siji | mulai awal ceritone ...
"Pagi, Mbak Glara."
Aku mengangguk sambil tersenyum ramah, kemudian buru-buru ke ruang kerja yang ada di lantai 2.
Sebenernya aku termasuk orang yang malas datang ke kantor. Serius. Memikirkan penampilan sebelum keluar rumah, macet-macetan di jalanan yang jelas menguji iman serta ketakwaan, dan juga .... ya mager (read: males gerak) aja intinya.
Aku lebih suka mengerjaian segala sesuatu dari rumah sebisa mungkin. Bisa sambil tiduran, bisa istirahat, bisa di ke dapur bikin minuman atau camilan, ya di rumah siapa yang nggak betah sih, meski di sini juga aku punya ruangan sendiri.
Rasanya tetap beda.
Kecuali, memang aku harus ngurusin sesi foto produk baru bareng ... ohiya, anak satu itu ke mana ya. Baru inget, semenjak aku pulang kampung sampai balik lagi ke sini, dia belum chat. Boro-boro telepon nanyain kabar.
Teman durhaka.
Aku aja kalau gitu yang chat duluan.
woy, puff pastry kemaren fotonya udah kelar?
bulan madunya udah kelar toh?
Aku memutar bola mata.
Bulan madu di hamparan kebun sawit apa enaknya coba. Yang ada, masih foreplay, udah batal aja gara-gara kecocok duri sawit. Ck, bukannya romantis malah jadi tragedi.
gue lagi mau prospek pelanggan sultan dong😈
wih, simpenan pejabat mana lagi tuh?
otak penjahat emang lo.
yang ini kata Cacha ibu-ibu, istri sah kayaknya.
gatau kalau ternyata suaminya punya banyak
simpenan sih.
good luck.
nanti file-nya gue masukin ke gdrive ya.
gue mau ke bandara dulu, jemput bidadari😍
bye. muach!
Kenapa hidupku hanya untuk menyaksikan kisah-kisah manis orang lain. Egan sibuk ngurusin jiwa romantisnya. Giliran aku? Sekalinya dapet pacar, sebulan kelar karena katanya aku terlalu romantis, terlalu seksi, dan terlalu jago merayu.
Terlalu baik ternyata udah basi, Hooman, sekarang zamannya terlalu romantis-seksi-dan-jago-merayu yang diputusin. Biarin aja, nanti dia dapet yang sedingin dan sekaku tembok.
Tolong kabulin ya, Tuhanku paling agung.
Main Instagram dulu deh, buat lihat-lihat trending terbaru yang dilakuin sama orang-orang. Wissss, bukan main, dulu dihina, sekarang Tiktok lagi jadi raja.
"Permisi, Mbak Glara." Suara ketukan pintu menghentikan aktivitasku. "Ada tamu di bawah, katanya sudah buat janji dengan mbak Cacha."
"Iya! Aku turun. Makasih ya, Siska bukan e-nya tiga."
Aku mendengar suara tawa di seberang pintu, kemudian hening.
Huft, ini kenapa agak deg-degan? Apa karena cerita horornya Cacha ya. Tugasku berat banget sekarang. Kalau sampai aku melakukan kesalahan dan nggak bisa bikin Bu Ajeng ini mau ambil makanan dari kami, asli, dilibas abis aku sama Cacha.
Masalahnya, penentu utama kan rasa dari pastry-nya itu sendiri. Dan, itu jelas bukan tugasku dong memastikan bahwa lidah Bu Ajeng akan cocok. Pertama, bukan aku yang membuat Pastry-nya karena aku nggak memiliki pengalaman apa pun tentang itu. Kedua, ya ... karena beneran nggak tahu ke depannya gimana.
Lagian, kenapa neneknya Cacha harus datang ke Jakarta hari ini coba. Kenapa juga, baik mamanya maupun Cacha, terlalu percaya aku bisa melakukan ini.
Bismillah aja deh.
Aku keluar ruangan, buru-buru menuruni tangga, dan berharap Bu Ajeng dalam mood yang baik. Begitu menemukan sosok perempuan yang sedang duduk di kursi abu-abu, aku nggak langsung memutuskan ke sana, tetapi diam sebentar: mengatur napas.
Jangan berulah ya, jiwa iblis yang ada di dalam diriku. Sebentar aja, ini demi kebaikan masa depan kita. Bisa diajak kerjasama, kan?
Good.
"Selamat pagi, Ibu Ajeng."
"Hai." Senyumnya merekah sempurna. Elegan tiada tara. "Ini Mbak Dara ya??"
"Glara, Bu."
"Ohiya. Maaf, maksud saya Mbak Glara. Cacha sebenernya sudah bilang, tapi maklum, namanya lumayan sulit disebutkan."
Aku tersenyum, mengangguk sopan. Semoga dia paham, kalau maksudku tadi adalah bukan masalah yang besar. Salah nama nggak apa, asal jangan salah mencintai orang, oops.
"Ibu mau cobain beberapa Pastry-nya sekarang?" Oh wait, aku harus memberitahunya ini di awal supaya semuanya lebih mudah. Lebih baik terbuka akan kekurangan, sebelum dia yang menghina, kan? "Sebelumnya saya minta maaf karena Cacha nggak bisa menemui, Ibu." Dia perfeksionis, jadi paling enggak aku harus menjadi baik dan mengalah. "Dan, nanti urusan masukan tentang rasa atau garnish dan lain-lain, saya akan catat dan sampaikan pada Cacha, karena sebetulnya saya kurang paham mengenai proses pembuatannya."
Lebih tepatnya, aku cuma jago menghias sosial media kami, mempersiapkan foto-foto produk barengan Egan. Untuk finishing, Cacha tetap akan memeriksa detail deskripsi, kalau-kalau ada kesalahan sebut nama bahan kandungan dan lain-lain.
"Oh iya, Mbak Glara. Cacha sudah kasih briefing sedikit tentang itu." Ada tawa kecil yang malah bikin aku bingung. "Sebentar ya, tungguin anak saya. Lagi pamit ke toilet tadi."
Dengan takzim, aku mengangguk.
Ini aneh. Cacha bilang Bu Ajeng orangnya detail dan agak perfeksionis. Serius deh, aku sebelumnya membayangkan dia adalah orang yang nggak akan memberimu senyum basa-basi, justru akan memberimu tatapan mencemooh ketika kamu mengatakan kekurangan, atau apa pun. Apa ... semua itu cuma ada di film? Drama? Sinetron?
Atau, cuma belum keluar aja sisi mengerikan yang disebutkan Ca ....
"Udah, Ma?"
HOLY SHIT!
Perkara lama jadi lajang, kayaknya kata 'lajang' mendadak berubah jadi 'jalang' sekarang. Kenapa melihat lelaki ini, aku merasa seolah nggak pernah melihat lelaki ganteng?
Jijik banget kalau dipikir-pikir dengan respons tubuhku tadi. Tapi beneran, aku sempat syok dan menahan napas waktu dengar suaranya dan melihat tampilannya. Apa ya ... ng, ini agak meleset kalau disebut ganteng. Badannya tinggi, literally tinggi walau nggak kayak tiang banget. Rambutnya rapi sekali. Kulitnya eksotis.
"Nah, ini dia orangnya. Mba Glara, kami bisa mulai coba Pastry-nya?"
"Oh, ya. Tentu. Mohon tunggu sebentar, Ibu. Biar saya siapkan dulu."
Aku berdiri, melihat beberapa orang mulai datang. Ada yang berdua, bertiga, sendiri pun banyak. Kalau dari beberapa komentar pengunjung, mereka suka datang ke sini, selain karena rasa dari pastry buatan Cacha juga beberapa makanan dan minuman lain, adalah suasana tempatnya yang mereka 'beli'. Paduan warna cokelat dari kayu, dan abu-abu untuk sofa, serta hijau dari dedaunan, baik yang hidup maupun palsu.
Aku sudah meminta anak-anak untuk menyiapkan apa yang diperintahkan Cacha kepada mereka (aku tinggal eksekusi), kemudian aku kembali duduk di hadapan ibu-anak. Tiba-tiba, aku ketawa dalam hati, mengingat ucapan Cacha kalau anaknya nggak mungkin disunat.
Yaiyalah, kalau modelan begini disunat, mau gimana? Mending aku aja yang nyunat. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak boleh melecehkan orang lain, setidaknya jangan frontal, jadi kosumsi pribadi aja, hehe.
"Pejaten ke sini macet nggak, Bu?"
"Kalau ngomongin macet di Jakarta itu lumayan sulit ya, Mbak Glara." Omongannya terjeda, karena handphone anaknya berbunyi. Setelah anaknya pamit sebentar, mengangguk singkat ke aku, lalu keluar pintu, barulah Bu Ajeng melanjutkan. "Dia libur, makanya bisa nemenin saya ke sini."
Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Salah satu hal yang sulit adalah ... ketika ada perempuan paruh baya, mulai menceritakan tentang anak lelakinya. Memangnya nggak bingung mau kasih respons apa?
"Saya bangga sekali. Meskipun kata orang-orang, kadang tetap ada yang bandel, baik dari pilotnya maupun maskapai, tapi dia tetap patuh, kalau sudah cukup jam terbang baik mingguan, bulanan atau tahunan, dia nggak terbang."
Aku menelan ludah. Membayangkan, badan tegap lelaki tadi, dibalut seragam pilot dengan pangkat bar yang menempel, ugh, kok cakep banget ya.
Jadi kebayang captain Vincent, meski dia lebih masuk ke seleranya Cacha dengan mata-mata minimalis dan senyum jenaka, tetapi aja, gagah dan ganteng.
"Makanya, dia mau saya ajak nganterin begini. Meski sudah tua, anak dan ibu juga butuh quality time, kan Mbak Glara?"
"Iya, Bu. Quality time dibutuhkan oleh siapa pun. Apalagi untuk ibu dan anak. Karena biasanya, ketika sudah menikah nanti, waktu anak akan terbagi. Nggak hanya fokus ke orangtua."
Senyumnya merekah. "Kalau itu saya nggak perlu khawatir."
"Oh, anak Ibu adalah suami sekaligus anak yang baik? Bisa membagi waktu dengan baik? Itu keren sekali."
Hooman, kamu lagi punya gebetan? Pengen tahu kehidupan pribadi seseorang apakah sudah menikah atau belum? Atau, sesimpel kepo-kepo ringan? Tuh, sudah aku kasih salah satu bocoran trik. Selamat mencoba.
"Oh bukan. Dia---"
Ucapannya terpotong, dan sepertinya tidak akan dilanjut lagi. Karena hidangan datang, sekaligus anaknya sudah kembali, duduk dengan anteng.
"Oh ini kesukaan saya, puff pastry. Saya coba ya, Mbak Glara."
"Silakan, Ibu. Semoga menikmati."
Oh, mereka mau nyobain sponge cake juga ternyata. Tapi, itu yang Strawberry and Cream. Sponge cake adalah favoritku dari semua bikinan Cacha! Yang varian cokelat.
"Kamu cobain sponge cake-nya, Sayang." Bu Ajeng kemudian menatapku. "Anak saya suka banget sama Sponge Cake yang stroberi dan krim gitu, Mbak Gla. Tapi, susah nemu yang cocok, kadang kemanisan, sekalinya nggak manis, nggak bisa diterima lidahnya."
Oh God, kill me now.
Kayaknya aku sudah tahu ke mana arahnya ini semua. Yang agak detail, itu bukan Bu Ajeng. Yang agak perfeksionis, itu juga bukan Bu Ajeng. Bu Ajeng pilah-pilih pemesanan kue atau semua tempat makanan, hanya karena itu tidak sesuai selera anaknya.
Dan, bagi Bu Ajeng, anak adalah segalanya.
Masuk akal, kan analisa dadakanku?
Sekarang, fokusku bukan lagi pada bu Ajeng ketika dia mencicipi makanannya tadi. Karena melihat dari senyumnya, aku yakin Cacha sudah berhasil mengambil hati Bu Ajeng lewat olahannya ini.
Namun, sekarang, duh, seperti melihat adegan slow motion, aku menelan ludah ketika tangan si anak itu mengiris kecil 'daging' sponge cake beserta buah segarnya, menusuknya menggunakan garpu, membawanya ke mulut, masuk .... mengunyah dan ... spontan aku memejamkan mata.
Lelaki ini adalah penentu apakah istanaku akan segera dibangun di kampung halaman atau tidak. Kalau sampai dia ...
"Enak."
"WAH! SERIUS, PAK?" Aku bangkit dari duduk, membungkukkan badan berkali-kali. "Maaf." Kemudian baru sadar kalau reaksiku berlebihan setelah melihatnya melongo sambil tangan tetap memegang garpu. "Terima kasih banyak, Pak." Sudah membantuku mempercepat waktu membangun istana.
Setidaknya, menuju ke sana.
"Pas di lidah kamu?" tanya sang mama.
Si anak cuma mengangguk.
"Krimnya nggak kemanisan?" Hanya gelengan lagi sebagai jawaban. "Adonannya pas empuknya?" Sebuah anggukkan. "Berarti kamu cocok sama olahan Cacha?"
"Ya."
"Alhamdulillah."
Kami sama-sama tertawa, karena ternyata yang mengucapkan itu adalah aku dan Bu Ajeng dengan bersamaan.
"Ini enak." Dia senyum, tapi ke mamanya.
"Kalau gitu, Mbak Glara. Kita sepakat. Untuk pemesanan beberapa kue, saya akan minta CG's Pastry ya?"
"Baik, Bu. Terima kasih banyak."
"Ohya, kalau request khusus begitu, boleh? Misalnya, ada jenis kue yang saya atau anak saya lagi pengin banget. Saya minta tolong dibuatkan atau meminta Cacha dan Mbak Glara datang ke rumah untuk mengajari, bisa?"
Aku nggak langsung menjawab, berusaha mencerna sebaik-baiknya semua omongannya. Bukankah Cacha bilang dia punya uang? Meski nggak sesultan Raja Salman, harusnya menyewa seorang Pasty Chef atau Baker handal atau apalah itu istilahnya bukan hal yang sulit, kan?
Kenapa?
Tapi, karena ini merupakan keuntungan besar bagi kami, tentu aja aku nggak mau menyia-nyiakan. Dengan hormat, aku menganggukkan kepala, sambil mencatat hal penting untuk aku diskusikan dengan Cacha.
Hingga mereka berdua akhirnya pamit, dan aku mengantar dengan berjalan di belakangnya sebagai bentuk kesopanan. Bu Ajeng menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar, aku membalas hal serupa. Mereka masuk mobil, dibantu tukang parkir kemudian ... tiba-tiba, Bu Ajeng keluar, kembali menghampiriku.
"Ada yang ketinggalan, Bu?"
"Oh bukan. Saya cuma lupa bilang ini. Seminggu lagi, di rumah saya akan ada acara keluarga. Keluarga saya dari Surabaya mau ke Jakarta. Jadi, bisa dimulai kerjasama kita untuk yang perdana ya, Mbak Glara?"
Wissssss. Bukan kaleng-kaleng memang Ibu ini.
"Nanti, saya telepon Cacha juga. Tapi, untuk memperjelas, Mbak Glara bisa bantu jelaskan juga ke dia ya."
"Baik, Bu."
"Kalau begitu, saya benar-benar permisi."
Setelah mereka pulang, aku pun memutuskan pulang ke rumah lebih cepat. Karena rencanaku hari ini, aku mau masak Indomie. Jatahku kan sebulan sekali, dan ini sudah waktunya! Kalau masak di sini, nggak enak lah.
Enakan di rumah, bebas.
Sayangnya, kayaknya rencanaku bakalan batal. Karena begitu masuk rumah, aku menemukan seonggok manusia tak berdaya yang sedang tengkurap di sofa ruang tamu.
"Bukannya lo mau nginep di rumah Nyokap? Kan katanya ada Nenek lo berkunjung."
"Tahu gitu, gue nggak usah datang ke sana. Kenapa jebakan terus anjir."
"Maksudnya?" Aku duduk, melepas jaket dan heels. "Lo sakit?"
"Bukan!" teriaknya heboh. Kemudian duduk dengan rambut awut-awutan, dan menatapku dengan wajah frustasi. "Lo pikir aja deh, Glaaaaaa. Gue heran, enggak elo, enggak Nyokap, semuanyaaaaa bikin gue mikir keras dan darah tinggi!" Ngomel lagi, ngomel mulu, ngomel terus. "Nih ya, gue kira, hidup aneh macam itu cuma ada di film-film atau kisah orang-orang from this to this di Twitter. Ini ternyata gue juga ngalamin!"
"Elo mau cerita apaan sih intinya? Ya ampun, gue pusing banget dengernya. Langsung ke inti aja bisa nggak sih, biar nggak ngomel mulu. Nggak capek?"
"Gue. Mau. Dijodohin."
"WHAT?!"
"Kaget kan? Drama picisan kan? Memang!" Tangannya mengacak rambut. "Kata Nyokap, nyari lelaki tuh susah. Makanya, begitu ada yang baik dari segi bibit, bebet dan bobot, kenapa nggak dicoba? Dia nggak maksa, katanya, tapi minta kenalan dulu. Jalani dulu. Bunuh gue aja, Tuhan."
"Jangan mati dulu dong ah. Istana gue belum kebangun nih."
"Duit aja otak lo emang."
Aku nyengir. "Kenapa sih, yang dipikirin selalu tentang 'nyari laki susah', makin bikin manusia-manusia berterong besar kepala, makanya banyak yang jadi bajingan."
"Tapi ganteng enggak orangnya? Apalah arti baik, kalau nggak ganteng dan nggak kaya, lo tetap akan dicibir netizen. Manusia kan harus terkesan sempurna."
"Enggak ganteng! Sama sekali bukan selera gue!"
Emang ngeri sih seleranya Cacha. Bentukan Arjun Rampal aja menurut dia nggak ganteng lho. Asli, gila memang nih orang. Aku disuruh nikah sama Arjun Rampal atau semodelannya begitu, nggak perlu lagi mikirin bangun istana di kampung halaman, yang kupikirin adalah bangun rumah tangga yang baik dan harmonis.
Ugh, manisnya.
"Mukanya brewokan, gue nggak suka! Kulitnya gelap! Iya, gue memang rasis, tapi gue boleh dong milih kriteria sesuai gue! Orangnya tinggi banget! Bahkan dari fisiknya aja gue udah nggak suka, gimana mau kenal personality-nya. Temenan memang sama siapa pun, okay. Kita ramah ke siapa pun, okay. Tapi untuk pasangan? Ya harus sesuai kita lah! Gue berkali-kali bilang ke Nyokap, gue sukanya yang Chinese, ya Allah. Kenapa susah banget cari Chinese yang Islam. Temennya Roger Danuarta masih ada nggak ya?"
Aku mengembuskan napas. Kebanyakan cincong ini anak. "Bukan dia yang jelek berarti, Cha. Tapi selera lo yang nggak manusiawi. Pengen yang kayak Roger, udah mirip Cut Meyriska memangnya lo?"
"Cantikan gue ke mana-mana kali."
Aku terbahak, membuatnya makin tampak kesal. Aneh kan seleranya dia? Yang brewok dibilang jelek, yang kulitnya eksotis dibilang nggak menarik (ini memang dia agak ngeselin soal ini, padahal cowok berkulit gelap tuh macho abis!), yang badannya tinggi tegap dibilang terlalu menakutkan.
Memang, bagi dia, muka Chef Arnold dengan badan cukup setinggi Sule. Atau, ya, Captain Vincent Raditya itu tadi. Cacha banget.
Dia suka yang imut-imut begitu.
"Coba liat, sejelek apa kali ini orang yang lo ejek itu."
"Gue nggak ngejek, ini cuma masalah preferensi!"
"Tetep aja ngejek! Lo bilang dia jelek dan kulitnya gelap!"
"Ya sama aja kayak lo ngatain cowok selera gue terlalu putih dan mata minimalis ya, kampret!"
"Okay! Mana liat?" Tangannya merogoh isi tas, kemudian mendapatkan handphone. Setelah mengotak-atik sebentar, dia memberikan benda itu ke aku. "SHIT!" Jantungku rasanya mau lepas. "Jangan sampe gue banting hape lo ya!"
"Apaan sih anjir."
"Kayak gini lo bilang jelek, tadi gue ketemu dia langsung rasanya napas gue mau---oh wait, lho, Cha. Ini anaknya Bu Ajeng?!"
Kepalanya mengangguk lesu.
"Elo mau dijodohin sama anaknya Bu Ajeng?!"
"IYA!"
Seketika, aku terduduk lemas. Pantesan Bu Ajeng manggil aku ada embel-embel 'Mbak' sementara ke Cacha enggak. Pantesan, dia senang banget waktu anaknya suka kue bikinan Cacha. Pantesan dia minta Cacha bikinin dia kue hingga harus datang ke rumahnya alih-alih bayar orang lain yang pasti dia udah kenal.
Ya, pantesan aja semuanya berjalan terlalu mudah.
Nasib, nasib, sekalinya nemu yang bening dan pas di mata, malah buat temen sendiri.
"Gue nggak mau dijodohin, Gla."
Aha! Aku mendapatkan ide brilian. "Karena dia ini masuk ke selera gue banget. Gimana kalau buat gue aja?"
Zaman sekarang gitu lho, apa yang diharapin dari semesta soal cinta? Ketemu jodoh nggak sengaja tabrakan di jalan? Di kereta? Di mall? Bullshit! Sekarang zamannya jodoh karena koneksi. Manfaatkan!
"Kalau lo bisa, ambil aja. Tapi, lo nggak punya cara kan?"
"Kata siapa?" Aku menyeringai. Inilah saatnya aku memanfaatkan sesuatu yang kusuka. "Nanti, pas acara lamaran, lo sembunyi dan gue yang akan menggantikan. Pakai kain penu---AW!" Jidatku disentil kuat.
"Lo kira ini chori chori chupke chupke?"
---
perjodohan lagi, perjodohan melulu, perjodohan teros.
ngabuburit yuk, online tapi.
gimana gaes, lanjot? penat kali otaku bah. pauk kau martabe. hahahaha, aku tim merlin, kalian tim stella aja ya😂.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top