atau, kalau lo mau, nanti gue susulin ke sana setelah beli celurit. Gue abisin Ingga di depan mamanya.
Itu mungkin kalimat Cacha kalau tahu nasibku sekarang. Bahagia bukan main. Mudah sekali mendapatkan pacar. Diterima dengan baik oleh calon mertua. Ternyata, Ingganya sendiri malah belum move on.
"Tebak-tebakan? Saya seneng banget denger tebak-tebakan kamu. Sebentar ya." Jedanya ada beberapa detik, sebelum akhirnya dia bersuara lagi. "Saya pulang duluan ya, Dit. Titip salam buat Regan. Nanti pulang dinas, saya ke sini lagi. Ulang tahun Sashi masih minggu depan kan?"
"Bener ya. Jangan bohong kamu, Pringgayudha."
Percakapan jenis apa itu?
"Nggak boleh panggil 'Yudha'."
"Kan itu namamu. Aneh. Regan aja manggilnya begitu kok."
"Okay, okay. Semaumu. Saya pamit dulu. Terima kasih ya. Halo."
"Hai."
"Saya lagi mau masuk mobil dulu. Sebentar .... okay. Sudah. Tasmu sudah aman. Ada keperluan lain? Kamu sedang datang bulan mungkin?"
Dia akan menuruti semua titah perempuannya.
Apakah kalau sekarang, aku memintanya untuk berhenti dan menjauh dari sang mantan, dia akan mau? Shit. Glara, perempuan yang akan dia turuti mungkin bukan kamu.
Kamu masih baru, belum layak mendapatkan posisi sespesial itu.
Aku benci jadi insecure begini.
"Halo."
"Eh, hai. Nggak ada. Aku lagi nggak datang bulan."
"Kenapa lemas banget? Mama mana? Maksudnya, Bu Ajeng."
"Di kamarnya mungkin."
"Oh, okay. Jadi, tebakannya?"
"Aku ... jadi lupa tebakannya apa." Aku meringis. Kok otakku jadi nggak bisa buat berpikir ya. "Kamu di mana?"
"Lagi di jalan pulang."
"Tadi."
Well, aku tahu ini mungkin lancang sekali. Kami bahkan masih dalam masa probation, tetapi aku sudah terdengar seperti istri yang posesif. Cuma, mendengar kisah Ingga yang sedemikian terluka karena harus putus dari mantannya, rasanya aku nggak terima.
Aku yakin ini bukan cinta---belum, tetapi aku sudah cemburu duluan. Aku nggak mau dia berada di dekat mantan terindahnya. For God's sake, mereka bahkan berencana tinggal bersama. Oh ya Tuhan, Glara, tolong berikan suntikan positif untuk pemikiranmu sekarang.
Tolong, tolong, seseorang tolong.
Tiba-tiba aku merasa sedih sekali. Mood-ku semenjak kenal Ingga benar-benar fluktuatif seperti cuaca. Kadang malu, malu-maluin, pintar banget bagai pakar, tolol bukan main.
Oh wait, tetapi kami sudah ciuman? Ah, mungkin hal itu biasa untuknya.
"Glara, kamu dengerin saya?"
"Hai."
"Iya. Hai. Tadi saya dari rumah kamu. Tadi yang mana maksudmu?"
"Siapa yang manggil kamu 'Yudha'?"
"Oh, yang barusan angkat teleponmu. Itu Dita. Istrinya Regan. Regan teman saya---"
"ALHAMDULILLAH!" Aku refleks bangkit dari duduk. Yess!
"Gla?"
"Eh, HAI!"
Duduk lagi. Kelepasan.
Yah, kenapa nggak jadi berhubungan sama mantan? Padahal kan aku siap berantem, hehe. Shit. Padahal tadi aku benar-benar sudah lema, kadang aku memang merasa kuat dan bangga, kadang juga lesu dan pesimis.
Gitu deh, pusing.
"Kok alhamdulillah?"
Aku buru-buru memukul kepalaku sendiri. Ya Tuhan, tolong maafkan karena aku sudah berburuk sangka terhadap Ingga. Sialan Glara. Bisa-bisanya kamu berpikir kalau Ingga sedang bersama mantan kekasihnya.
Awal yang baik, artinya itu adalah clue untuk kebahagiaan. Tanamkan itu di kepala.
"Maksudku, alhamdulillah kamu temenan baik."
"Iya. Regan orangnya iseng banget, manggil saya dengan sebutan 'Yudha' karena terdengar manis katanya." Ingga tertawa kecil. "Padahal saya nggak suka panggilan itu. Dan Dita ikut-ikutan, jago meledek."
"Nggak suka panggilan 'Yudha'?"
"Sedikit .... aneh."
Oh benar. Mungkin karena dia sudah berjuang sekuat tenaga untuk melupakan mantannya, jadi dia tidak ingin mengungkit nama panggilan itu lagi. Tapi, karena temannya ini tahu kisah dia dan mantannya, jadi tetap suka meledeknya.
Kira-kira begitu asumsiku sejauh ini.
Okay, Glara. Cukup berburuk sangkanya, kamu harus semangat membuat semua ini berhasil. Jangan jadi bodoh dengan kemakan pikiranmu sendiri.
"Jadi, tebak-tebakannya beneran lupa?"
"Sekarang inget lagi dong!"
"Alhamdulillah. Saya pikir kamu sakit tadi, sekarang sudah terdengar semangat lagi."
Aku jadi malu sendiri. "Kamu tahu nggak tinta apa yang bisa bikin kamu salting di depan aku?"
"Apa?"
"Lah, kok sekarang udah jago jawabnya?"
"Karena Bu Guru Glara hebat banget dalam mengajar, saya mau jadi murid yang cepat tanggap."
"Ya ampun. Gemes kan kamu tuh?"
"Ya. Gemes."
Aku terbahak, karena membayangkan mukanya yang kalem dan dengan intonasi yang biasa aja menjawab semua itu. "Jadi beneran nggak tahu nih?"
"Enggak."
"Aku tinta kamu, hehehe."
Suara tawanya terdengar, meski nggak heboh.
"Ada satu lagi."
"Apa?"
"Kalau kamu jadi senar gitar, aku nggak mau pokoknya jadi gitarisnya."
"Lho kenapa?"
"Ih beneran udah pinter jawabnya! Gemes!" Aku gregetan sendiri di sini, sampai harus mengepalkan tangan dan bergerak heboh. "Karena aku nggak mau mutusin kamu."
Kali ini, suara tawanya agak lebih besar.
Mungkin, bagi Ingga, tebakanku ini sama seperti sebelumnya. Tidak bernilai, hanya karena aku yang suka iseng bermain-main. Padahal, kali ini aku serius. Aku nggak akan menyerah dengan hubungan ini. Dia terlalu menarik untuk ditinggalkan begitu aja.
Seperti kata Bu Ajeng, aku akan berjuang untuk ini. Selagi Ingga pun mau berjuang, aku pasti bisa melakukan lebih dari itu.
Najis lo. Belum apa-apa udah bucin.
Aku menutup telinga yang bebas. Cha, jangan ngomong dulu. Gue masih agak syok.
***
"Permisi."
"Hai. Sudah pulang, Bapak!" Aku membungkukkan badan, kemudian berjalan untuk mengambil tasku darinya. "Terima kasih banyak untuk kinerjamu yang baik. Untuk itu, kamu dapat bonus."
"Oh?"
"Mau diambil sekarang atau ketika pulang dinas nanti?"
"Sekarang, boleh?"
"Ck, Anda memang tidak sabaran rupanya ya." Aku berbalik badan, mulai memindahkan pakaian dari dalam tas ke lemari. "Duduk dulu di situ. Aku beresin ini bentar."
"Okay."
"Masa probation dilanggar, sekarang disuruh nginep di rumah. Lama-lama aku jadiin kamu karyawan tetap beneran, tahu rasa."
"Kapan?"
Aku tergelak. Saat berbalik badan, dia sudah berdiri tegak. Lucunya, lelaki ini.
"Kamu seneng banget main-main."
"Seru tahu," jawabku cepat. "Kamu yang terlalu serius. Selesai!" Sekarang, aku sudah berdiri, menghadapnya. Dia ternyata duduk kembali. "Kamu berangkat jam berapa?"
Dia menoleh jam dinding. "Sejam lagi."
"Beneran mau diambil sekarang bonusnya?"
Kepalanya langsung mengangguk. Luar biasa Parama Pringgayudha dengan segala kejutannya.
Setelah memastikan tidak ada orang lalu-lalang, dan meski pintu terbuka---karena kalau ditutup malah menimbulkan persepsi mengerikan, aku mendekatinya.
Cup.
Aku langsung menarik diri setelah memberinya satu kecupan singkat. Sebenarnya mau peluk, tetapi takut keenakan akunya. Nanti kebablasan seperti di ruang karaoke. Bahaya.
Ingga masih diam, matanya berkedip-kedip cepat, jakunnya bergerak karena mungkin aja dia sedang menelan ludah.
Dia gugup kah? Atau ... malah mau lagi sama seperti aku?
Ya Tuhan, Glara.
Kamu mengerikan.
"Thank you," lirihnya. "Bonus yang manis."
Aku mengedikkan bahu, tersenyum puas.
"Nanti, baik-baik sama mama ya. Semoga proses perkenalannya berjalan baik. Masa probation kami dinilai dengan baik."
Dia nggak tahu aja, kalau Bu Ajeng bahkan sudah bukan lagi masa probation, tetapi malah sudah resign lagi. Pokoknya, sudah terlalu tinggi levelnya deh. Semua tentang masalalumu aja sudah kuketahui kok, Ngga Ingga.
Aku mengangguk aja. "Siap.
"Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan minta ke mama. Atau, kalau beneran malu, bilang ke saya, biar saya yang sampein ke mama."
"Okay."
"Jangan kabur ya."
Aku medengus. "Kabur ke mana?"
"Tunggu saya pulang."
"Iya."
"Okay. Saya mau siap-siap dulu. Ada yang mau disampein lagi?"
Aku menggeleng.
Dia berdiri, kemudian berjalan ke arah pintu. Saat ia menoleh ke belakang, aku melambaikan tangan, tersenyum lebar. Eh, dia malah kembali lagi dan ... mayday mayday!
Dia memelukku!
Dari tadi kan aku mau ini, tetapi takut kebablasan. Kenapa sekarang malah dia yang melakukannya? Glara sudah sinting sepertinya. Mulai kehilangan akal.
"Kalau saya kelihatan nggak tahu apa-apa, kamu cukup kasih tahu saya harus ngapain. Jangan tiba-tiba menghilang. Okay?"
"I-iya."
"You're such a gem. Makin hari kenal kamu, saya makin ...." Kalimatnya tidak dilanjutkan, pelukannya yang kiat erat.
Cha, Cacha, bener kata lo, kalau gue berpotensi untuk tergila-gila.
Ini gimana? Kenapa jatuh cinta bisa semudah ini? Benarkah ini cinta? Kagum? Sayang? Tertarik? Nafsu belaka?
Apa ini?
Yang pasti, jantungku sejak tadi joget terus. Musiknya rock lagi. Ah, aku pasti gila.
---
Yud, Yud. udah bikin netizen jadi komen banyak lu yud yud, tapi alhamdulillah sih, yang gapernah komen jadi komen. kasian deh hahahha.
part depan diapdet kalau yang BEDA CERITA udah rame. kuy mampir ke sana. ada .... gatau ada apa.
bye, hooman!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top