sepuluh

"Lo bisa nggak hari ini libur dulu?"

"Nggak."

"Please ...."

"Pesenan gue banyak, Sister. Beda sama lo yang bisa ditabung kerjaannya buat kebutuhan besok dan besoknya. Gue harus kerja sesuai pesanan, belum lagi stock yang di etalase. Bentar lagi juga Via dateng."

"Jadi maksud lo, kerjaan gue lebih remeh dari lo?"

"HEH!"

"Cha ...." Aku merengek, kemudian bergeser ke ujung ranjang sambil menatapnya sedih. "Jangan bentak-bentak kenapa sih. Gue lagi rapuh."

"Najis!" serunya, terlihat makin emosi bukannya iba melihatku sebegini nelangsanya. "Sumpah ya, sejak pulang dari so-called-kencan-mantap lo itu, lo berubah kayak cewek yang ditinggalin setelah ngaku hamil." Kalimatnya itu lho .... WOW, aku sampai menganga tak percaya. "Pulang-pulang lemes tak berdaya, masuk kamar orang, minta ditemenin tidur, meluk sepanjang malam. Lo pikir gue nggak was-was?"

"Cie, khawatir."

"Glara!" Galaknya, nggak ada obat. "Terakhir lo begini waktu putus dari mantan yang bilang lo pakar cinta. Kenapa? Lo putus sama Ingga bahkan di date pertama?"

"Enggak! Mulut tolong dijaga."

"Terus kenapa?"

"Gue juga nggak ngerti kenapa."

Kemarin, setelah insiden yang disesali dan tidak disesali dalam satu waktu itu, kami langsung meninggalkan tempat karaoke. Awkward bukan main. Bodohnya, ketika Ingga tanya mau ke mana, aku malah menjawab 'keliling aja dulu, aku mau nenangin otak'.

See?

Sudah kubilang, kapabilitasku sebagai pakar cinta akan musnah tak tersisa kalau sudah bersama Parama Pringgayudha itu. Diperburuk dengan dia yang juga tak mengeluarkan sepatah kata pun setelahnya. Kami keliling jalanan entah dari mana tujuan ke mana.

Pokoknya, sama seperti Arief Muhammad alias Poconggg kalau lagi interview di Alphard-nya itu. Tujuannya tidak jelas, muterin BXchange dan bolak-balik terus.

Sekitar pukul 21.45, aku memutuskan pulang. Ya, Cacha pasti keheranan. Aku berangkat dengan antusias yang begitu kentara, pulang-pulang loyo seperti kalah perang.

Aku ... kira-kira kenapa ya?

Oh okay paham, ini memang bukan ciuman pertama. Ini bukan pengalaman perdanaku dalam 'menggoda' pria. Aku punya beberapa mantan. Bertukar gombalan, melakukan sentuhan sayang dibatas wajar (senggaknya, menurut kesekapatan kami berdua), itu kulakukan bersama mereka.

Yang menjadi masalah adalah ... ini kencan pertama! Glara, Glara, Glara. Kamu bahkan belum mengenalnya. Kamu baru mengenalnya. Hubunganmu baru seumur setengah biji jagung. Gimana bisa, kamu berciuman sedemikian mantapnya?

Kenapa mudah banget melakukan itu? Kenapa semudah Ingga memutuskan untuk bersamaku alih-alih bersama Cacha? Kenapa aku sama mudahnya?

"Gla. Lo beneran nggak kesambet apa pun kan?"

Aku menoleh, nyengir lebar.

"Lo jangan macem-macem. Lo pikir gue peduli? Kenapa sih anjir!"

"Gue lagi dilema, Cha. Lagi berada di persimpangan antara yakin dan yakin banget."

"Astagfirullah. Nyebut gue. Lo produksi kalimat-kalimat kayak gitu---wait, jangan bilang, semalam semua gombalan receh lo itu keluar? Terus Ingga jijik sama lo dan lo ditinggal gitu aja? Bener gitu?" Tubuhnya bangkit dari posisi tidur, duduk bersila menghadapku. Aku yang masih malas bangun. "Berengsek emang tuh orang. Tapi ya lo salah juga. Lo belum kenal dia. Sama Andrian, lo aja harus putus setelah dua tahun pacaran, ini lagi yang baru kenal dan lo nggak bisa nahan dikit buat nggak aneh-aneh."

"Elap tuh."

"Apa?"

"Mulut lo berbusa. Ngoceh terus."

"Oh beneran mau mati muda?" Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. Aku tahu dia sedang mencari sesuatu untuk membunuhku. "Well, gue bisa jadi psikopat terkenal setelah berhasil membunuh lo dengan bantal ini." Ancamannya nyata ketika dia mengacungkan bantal ke arahku. "Sini!"

Aku terbahak. "Ampun, Nyonya. Ampun! Jangan bunuh saya. Saya sudah berusaha tolak, tapi Tuan tetap tergoda dengan saya."

"Biadab memang lo ya!" teriaknya kencang sambil terus memukulku dengan bantal. "Dikasih hati minta kepala!"

"Sakit!" Aku turun dari ranjang, gantian berkacak pinggang. "Mendalami peran banget Anda ya, Bu, mukulinnya. Lo dendam sama gue karena jadian sama Ingga ya, Cha?"

"Gue dendam sama lo karena lo idup."

Aku seketika meringis. Orang kok gengsian bilang sayang. Punya teman satu, begini banget. Apes-apes. "I love you." Aku tersenyum lebar.

"Jijik."

"Oh itu artinya 'i love you, too'. Baiiiiik."

"Gue mau mandi. Keluar sana lo dari kamar gue. Oh by the way," senyumnya terbit, dia berbalik menghadapku lagi. "Gue nanti malam mau ketemu sama kenalan temen."

"Hah? Siapa?"

"Nggak semua orang-orang gue lo harus tahu ya."

"Kok gitu? Hei!" Aku mengejarnya ketika dia sudah berjalan ke kamar mandi. "Cacha, siapa orangnya? Baik nggak? Ganteng enggak? Mesum nggak? Gue pokoknya mau ta---" pintu tertutup dengan sempurna. Sialan Cacha. "GUE SAMA INGGA CIUMAN!"

"WHAT?!" Pintu kembali terbuka dengan lebar. "Lo bilang apa?"

"We kissed."

"Wow. Wow." Cacha bertepuk tangan dramatis. Aku sih memutar bola mata aja, meski dalam hati juga ketar-ketir sama nasib ke depannya. "Siapa ya yang kemarin bilang kalau ini adalah bentuk awal dulu, sambil pembuktian?"

Aku cemberut.

"Lo nggak takut? Nggak belajar dari pengalaman? Gimana kalau setelah ciuman pertama, lo nagih untuk yang kedua ketiga dan seterusnya, terus lo jatuh cinta beneran terlalu cepet, dan, tepat di saat itu, semua tentang Ingga baru ketahuan. Gimana?"

"Cha, lo sutradara ya?"

Dia mendengus, kemudian kembali membanting pintu kamar mandi dengan kencang.

Cengiranku seketika hilang, saat aku juga sebetulnya memikirkan apa yang Cacha bilang barusan. Ini terlalu cepat. Mendapatkan Ingga terlalu mudah, bukan berarti dia serius denganku, kan? Kalau Cacha mau dengan perjodohan itu, sudah pasti mereka yang bersama sekarang. Mudah saja bagi Ingga untuk membolak-balikkan semuanya.

Dia ... terlihat begitu mudah beradaptasi.

Masalahnya adalah di aku, gimana kalau benar kata Cacha, semua hal tidak baik tentang Ingga baru akan terbongkar setelah aku jatuh sejatuh-jatuhnya?

Pikiranku kembali ke realita setelah mendengar dering handphone. Entah punya Cacha atau milikki yang berdering, yang jelas aku harus menemukannya lebih dulu.

"Mati. Ingga nelepon, lagi ah."

Aduh, angkat enggak ya. Masih takut-malu-dan-campur-aduk rasanya. Kalau tidak diangkat, aku terlihat seperti bocah ingusan yang lagi ngambek. Aku angkat, bingung harus .... terserahlah.

"Halo."

"Hai." Duh, suaranya. "Sudah baikan?"

Aku tertawa kecil. "Siapa yang sakit?"

"Sejak keuar dari tempat karaoke, kamu diam dan seolah nggak mau disapa. Padahal sebelumnya kamu semangat banget dengan semua tebak-tebakan hebat itu." Aku menggaruk kepala, jadi salah tingkah sendiri. "Sekarang sudah merasa lebih baik?"

"Ya."

"Saya kirim bubur dan beberapa vitamin."

"Lho, aku kan nggak sakit."

"Nggak enak badan bukan berarti sakit kok." Ya iya sih, tapi kan .... "Gla."

"Hm?"

"Saya minta maaf."

"Lho, buat apa?"

"Sudah mencium kamu tanpa permisi."

Sialan Ingga. Seketika mukaku terasa panas. Kenapa frontal banget sih. Aku sampai harus berdeham beberapa kali. Jadi terbayang rasanya kemarin.

Ac-nya Cacha mati apa ya.

"Gla."

"Ya?"

"Masih marah?"

"Enggak!" Ini gimana jelasinnya. "Anu, aku ... cuma agak canggung. "Maklum, ha ha." Ketawa aja rasanya hambar. "Udah lama."

Ada suara tawa kecil. "Kalau beberapa hari ke depan saya pinjam kamu dari Cacha, kira-kira dibolehin kah?"

"Hah?!"

"Saya jemput dan kenalin sama Mama. Selama saya nanti nggak ada dalam beberapa hari, kamu bisa menginap di rumah bareng mama. Sudah siap kira-kira?"

Menginap di rumah?!

Sebenarnya, pacaran ala Parama Pringgayudha itu seperti apa? Menginap di rumah? Ya Tuhan, aku bahkan belum pernah melakukan itu pada para mantan sebelumnya.

Main ke rumah pun, harus nunggu hubungan berjalan beberapa bulan, baru kemudian diajak ke sana. Itu pun ya nggak menginap lah!

Menginap di rumah? Bareng mamanya?

WHAT THE HELL.

Apa kabar masa probation kami?






---
hii giis, vote dan komen yang banyak yang dikit yang banyak yang dikit biit kitimi simi bi ijing. ditirimi nggik yi gliri?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top