songoooooooo

"Kamu tahu nggak bedanya kamu sama novel apa?"

"Oh?"

Jelas aja dia bingung, tapi aku menikmati ekspresinya. Jangan langsung ketawa, Gla, lancarin dulu aksinya. "Ada jawaban untuk setiap pertanyaan. Silakan dijawab, Bapak."

"Oh okay. Bedanya adalah saya manusia, novel benda mati."

"Astaga bukan gitu cara jawabnya!" Sekarang ketawaku nggak bisa ditahan, apalagi saat melihat wajah paniknya ketika menoleh tadi. Aku terlalu bersemangat kayaknya. "Rumusnya adalah, kamu jawabnya gini 'nggak tahu, apa tuh bedanya?' gitu."

Kepalanya mengangguk. "Apa bedanya?"

"Kalau novel itu fiksi, kamu nyata." Aku terkikik sendiri. "Lucu ya."

Setelah melongo beberapa saat, dia pada akhirnya tersenyum juga. Lalu, tangan kirinya mengusap alis ketika ia sudah fokus lagi ke jalanan.

Yep, kami lagi di perjalanan. Coba dong, Hooman, tebak kita mau ke mana? Karena ini adalah kencan pertama kami, maka unjuk kebolehan adalah hal yang disarankan.

Betul sekali, kami berdua mau ke tempat karaoke. Masih sore sih, tapi nggak masalah. Menurutku, bernyanyi itu nggak pandang waktu.

Karena aku nggak suka perjalanan kosong, maka demi membunuh keheningan, aku harus menunjukkan skill-ku dong ya. Termasuk itu tadi, gombalin dia. Nampaknya, aku memang sangat jago.

Walaupun, kalau ada Cacha, dia pasti bilang, "Yang bukan manusia aja tahu, Gla, kalau novel memang fiksi dan Ingga itu nyata."

Biarin aja deh anjing menggonggong.

"Aku punya pertanyaan lagi!"

"Silakan."

"Ini hari apa?"

"Ini jawaban sebenernya atau saya harus jawab nggak tahu?"

Shit.

Aku refleks memukul jidatku sendiri. Susah ternyata mau merayu lelaki modelan Ingga. Semua serba harus di-setting, nggak bisa berjalan dengan semestinya.

"Jawab aja sebisamu."

"Hari Sabtu?"

"Yakin?"

Dia mengambil handphone-nya yang ada di dashboard. Lucu banget, padahal dia bisa langsung ngangguk aja, toh jawabanku juga nggk berdasarkan apa jawabannya. "Iya, ini hari Sabtu."

"Masa sih?"

"Gla, go check your phone, it's---"

"Bukannya hari ini kamu ganteng?" Aku terbahak saat jakunnya bergerak karena menelan ludah. "Ini lucu banget."

"Glara. Glara. Glara," gumamnya, sambil tersenyum manis, menggeleng-gelengkan kepala. Sesekali dia menoleh, menatapku, kemudian kembali melihat ke depan.

Apalagi ya kira-kira yang bisa membuat kami terhibur---lebih tepatnya, aku sih, karena Ingga nggak terlihat menikmati selain menampilkan muka bingung dan herannya itu. Well, nggak masalah, toh aku sedang berusaha.

"Aku punya tebakan."

"Okay."

"Bayi minumnya?"

"ASI?"

Oiya, benar juga. Nggak apa deh. "ASI warnanya?"

"Putih?"

"Sapi warnanya?"

"Ada yang putih dan ada yang cokelat."

"Ish, jawab yang putih aja."

"Oh mau yang putih? Okay, putih."

"Sapi minumnya?"

"Air?"

"Kok tahu semua?"

"Lho kamu nggak tahu?" Mukanya kebingungan lagi.

Kok aku jadi kesal sendiri ya. Di video yang aku tonton itu, si lelaki jawabnya salah, ini kenapa dia lancar banget sih. Terlalu konsentrasi nampaknya Bapak Ingga ini. Dia pikir ujian nasional mungkin.

"Okay, terakhir. Kamu pilih pacaran sama cewek cantik se-Jakarta dan dibayar 1 M, atau sama aku dan nggak dapet apa-apa?"

Najis lo! Dasar orang gila! Pertanyaan nggak penting begitu ditanyain! Glara ya ampun kenapa gue bisa temenan sama lo!

Makian, cacian, dan hinaan Cacha seakan masuk sempurna ke telingaku. Aku memukul telinga kiri dan kanan pelan, kemudian mencondongkan wajah untuk menanti jawaban dari Ingga. Sebetulnya, aku sendiri sudah lupa, jawaban yang seharusnya dari pertanyaan ini apa.

Biarlah, mari kita lihat jawaban dia sekaligus alasannya.

"Kamu kenapa merasa nggak punya apa-apa?"

Aku melongo.

Ini sepertinya bakalan di luar rencana. Bahkan untuk menelan ludah, tenggorokanku pun terasa sangat sakit.

"Kamu punya lebih dari sekadar satu M. Jangan merasa rendah diri lagi ya." Tangan kirinya terulur, menepuk ujung kepalaku pelan, tepat setelah lampu merah menyala. Yang ditepuk ujung kepala, yang mau hancur malah jantungku.

Benar kata Katan, kalau orang dewasa cenderung tua itu memang beda. Kaku sih memang, tapi damage-nya sungguh luar biasa. Bisa membuat kita bertingkah seolah belum pernah mengenal jantan sebelumnya.

Hai, Dunia, ini aku, Glara Garvita, seorang pakar cinta yang jelas mustahil kalau tidak punya pengalaman dalam cinta. Anehnya, tingkahku jika bersama Ingga, sama persis seperti kepompong yang baru mau tumbuh jadi kupu-kupu. Bawaannya pengen terbang, menari-nari.

Sial. Sial. Sial.

Aku jijik sendiri.

Pikiranku kembali tersadar, ketika Ingga membuka  kaca mobil, memperlihatkan seorang anak muda yang sedang berjualan koran.

"Maaf, sebentar," ucapnya, saat tangannya berusaha meraih tasnya yang ada di kursi belakang. Diambilnya ... mataku melotot! Berapa lembar yang dia ambil hanya untuk satu koran?! "Semangat ya, beli makan yang sehat. Beli sepatu, jaket, dan topi, biar waktu jualan nggak teralu panas. Minum air yang cukup."

Masya Allah. Sungguh benar indah ciptaanmu dengan beragam jenis manusia. Aku kalau mau bantu orang-orang yang jualan begitu, biasanya hanya membeli barangnya. Atau, kalaupun sisa, aku berikan. Tapi, nggak banyak.

Pemikiranku adalah ... dengan membeli dagangannya, mereka sudah terbantu. Ternyata, Ingga melakukannya dalam level yang berbeda. Dermawan sekali manusia kaku satu ini. Ngomongnya pun banyak tadi.

"Hei, ngelamun?"

"Hai." Ternyata mobil sudah jalan dan aku masih sibuk sama pikiranku sendiri. "Aku jadi haus, panas banget ya." Kuambil botol mineral, minum dengan rakus.

"AC-nya nggak kerasa?"

"Kerasa kok." Luarnya memang adem, kepalaku yang panas.

Hingga akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Setelah memarkirkan kendaraan, kami berjalan sambil bergandengan tangan. Tentu aja, ini kencan pertama, siapa yang mau melewatinya dengan sia-sia?

"Mau ke tempat lain dulu?"

"Enggak. Aku udah nggak sabar mau nyanyi."

Kali ini, senyumnya lebar sampai memperlihatkan giginya. "Okay, ayo nyanyi."

Ah, rasanya senang banget. Sepertinya aku akan sangat menikmati hari ini. Dimulai dari aku yang memilih ruangan, karena Ingga hanya menggelengkan kepala kecil sambil bilang 'saya bukan anak karaoke, kamu aja'. Untuk pesanan makanan serta minuman, barulah dia berpartisipasi.

Maka, di sinilah kami sekarang! Duduk di sofa yang sama, dalam ruangan dengan lampu warna-warni. Kalau keadaan normal, maksudnya di dalam kamar pribadi, pasti pusing banget punya lampu dengan warna meriah begini. Cuma, karena ini adalah party---anggap saja begitu, maka aku akan menikmatinya.

"Sebelum nyanyi, minum dulu."

Aku yang sedang mencari lagu terpaksa berhenti, menoleh padanya hanya untuk nyengir lebar. "Berasa mau konser ya, Pak."

"Konser tunggal. Saya penonton setianya."

Aku tertawa lagi. kembali pada deretan lagu-lagu. "Konser yang kali ini beda. Karena aku tim lagu galau padahal lagi nggak galau." I don't know, sad song itu memang mantap pokoknya. "Siap nyanyi bareng aku, Bapak Ingga yang tampan?"

Kepalanya mengangguk mantan.

Aku teriak, "I LIKE THAT ENERGY!" Satu, dua, tiga ... ! "I'm going under and this time I fear there's no one to save me." Aku menatapnya, dia tersenyum, kelihatannya terpana. "This all or nothing really got a way of driving me crazy. I need somebody to heal. Somebody to know. Somebody to have. Somebody to hold. It's easy to say But it's never the same. I guess I kinda liked the way you numbed all the pain." SERUNYA! Oh wait, kenapa mukanya dia berubah jadi ... sendu?

Ingga bahkan sekarang sedang menatap fokus padalirik yang ada di layar.

Aku menepuk pahanya pelan, tubuhnya terlonjak, tetapi kemudian dia memberiku senyum. "Kenapa?" tanyaku pelan.

Kepalanya menggeleng. Ia mencondongkan wajah, berbisik di telingaku. "Nggak pa-pa. Kamu lanjut nyanyi, saya suka dengerinnya." Sialan Ingga! Geli banget tapi aku senang.

Yasudah, aku kembali bernyanyi dengan semangat yang tinggi.

"And I tend to close my eyes when it hurts sometimes. I fall into your arms. I'll be safe in your sound 'til I come back around."

WOW. Suaraku menggelegar. Terdengar seperti suara Anggun C Sasmi. Indahnya berharap. Aku terbahak sendiri pada akhirnya, membayangkan bagaimana suaraku di telinga Ingga.

Maka, setelah lagu berakhir, aku bertanya. "Kupingmu sakit nggak?"

"Enggak."

"Denger suaraku lebay kayak tadi?"

Dia senyum.

Aku baru ngeh, kenapa dia jadi sering senyum? Atau, memang beginilah kalau sudah kenal?

"Kamu kelihatan menikmati lagunya," katanya.

"Banget."

"Itu bukannya lagu patah hati?"

"Kamu tahu lagu ini?"

Kepalanya menggeleng. Dugaanku benar, tadi dia lagi memahami liriknya.

"Iya, patah hati. Sadboy, kasihan. Mau denger lagi nggak aku nyanyi lagu galau?"

"Kenapa nggak lagu happy?"

"Oh tentu sesuai permintaan, Tuan Dermawan. Saya hari ini milik Anda seutuhnya." Aku membungkukkan badan. Ketika mendongak, badannya bergetar karena tertawa, padahal tawanya nggak nggak ada suara. "Mau lagu apa?"

"Saya percaya kemampuan Anda sejak pertama kali bertemu, Nona."

"Mampus gue!" teriakku. "Heh! Itu tadi kena banget! Jantungku!" Aku sudah tidak bisa mengontrol diri lagi, terbahak sambil memukuli pahaku sendiri. "Ingga, Ingga. Kamu nih beneran diutus buat nguji aku kayaknya. Sabar, sabar. Okay, karena sudah diminta, mari nyanyikan lagu istimewa untuk kencan pertama kita. Are you ready?"

Ia mengangguk, lagi.

Aku berdiri, begitu musik mulai terdengar. "Step up, the two of us, nobody knows us. Get in the car like, 'Skrrt'. Staying up all night, order me pad thai. Then we gon' sleep 'til noon. Me with no makeup, you in the bathtub. Bubbles and bubbly, ooh."

Kedua alisnya terangkat, mungkin dia mulai kaget dengan kata per kata dari lirik luar biasa Mbak Ariana Grande ini.

Aku melanjutkan setelah menarik tangannya untuk ikut berdiri. "This is a pleasure, feel like we never act this regular. Click, click, click and post. Drip-drip-dripped in gold. Quick, quick, quick, let's go. Kiss me and take off your clothes." Kukediplan mata untuk mengakhiri sebaris kalimat maha dahsyat.

Dia geleng-geleng kepala, tetapi tetap berusaha mengikuti badanku yang sedang berdansa ala kadarnya. "We go like up 'til I'm 'sleep on your chest. Love how my face fits so good in your neck. Why can't you imagine a world like that? Imagine a world."

Saat tatapan kami bertemu, aku sudah berhenti bernyanyi, hanya menikmati musiknya sambil terus menggoyangkan badan bersama Ingga. Hingga ada momen, dia kembali berbisik, "Saya nggak nyangka pemilihan lagumu seluar biasa ini."

Aku menyeringai. "Kamu lupa ya kalau aku ini seorang pakar?"

"Sebelumnya memang nggak meyakinkan."

Kalimatnya tentu aja membuatku tertawa. "Dulu batreku soak karena ketemu kamu yang super aneh. Sekarang udah full lagi. Aku kembali menjadi pakar dalam segala hal."

"Segala hal?"

"Maksudnya dalam percintaan. Kalau dalam segala hal, kesannya aku kayak sombong gitu ya, ditest tentang ilmu kesehatan, menangis aku karena nggak tahu."

"Kalau tentang ini?"

"Ap---"

MAYDAY MAYDAY!

Seseorang tolong, aku pikir nafsu dalam ruangan karaoke hanya mitos belaka, atau, hanya untuk mereka kaum lemah. Dan, sekarang ... kami berdua menjadi bagiannya.

Sungguh kencan pertama yang sempurna.

Persetan dengan hidden cam (itu pun kalau ada), aku hanya nggak mau dia meragukan lagi kemampuanku dalam hal satu ini.









---
terakhir aku karaoke, lagunya wandi. di 2090 ini, mereka nyanyi lagu ariana grande😭.

jangan macem-macem ya gaes kalau berdua sama laki, kecuali memang mau kayak gla gitu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top