sewelas

"Jadi menurut lo gue harus gimana?"

"Pikir sendiri. Udah gede, kan? Pakar cinta kan ngakunya?" Kalimat jahatnya kembali muncul. "Via, stroberinya mana?"

"Lho yang di kulkas abis, Mbak. Tadi beli lagi nggak?"

"Cha .... waktu gue buat jawab Ingga tinggal---"

Dia mengangkat tangan. "Tadi gue beli kok, Vi. Apa masih di mobil ya?"

Via meringis menatapku. Mungkin dia iba, tapi bosnya memang bisa sekejam presiden Korea Utara. "Aku ambil dulu kalau gitu. Permisi, Mbak Glara."

"Iya iya." Aku berjalan mendekat lagi tepat ketika Cacha sedang mempersiapkan mixer. "Cha, lo cuma perlu jawab gue iyain atau tolak dengan alasan lo aja udah. Cukup. Suwer. Please ...."

"Gue kan bukan siapa-siapa. Sepenting apa pendapat gue dibanding seorang pakar."

"Astaga. Okay! Gue bukan pakar. Sama sekali bukan. Bener kata lo, Andrian kurang ajar karena ngasih gue gelar itu cuma biar gue nggak patah hati banget."

"So?"

"Please ...."

Akhirnya! Setelah rayuan sedemikian rupa, Cacha mau menatapku. Meski dikasih 'bumbu' sedekap tangan. Seolah siap banget memaki. "Lo tahu istilah insting?"

Aku mengangguk dengan cepat.

"Pake itu."

"Gitu doang?"

Ia mengendikkan bahu. "Gue selalu berusaha mengikuti insting. Selain karena Ingga bukan tipe gue, dari awal gue udah nggak yakin sama dia. See? Pada akhirnya dia memang berjuangnya malah ke elo. Jadi, dari hati terdalam lo, lo yakin nggak sama semua ini?"

Ya Tuhan.

Diberi pertanyaan ini, ternyata jauh lebih sulit dari pertanyaan Ingga. Yakin atau tidak. Aku bahkan belum bisa mengenali diriku sendiri yang saat ini sedang bersama Ingga.

Semua ini ... sangat berbanding terbalik dengan rencana yang disusun. Karena terburuknya, ini pun sama sekali enggak masuk dalam plan B atau lainnya. Aku ... jadi bingung harus bagaimana.

Di sisi lain, tidak ada yang salah dengan Ingga. Dia tampan, mapan, baik, dermawan, dan ... jago. Anehnya, semua kebaikan itu masih belum cukup untuk membuatku mengangguk tanpa pikir panjang. Aku tetap khawatir, akan kah ini semua euforia semu? Akankah ke depannya berubah menjadi sulit?

"Gla."

"Ya? Eh, sorry."

Dia berdecak. "Gue tuh pengen banget bunuh lo, pengen buat nggak peduli. Tapi kenapa susah banget sih." Matanya mendelik setelah aku berhasil nyengir lebar. "Bikin kita yakin itu memang nggak mudah. Dan, gue juga salah sih karena memaksa lo harus ngikutin insting. Sementara kalau dalam keadaan panik gini, kita bahkan susah bedain logika atau perasaan. Jadi, gue mau ngajuin beberapa pertanyaan. Harus dijawab."

Aku menelan ludah, malah terasa seperti ujian sungguhan.

"Seberapa---"

"Ada, Mbak, buah---eh sorry."

"Tolong lanjutin dulu ya, Vi, gue mau urus peliharaan satu ini. Sini lo."

Tanpa membantah, aku mengintil Cacha yang berjalan ke arah ruang tamu. Kami duduk, lalu kembali saling tatap.

"Okay, dengerin gue. Perasaan lo ke Ingga, banyakan suka atau nggak sukanya?"

Aku menunduk lesu. "Dia bahkan belum nunjukin hal yang bikin gue nggak suka.

"Ohiya. Lupa, kalau lo berpotensi tergila-gila sama dia."

"Cha ...."

"Udahlah. Iyain aja. Ribet banget."

"Tapi emang nggak kecepetan?"

"Apa bedanya sekarang atau nanti kalau sama-sama akan bikin lo mau juga?"

"Iya sih. Tapi, kan ...."

"Gini aja. Gimana kalau kita bikin semacam standar?"

"Maksudnya gimana?"

"Bu Ajeng kan belum tahu nih kalau lo yang malah jadi sama anaknya. Soalnya, gue larang Nyokap buat ngasih tahu. Terus, supaya mudah gini aja. Kalau nanti Bu Ajeng nggak suka lo, artinya ini tanda buruk dan lo balik ke rumah. Gimana?"

"Kenapa nggak berjuang buat bikin Bu Ajeng suka gue?"

"Astaga, ya kalau gini ngapain lo sibuk dari tadi buang waktu gue! Lo udah punya jawaban, apa pun yang terjadi, lo bakalan tetap perjuangin Ingga! Kampret lo emang. Udah sana minggat."

"Tapi gue takut ...."

"Takut apa lagi?"

"Enggak tahu. Gue tuh di persimpangan antara gue mau terus maju, atau mundur aja deh karena ini terlalu mendadak dan misterius."

"Bahasa lo pengen banget gue revisi abis-abisan. Gini aja. Lo iyain, dateng ke sana. Kalau nanti kenapa-napa, telepon gue. Gue bakalan dateng buat bunuh Ingga. Okay? Atay, kalau lo ragu atau apa pun, lo langsung balik dan block Ingga. Okay?"

Aku tersenyum lebar seketika.

"Udah lega?"

"Ish! Cacha diciptakan memang untuk seorang mantan pakar cinta." Kutarik napas dalam-dalam, aku menatapnya serius kali ini. "Bener kata lo kayaknya, kalau nanti Bu Ajeng nggak setuju, artinya itu clue dari Tuhan kalau gue harus mundur. Okay, bismillah, gue siap-siap dulu deh."

Sebelum memutuskan untuk membersihkan badan, aku mengabari Ingga lebih dulu kalau aku siap datang ke rumahnya.

Ya, semoga aku sepenuhnya siap.






***





"Ada tebak-tebakan hebat buat saya hari ini?"

"Aku agak deg-degan," kataku lesu. "Jadi, nggak mempersiapkan tebak-tebakan."

"Pertama kali dateng ke rumah pacar?"

Refleks, aku tertawa pelan. Berdeham bekali-kali, kemudian minum air mineral yang banyak. Tenang ya, tenang. "Kamu nggak berpikir kalau kamu adalah yang pertama buatku kan, Pak Ingga?"

Kepalanya menoleh. "Kamu nggak kelihatan kayak orang yang pertama kali dicium."

"Wow. Apa itu artinya, aku handal?"

"Dibandingkan strategimu soal percintaan, kamu lebih baik dalam hal kemarin."

Kali ini, aku terbahak.

Syukurlah, setidaknya aku nggak mengecewakan diriku sendiri dengan gelar pakarku. Ciuman memang passion sepertinya. Enak, mudah dilakukan, dan gratis pula.

"Saya yang punya tebakan buat kamu."

"Hah? Bapak Ingga, apakah Anda tadi di perjalanan kesambet sesuatu? Dajjal misalnya?"

Dia tertawa kecil, menggelengkan kepala tanpa menoleh ke arahku. Mobil berbelok ke arah kanan, jalan lurus lagi. Barulah setelah stabil, dia menoleh dan tersenyum. "Saya belajar ini semalaman. Internet nggak secanggih itu ternyata, dia nggak bisa menangkap semua maksud saya."

"Maksudnya gimana?"

"Saya kebingungan pakai keyword apa supaya bisa sama dengan keahlianmu."

Shit.

Dia lucu banget. Rasa gugupku menguap entah ke mana. Diganti dengan rasa antusias untuk mendengarkan hasil belajarnya semalaman.

"Kalau gitu, coba tunjukin ke Bu Guru Glara. Nanti biar dinilai."

Ia mengangguk. "Kamu tahu nggak, kalau di langit itu ada seratus bintang?"

Jangan ketawa, Gla, jangan. Bila perlu gigit bibirmu kuat-kuat sampai berdarah. "Enggak. Emang iya?"

"Tapi, sekarang tinggal sembilan puluh delapan."

Karena yang dua lagi ada di matamu. Itu jawabannya. Mari buat dia sedikit bingung dulu, haha. "Oh gitu. Aku bahkan baru tau ada yang berhasil hitung bintang."

Dengan cepat ia menelengkan kepala. "Bukan gitu jawabannya." Kemudian tangannya meraih handphone, terlihat sangat berusaha membagi fokus antara jalanan dan layar kaca. Oh, nyari contekan. "Bener, kamu seharusnya jawab 'ohya? Kok gitu?'."

"Ohya? Kok gitu?" Suwer, sebentar lagi aku akan menyemburkan tawa.

"Karena yang dua lagi ada di matamu."

Aku benar-benar sudah tidak bisa menahannya lagi. Ternyata, menggelikan sekaligus menghibur melihatnya bertingkah begini. "Lah? Kok mukanya merah? Hahaha. Mas, kamu salah tingkah ya? Ya ampun gemes banget."

Tangan kirinya menggosok muka beberapa kali. "Energi saya habis hanya untuk satu pertanyaan. Gimana bisa kamu lakuin itu tanpa terlihat berusaha?"

"Karena itu adalah bagianku." Senyumku bangga. Aku bahkan menepuk dada. "Oh aku punya pertanyaan buat kamu."

"Silakan."

"Sekarang aku gendutan. Ya nggak sih?"

"Enggak. Kamu sudah timbang badan?"

"Astaga." Aku kembali tertawa sambil memukul pahaku sendiri. Mau pukul paha dia, takut meleset. "Jawabannnya bukan gitu. Kayak yang kemarin."

"Maaf," lirihnya. Dia tersenyum lebar. "Saking pakarnya, kamu terlalu susah dibedain, antara pertanyaan serius atau tebakan lagi. Yang kali ini, jawabannya harus gimana?"

"Kayaknya iya. Jawab gitu aja."

"Kamu nggak marah?"

"Ingga! Ini kan cuma tebakan."

"Oh okay. Kayaknya iya."

Aku senyum lebar. "Karena kamu akhir-akhir ini mengembangkan banyak cinta di hatiku. Lucu banget kan."

Dia ikutan tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Mau lagi nggak?"

"Boleh."

"Orangtuamu pengrajin bantal ya?"

"Kayaknya iya."

"Yang ini bedaaaaaa." Gemasnya karena dia salah melulu. Apa sesulit itu ya belajar beginian dibanding menerbangkan pesawat? "Jawabannya, 'kok tahu?' gitu."

"Kok tahu?"

"Karena kalau di dekat kamu, rasanya nyamaaaaan banget. Gemes kan? Hahaha."

"Gemes."

Sisa perjalanan itu, kami habiskan dengan aku yang terus memberinya tebakan, dan dia dengan antusias---semoga---mendengarkan, menjawab dan sesekali ikut tertawa.

Sampai akhirnya, mobil berhenti di depan gerbang hitam. Aku tahu dengan pasti ini di mana.

"Sudah hilang gugupnya?"

"Anu ..." Aku meringis. "Sekarang dateng lagi."

Ingga melepas sabuk pengamannya, menyerongkan badan, menghadapku. Ya Tuhan, tolong, kali ini aja, aku dipinjami ketenangan milik lelaki ini. Dia terlihat benar-benar mudah sekali beradaptasi dalam situasi apa pun. Mukanya tenang, sesekali bibirnya tersenyum tipis, tidak bertingkah berlebihan.

"Mau coba sesuatu untuk mengurangi gugup?"

"Mau."

"Tutup mata." Intruksinya segera kuikuti tanpa sangkalan. "Tarik napas dalam-dalam, tahan .... hembuskan. Tarik napas lagi, tahan .... hembuskan. Pintar. Sekarang ikuti, ya. Aku ...."

"Ngomong?"

Suara kekehannya terdengar. "Iya, ikuti saya ngomong."

"Aku."

"Glara."

"Glara."

"Akan bertemu dengan Mama Ajeng."

"Akan bertemu dengan Mama Ajeng. Eh?" Mataku refleks terbuka, melihat mukanya nggak terlihat menggoda, aku kembali menutup mata lagi.

"Aku."

"Aku."

"Akan melakukan versi terbaik dari diriku."

"Akan melakukan versi terbaik dari diriku."

Sekarang, tangannya terasa menyentuh tanganku, dielusnya pelan. "Semuanya, seharusnya, dan akan kuusahakan untuk baik-baik aja."

"Semuanya, seharusnya, dan akan kuusahakan untuk baik-baik aja."

"Kalaupun tidak berjalan baik, itu bukan kesalahanku. Aku akan berusaha."

Aku ikuti, lagi. "Kalaupun tidak berjalan baik, itu bukan kesalahanku. Aku akan berusaha."

"Sudah."

Kubuka mata dan mendapati dirinya masih di hadapanku, tersenyum manis, menatap teduh, dengan kedua tangan menggenggam tanganku. Kalau clue yang diberikan sebaik ini, mungkin memang ke depannya akan baik-baik aja.

Aku tersenyum. "Makasih. Kamu jago nenangin orang."

"Itu selalu berhasil buat Sahilla."

"Sahilla?"

"Keponakan saya."

Sialan Ingga! Jadi, aku diperlakukan sama dengan keponakannya? Apa mungkin keponakannya seusiaku .... jelas nggak mungkin. "Berapa umurnya?"

"Kelas empat SD."

Hembuskan napas lagi, tahan, jangan tersinggung. Karena sekarang Ingga sudah keluar mobil, membuka pagar, kemudian kembali lagi untuk memasukkan mobilnya.

Inilah inti acara dari semuanya.

Kami berjalan bersama menuju pintu rumah. Dibukakan oleh Mbak yang saat itu kubantu membersihkan sendok dan peralatan lain, kemudian kami diminta untuk berjalan menuju ruang ... aku boleh pulang aja enggak?

Takut ....

Genggaman tanganku terasa menguat. Aku mendengak untuk melihat Ingga, tetapi dia sedang menatap lurus ke depan.

Di sana.

Tepat di depan pandanganku, ada Bu Ajeng sedang duduk di salah satu kursi. Di hadapannya ada meja besar dengan ... kenapa ada sebanyak itu makanan?

Bu Ajeng menatapku!

Cacha, halo, Cacha, apakah telepati kita berhasil? Lo denger gue?

Ah, aku setelah ini mungkin akan meninggal, Hooman, karena beliau sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya, tidak juga tersenyum. Artinya, dia menunjukkan ketidaksu....

"Kok bisa selama ini datengnya? Ingga, ih, Mama bilang apa, kamu harusnya dateng lebih lama biar Mbak Gla---eh maaf, masih belum terbiasa. Nak Glara nggak nunggu lama."

Aku melongo.

"Sini, kasihin ke Mama tangannya." Dengan titah itu, maka Ingga melepaskan genggaman tangannya, kemudian aku berhadapan langsung dengan Bu Ajeng. "Hai. Gimana rasanya dateng ke sini bukan sebagai teman Cacha tapi malah sebagai yang harus Ingga perkenalkan ke saya?"

"Halo, Tante." Aku membungkukkan badan. "Salam kenal. Maaf, mungkin ini terasa sedikit aneh, tapi .... ya, semuanya berjalan dengan penuh kejutan."

"Kamu kaget?"

"Maaf?"

"Saya sih enggak. Sejak pulang dari pertemuan kita, sejak Ingga untuk pertama kalinya tanya 'namanya siapa, Ma?', saya tahu dia maunya kamu bukan Cacha." Ini .... sungguhan? "Saya sebelumnya memang khawatir, kalau kamu dan Cacha berantem gara-gara Ingga gimana, ternyata saya kepedean, Ingga nggak sekeren itu sampai harus direbutin. Iya kan?"

Aku meringis, mengangguk ragu. Kulirik, Ingga sedang duduk, menghadap makanan tanpa terlihat terganggu sama sekali. Baik dengan kalimat Bu Ajeng, maupun godaan di meja itu.

Wow.

Makin wow lagi, karena detik berikutnya, aku merasakan sebuah pelukan. Wangi dan hangat. Bu Ajeng bahkan mengelus belakang kepalaku, punggung dan lengan. Tak lama, sebuah bisikan kudengar, "Terima kasih sudah menerima Ingga. Kamu orang yang ceria, terlihat sangat positif. Kita hadapi apa pun yang akan menghalangi ke depannya, bersama-sama."











---
akutuh gamau drama mertua benci menantu sebenernya. akutuh gasuka akutuh. cukup pernah bikin itu sekali dulu. akutuh gasuka akutuh. karena takut kejadian beneran akutuh.

cie up lagi cie. btw gaes, nanti ada cerita baru, biar tamatnya nggak jarak jauh, dan kalau cetak bisa bundling, ternyata hemat ongkir kan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top