songolas

Aku mengabari Egan kalau aktivitas kami ditunda sampai waktu yang belum bisa ditentukan.

Ingat ya, aku ini enggak bodoh. Kedatangan Regan ke sini, jelas sesuatu yang besar. Karena, pertama, aku nggak kenal dia, ngapain repot-repot ke sini? Kedua, seorang Regan pasti sibuk, nggak mungkin datang ke rumahku hanya untuk bilang 'Hai, Gla, salam kenal, saya temannya Ingga'.

Jelas nggak mungkin!

Ketiga, okay yang ketiga ini, aku agak deg-degan dengan asumsiku sendiri. Regan sudah punya istri. Dia menghamili perempuan lain. Perempuan itu adalah mantan temannya. Wow, bukankah Regan sungguh 'keren' sampai aku benar-benar perlu waspada? Iya kan, Hooman?

"Kamu tinggal di sini sendirian?"

Aku tersenyum, menggeleng pelan. "Sama teman. Namanya Cacha. Tahu saya dan rumah saya dari mana?"

"Tante Ajeng. Saya hanya perlu bilang ingin mengenal pacar sahabat saya, maka saya bisa di sini." Matanya melihat-lihat sekitaran ruangan. "Saya pikir lajang lebih suka tinggal di apartemen ketimbang di rumah."

Aku sudah memberinya minuman. Sudah menyambutnya sesopan mungkin. Bahkan sampai rela membatalkan agendaku bersama Egan yang paling tampan itu. Semua itu, bukan untuk mendengarkan basa-basinya.

Aku enggak suka.

Maka, tersenyum simpul, masih memangku kedua tangan di atas paha, aku menatapnya seprofesional mungkin. "Saya yakin Bapak Regan datang ke sini bukan mau membahas tentang tempat tinggal saya. Bukan begitu?"

Senyumnya lebar. "Ingga memang anti berbohong. Kamu luar biasa." Oh wait, bentuk flirting kah itu? Ck, dasar lelaki buaya! Mendadak malas dengan lelaki bernama Regan. Mendingan Ingga ke mana-mana. Aura wajahnya seketika berubah menjadi serius, dan itu membuatku lumayan semakin gugup. "Menurutmu, gimana hubunganmu dan Ingga ke depannya, Glara?"

"Sorry?"

"Ingga bukan seseorang yang mudah dipahami."

"Beruntungnya, saya suka tantangan, dan tidak pernah menyesali meski sesuatu nggak berjalan baik, Bapak Regan." Aku membungkukkan sedikit badan. Ya Tuhan, Regan, kamu pikir kamu sedang melawan siapa? Aku tetaplah pakar meski Cacha berusaha meyakikan bukan. "Ingga nggak sesulit itu, atau mungkin sayanya yang memang terlalu jago."

Dia tergelak, aku sudah bisa menebaknya. Sebenarnya, aku deg-degan setengah mampus. Takut kalau tiba-tiba kredibilitasku menurun, maka habislah aku dilibas Regan ini. Semoga, Tuhan mau membantuku dalam masa sulit ini. Aku tahu, tahu banget Regan jelas bukan orang sembarangan.

Orang Sembaran macam apa yang berhasil menyembunyikan wanita lain sampai hamil?

"Well, yang saya maksud sulit bukan hanya tentang Ingga, tapi kehidupan dia seluruhnya." Mendengar itu, aku memilih diam, simak dulu, cerna baru jawab. Tolong ya, Gla, tolong gunakan kemampuan terbaikmu! "Mungkin kamu bisa mengatasi Ingga. Gimana dengan Mamanya?"

Aku tertawa pelan, menyingkirkan rambut yang menutupi telinga. Dia bukan hanya pakar perselingkuhan, tetapi juga manipulatif ulung. Untung aku enggak jatuh cinta dengan lelaki model begini. Nasibmu sungguh kasihan, Dita.

"Kamu pikir, kenapa Ingga masih melajang sampai di usianya sekarang?"

Okay, Hooman, dia semakin mengerucut, aku sudah mulai kelabakan dengan pertanyaan-pertanyaannya. Karena gimana pun, dia jauh lebih dulu mengenal Ingga dan kehidupannya dibanding aku. Sudah pasti banyak hal yang dia tahu secara mendalam sementara aku hanya paham kulitnya aja.

Tapi, seorang Glara Garvita enggak boleh kalah. Aku sudah melangkah sejauh ini. Senyuman Ingga, tawa kecilnya yang jarang muncul, pelukannya, tatapannya seriusnya, usahanya untuk memahami gombalanku, dan ciuman mantapnya. Semua itu, sudah kudapatkan dengan usahaku.

Jangan hanya karena Regan Si Tukang Selingkuh ini, semua sirna begitu aja.

Regan bukan siapa-siapa.

Iya, Gla, dia bukan lawanmu. Jangan jatuh kalah. Dia sepele. Sangat sepele.

Seorang pakar bisa melakukan segalanya.

Itu kalimat dari Ingga, dan aku harus mempercayai itu. Aku harus mewujudkan itu. Jangan membuatnya kecewa dengan menjadi pengecut.

"Bapak Regan," panggilku pelan. Aku menelan ludah susah payah sebelum berhasil memaksa senyum. "Saya tahu Bapak orang yang sibuk. Banget. Mengurus dua wanita jelas nggak mudah karena lelaki selalu berdalih wanita sulit dimengerti. Sebenarnya sama, kami pun nggak bisa memahami lelaki. Gimana bisa seorang lelaki tanpa merasa bersalah melakukan mantap-mantap dengan wanita lain, sementara di rumah ada wanita yang disebutnya istri?" Aku merasa aku benar ketika matanya tadi sempat membulat, kemudian dia tersenyum lebar. "Apakah dengan menemui saya, masalah Bapak akan teratasi?"

"Tentu. Bahkan sebelum kamu hadir, seharusnya masalah saya sudah bisa diatasi."

Apa maksudnya?

"Glara, kalau kamu memang sudah tahu bahwa Laura adalah mantannya Ingga, dan sekarang sedang mengandung anak saya, maka biar saya jelaskan semuanya."

"Kenapa saya perlu tahu?"

"Karena kamu sudah terlibat."

Gue penasaran orang sesempurna Ingga bakalan punya kejutan apa.

Cha, Cacha, lo di mana? Gue mulai ketakutan.

"Laura dan Ingga gagal menikah bukan semata karena Laura tidak percaya komitmen. Baginya, komitmen bukan hanya didefinisikan sebagai pernikahan. Hidup berdua, monogami, saling percaya dan mejaga, adalah contoh kecil komitmen yang Laura mau."

"Saya tidak tertarik untuk tahu lebih banyak tentang Laura, Bapak Regan. Sila---"

"Sementara Ingga ada di genggaman mamanya. Tidak ada perempuan yang mau hidup dengan lelaki yang terus diatur oleh sang mama."

Ya Tuhan, kepalaku mulai pening. Aku berusaha mengurai satu persatu maksud dari si Tukang Selingkuh ini. Tadi soal Ingga dan Laura, kenapa malah melenceng jadi ke Bu Ajeng?

Dia hanya ingin mempermainkan pikiranmu, Glara. Tetaplah fokus.

Aku menggeleng. "Bu Ajeng mamanya Ingga. Karena Ingga masih lajang, adalah haknya untuk memberi masukan yang menurutnya benar untuk sang anak. Perspektif benar antara Bu Ajeng dan Ingga mungkin beda, tapi saya yakin itu semata karena mereka menginginkan kebahagiaan." Wow. Just WOW. Aku sendiri tidak menyangka dengan semua kalimatku tanpa tersendat sama sekali. "Definisi komitmen versi Laura memang nggak salah. Dia hanya nggak beruntung karena keluarga Ingga nggak bisa menerima itu. Maka pilihannya ada dua, beradaptasi atau memilih berhenti."

Aku melihat jakun Regan bergerak, tatapannya berubah semakin tajam, tetapi aku merasa aku pun sudah semakin panas. Aku tidak mau kalah. Ini sudah terlanjur.

"Tapi saya beneran nggak peduli dengan arti komitmen Laura dan Ingga. Itu masalalu mereka, sama sekali bukan urusan saya. Yang menjadi fokus saya sekarang adalah Ingga ada bersama saya. Dia mantap." Aku mengatakannya dengan penuh tekanan sambil menganggukkan kepala. "Tapi, karena Bapak Regan yang Terhormat datang ke sini dengan pembahasan yang nggak jelas, saya jadi bingung. Sebenarnya niatmu ke sini untuk apa, Regan?"

Dia tergelak, mungkin karena aku sudah menghilangkan bentuk kesopanan. Tidak ada lagi rasa hormatku yang tersisa untuk lelaki ini. Bukan urusanku dia sahabat Ingga, tetapi nyatanya dia memang orang jahat. Selingkuh memang menjadi masalah pribadinya, tetapi mencampuri urusanku adalah sesuatu yang beda.

Dia hanya belum tahu bagaimana seorang pakar bisa melakukan segalanya. Iya, kan, Ing? Ingga, kenapa kamu nggak tiba-tiba telepon atau datang ke sini memberi kejutan sih!

"Ingga akan melakukan apa pun untuk mamanya, Glara."

"Saya akan mendukungnya sepenuh hati."

Tidak ada lagi senyum sopanku, aku menatapnya seolah siap mengunyahnya hidup-hidup. Sepertinya, aku kerasukan Cacha. Atau, berpacaran dengan Ingga membuatku menjadi pakar yang sesungguhnya? Glara Garvita sungguh berubah menjadi perempuan yang makin luar biasa.

Setelah ini, aku jadi percaya diri untuk bilang 'I am a woman of much WOW'.

Kami saling tatap, perang lewat tatapan ternyata seru sekaligus melelahkan.

"Hidupmu akan diatur oleh mamanya Ingga."

"Itu akan menjadi urusan saya. Saya nggak akan meminta Ingga repot-repot memilih prioritas, karena saya dan Bu Ajeng punya tempat yang berbeda."

Wow, lagi-lagi wow. Ternyata mudah juga mengeluarkan kalimat itu. Tetapi kenapa waktu Cacha tanya tentang kemungkinan Bu Ajeng yang mengontrolku, aku malah kebingungan sendiri? Malah berasumsi yang tidak-tidak? Benar kata orang, terdesak membuat otak kita bekerja jauh lebih baik.

"Glara."

"Kalau tujuanmu datang ke sini buat memintaku meninggalkan Ingga, kamu salah rumah, Regan. Urus masalahmu sendiri. Ingga nggak sebodoh itu dengan---"

"Dia mengiyakan. Dia siap menjadi papa dari anak yang dikandung Laura. Dia siap hidup bersama Laura tanpa sepengetahuan mamanya. Dia siap melakukan segalanya. Sebelum kamu datang."

Entah kerasukan setan dari mana, aku tiba-tina berdiri, melayangkan satu tamparan keras di wajahnya. Tanganku sendiri sampai gemetar. Juga setelahnya agak menyesal. Aku ... kenapa bisa sespontan ini?

Dia berbohong. Buaya punya banyak senjata untuk mendapatkan mangsanya.

"Laura adalah pilihannya ketika dia harus memilih pasangan untuk menghabiskan sisa hidupnya, Gla. Kamu baru datang, dia hanya sedang menikmati euforianya. Setelahnya, kamu akan tahu bahwa Laura tempat dia pulang."

Aku tertawa. "Tamparanku kurang?"

"Istri saya sedang hamil anak kedua. Kandungannya nggak sekuat kehamilan yang pertama. Tolong bantu saya."

"Aku nggak peduli!" Tanganku menunjuk pintu keluar. "Tinggalin rumah ini dan jangan pernah menunjukkan mukamu lagi. Rumah ini nggak pernah terbuka untuk lelaki berengsek. Nggak pernah."

"Gla---"

"Kamu berengsek karena mengorbankan Ingga dalam masalahmu!" Sekarang aku sudah berdiri, mengusap air mata dengan tangan, padahal harapanku kehebatn tadi bertahan hingga dia pergi. "Teman macam apa yang melakukan ini? Pergi dari sini. Ingga dan Bu Ajeng adalah urusanku. Maka uruslah Dita dan Lauramu!"

"Gimana ketika Laura akhirnya mau menikah dengan Ingga? Apa menurutmu Bu Ajeng akan memilihmu ketimbang Laura yang sudah sangat dia sayang?"

Aku menutup kedua telinga, menggelengkan kepala kuat-kuat. Ingga menyukaiku.

"Saya mengingatkanmu sekali lagi. Supaya kamu nggak merasa makin sakit nantinya. Menyerahlah. Hidup Ingga hanya untuk Laura dan mamanya."

Dia tidak akan meninggalkan perempuan sebelum dia yang ditinggalkan. Dia jatuh cinta padaku di pertemuan pertama. Dia menyukai semua tentangku.

Dia suka aku.

"Pikirin baik-baik, Glara."

Enggak mau. Aku nggak mau memikirkan ini baik-baik. Karena nggak perlu. Masalah Regan bukan masalahku. Aku enggak suka Regan. Beneran nggak suka.

Cacha ....

Cacha, lo di mana? Badan gue lemes banget. Cacha, pulang, Cha. Sekarang. Tolong.













---
oy cepet amat woy. 500 kedikitan ya? dua ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan deh aku pertimbangin ya kakak.

ada sisa kuota sweet-talk 3 buku gaes, kalau ada yang mau beli. tapi nunggu cetak seminggu ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top