rolas

"Cacha udah ke CG's." Aku meringis. Antara malu dan geli dengan situasi yang yang kuciptakan sendiri. "Katanya suruh ambil sendiri."

"Keberatan kalau saya masuk rumah kalian?"

"Kamu yang mau ambil?"

"Kalau diperbolehkan, saya yang ambil. Saya masih punya waktu."

Aku tersenyum malu.

Jadi, ketika aku mengiyakan ajakan Ingga ini, aku mengatakan kalau aku tidak membawa pakaian satu pun. Dikarenakan, semuanya belum pasti. Pokoknya, aku berjaga-jaga. Takutnya, sudah bawa pakaian, eh Bu Ajeng nggak menerimaku, malunya bukan main.

Ternyata, benar kata Ingga, semuanya akan baik-baik aja. Seharusnya, minimal aku bawa celana dalam ganti. Eh, skincare tapi gimana? Ah, intinya tetap harus pulang, buat ambil tas yang sudah kupersiapkan.

Pikiranku, kalau pun nggak diterima, lebih mudah mengembalikan barang-barang dari tas ke tempat semula, ketimbang bawa-bawa tas dari rumah Ingga untuk pulang.

Wah, rasanya sudah seperti istri yang dipulangkan.

"Gla."

"Eh, sorry. Aku ikut aja kali ya." Seketika aku sadar akan sesuatu. "Eh tapi, kalau aku ikut, terus nanti ditanyain sama Bu Ajeng jawabnya gimana. Duh."

"Bu Ajeng?"

"Ohiya. Tante." Aku nyengir, menambahkan gestur perdamaian dengan menunjukkan dua jari simbol V. "Bukan cuma anaknya yang ada masa probation. Mamanya juga. Nanti kalau sudah lolos, jadi Mama Ajeng Mertua Terbaik."

Senyumnya terbit. "Kalau gitu, sekarang kasih kuncinya ke saya. Kamu naik ke atas, coba dinilai kinerja Bu Ajeng selama masa probation gimana."

"Ya ampun." Aku tertawa geli.

"Dia sibuk milih warna seprei dan selimut sejak semalam."

"Berarti kamu tuh udah kasih tau Bu Ajeng?"

Kepalanya mengangguk.

Nampaknya, saudara Parama Pringgayudha ini memang sungguh sangat cepat tanggap, visioner dan terdepan.

Mantap.

"Yaudah deh." Aku merogoh isi tas. "Nih kuncinya. Eh tapi," Kok aku masih ragu ya. Menginap di rumah ini? Berdua sama Bu Ajeng? Bukan berdua secara harfiah sih, ada dua mbak dan satu bapak-bapak, tapi kan, aduh. Takut .... "Mas ...."

"Ya?"

Astaga. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Barusan aku merengek? Demi apa? Untung Cacha nggak ada di sini, dia pasti sudah memakiku dengan keji.

"Saya nggak merasa keberatan kok, Gla. Okay, supaya kamu nggak merasa bersalah, saya sekalian mau mampir ke suatu tempat."

"Okay. Nih."

"Tunggu di sini ya."

"Nanti di lantai dua, ada tulisan 'GLARA' ya di pintu."

"Iya."

"Bye. Hati-hati!"

Dia terkekeh pelan. "Saya cuma mau ambil tasmu, bukan mau perjalanan jauh."

Aku tersenyum lebar.






***






"Kamu suka warna apa, Nak?"

"Sebenernya hijau. Tapi anu, nanti malah jadi kayak kamar khusus Nyi Roro Kidul."

Bu Ajeng tertawa, aku jadi ikut-ikutan. Padahal, aku lagi nggak melucu. "Gimana kalau biru dongker?"

"Boleh."

"Atau merah muda?"

"Boleh, Tante."

"Toska juga bagus kayaknya sama karaktermu, Nak."

Ya Tuhan, padahal hanya seprei, kenapa harus dicocokkan dengan karakterku.

Beginilah, ketika aku naik ke atas, ke kamar yang katanya untuk kutiduri nanti, mamanya Ingga ini masih sibuk berdiri di depan lemari. Bilangnya tadi bingung banget harus pakai warna apa supaya bagus buatku.

Karena katanya, sudah lama banget dia nggak menyiapkan tempat tidur untuk pacarnya Ingga. Okay, Hooman, kamu nemu poin dari kalimatku tadi? Kalau iya, sama denganku. Artinya, gaya pacaran Ingga memang begini adanya. Diajak datang ke rumah, bahkan menginap.

Buset, lumayan mengerikan sekaligus terlihat menantang ya.

Seharusnya sih, aku mulai mengeluarkan jurus-jurus interogasi. Seperti waktu itu untuk tahu apakah Ingga sudah menikah atau belum. Masalahnya, ini bukan kandangku. Aku ngeri kalau aura tempat ini begitu memihak Bu Ajeng, kemudian bikin aku kalah telak.

Jadi, aku harus waspada dalam setiap perkataan dan tindakan.

Tepuk tangan dulu lah dalam hati, buat diri sendiri. Karena Cacha, meskipun sudah aku panggil lewat telepati, kalau dia sudah ngurusin masalah pastry, pasti aku diabaikan.

Kejam manusia satu itu.

Sangat kejam.

"Kamu nggak bawa pakaian ya?"

"Oh itu, anu ...." Waspada boleh, tolol jangan dong, Gla. "Tadi ketinggalan, Tante. Lagi diambil sama Bapak Ingga, Mas Ingga, Ingga, maksudku ...." TOLOL kamu, Gla! Tidak anak, tidak juga mamanya, sama-sama menyedot kemampuanku.

Coba, sekarang Bu Ajeng tertawa. "Mantan-mantannya Ingga dulu nggak ada yang manggil dia dengan sebutan begitu. Kamu lucu banget sih, Nak."

Aku melongo.

"Boleh tolong tarik sisi kanan?" pintanya.

Tentu aka aku langsung sigap membantu memasang seprei dan membungkus bantal. Tahu warna apa pilihannya setelah pertimbangan yang matang? Tadi disebut warna biru dongker, pink, dan toska. Sekarang, yang kami pasang adalah warna seprei putih dan selimut abu-abu muda.

Hahaha.

Aku mau tertawa terpingkal-pingkal, tapi takut kualat.

"Ingga tuh suka banget pacaran sama perempuan yang usianya di bawah dia." Wow, info gratis tanpa perlu dipancing. Aku buru-buru menyisihkan rambut yang menutupi telinga. "Tapi, yang dia kenalin biasanya pendiam, manggil Ingga nggak ada embel-embelnya. Kesamaannya satu, sama-sama sopan semua. Saya merasa berhasil membesarkan anak saya. Menurutmu gimana, Nak?"

Aku jadi 'Nak' banget sejak tadi. Kalau dideskripsikan lewat emoticon, perasaanku ketika datang ke rumah dan bertemu Bu Ajeng sampai detik ini adalah: 😱😰😵🤯😣🥺😐😞😱☺️😁😍🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰.

Mudeng nggak, Hooman?

"Saya ... pendiam?"

Lagi, Bu Ajeng tersenyum lebar. "Untuk yang kali ini, kayaknya luar biasa. Kamu bukan pendiam. Kamu ceria, kamu terlihat sangat baik sekali, dan menarik pastinya. Ingga suka di pandangan pertama lho, gimana kamu nggak hebat?"

"Ah." Aku tersenyum kikuk. Merapikan rambut. INI SERIUS? Tahan, Gla, tahan. Nanti kalau Ingga datang, kamu bisa langsung peluk dan cium---maksudku tanya dia tentang kebenarannya. Ya, begitu niat dari hati terdalamku.

Ya cium dan peluk sedikit boleh.

"Sini," ajak Bu Ajeng yang sudah duduk di atas ranjang, menepuk-nepuk tempat sebelahnya. Setelah aku duduk, dia kembali berbicara, "Rasanya lega sekali akhirnya dia mau menjalani kehidupan yang normal."

Aku refleks menoleh, menatapnya.

"Saya pikir, saya benar-benar harus belajar ikhlas kalau sampai mati nggak akan bisa menggendong cucu dari Ingga. Ternyata, Tuhan kirim kamu." Tangannya menggenggam tanganku, aku diberi senyuman manis. "Saya nggak tahu harus berapa kali bilang terima kasih banyak, Nak Glara."

"Anu .... kami ...." Masih dalam masa probation, Tante. Tolong jangan berharap terlalu tinggi. "Tante jangan terlalu berharap dulu, bisa aja hubungan kami sama kayak yang sebelumnya? Mungkin, Ingga akan menemukan yang lebih baik?"

Kepalanya menggeleng. "Dia memang agak sulit dihadapi. Terlalu susah ditebak isi kepalanya. Lebih banyak diam. Tapi, bukan berarti dia suka mempermainkan hubungan." Auranya berubah serius, aku malah mulai was-was. "Saya ngomong begini, bukan karena dia anak saya, tapi Ingga adalah lelaki yang akan menuruti apa pun titah perempuannya. Apalagi kalau perempuan itu sudah pegang kendali. Jadi, dia tidak pernah meninggalkan, Nak Glara. Dia ditinggalkan."

Ini ... terlalu banyak.

Aku menelan ludah. Aneh, Glara. Bukannya harusnya kamu senang mendapatkan info sebanyak ini tanpa perlu usaha keras? Kenapa sekarang malah semakin takut? Takut dengan beban yang begitu berat karena harapan Bu Ajeng yang terlihat sangat besar.

"Saya ingat banget, pacar pertamanya datang ke rumah saat dia SMP. Dia kelas tiga, pacarnya kelas satu SMP." Kami sama-sama tertawa. "Bilangnya sih bukan pacar. Mereka belajar bareng di sini. Dan lucunya, meski masih kelas satu SMP, pacarnya kalau manggil Ingga begini, 'Rama, tolongin ini dong'." Suaranya mengikuti dayu manja anak remaja.

Lucu banget sih. Mama dan anak, sama-sama menggemaskan.

"Mereka pacaran berapa lama ya. Sebentar." Bu Ajeng memejamkan mata beberapa detik. "Enam bulan kayaknya. Terus, pacar kedua, setelah dia dapet private pilot lincence, masih awal banget kan, masih jauh perjalanannya."

Dijelaskan pun aku tidak akan paham. Yang kutahu, menjadi pilot memang lumayan rumit. Lagian, profesi apa sih yang nggak rumit.

"Terus putus lagi. Dan terakhir, dia bawa ke rumah, pacar barunya itu di ulang tahunnya yang ke-28 kalau nggak salah." Aku bahkan lupa kalau Ingga memang beneran sudah tua. "Saya sudah bahagia sekali, karena merasa usia Ingga sudah siap menikah. Mereka hanya beda empat tahun. Dan, dia kalau manggil Ingga lucu. Jadi Yudha."

Yudha.

Aku ikut melafalkan nama itu dalam hati. Kalem juga nama Yudha.

"Mereka putus setelah tiga tahun menjalin hubungan. Setelah itu, saya pikir Ingga sudah nggak mau berhubungan lagi."

"Lho kenapa?"

"Karena dia terlihat nggak bisa lepas dengan yang satu ini. Saya paham, hubungan mereka dijalin ketika sudah dewasa, banyak emosi yang terikat di dalamnya, jadi untuk merelakan pasti terasa susah."

Alasan putusnya kenapa, Tante?

Mulutku gatal banget mau tanya hal itu, tetapi sejak awal aku sudah bersikap seolah nggak penasaran dengan masalalu Ingga. Di sini, Bu Ajenglah yang merasa perlu menceritakan semua itu, entah untuk a....

"Pacarnya nggak menginginkan sebuah pernikahan."

Oh wait, tidak menginginkan sebuah pernikahan. Artinya, si perempuan itu yang memutuskan Ingga, sementara Ingga sudah bucin-bucinnya? Lalu, Ingga patah hati bukan main, dan menjalani hidup dengan tidak bergairah. Hal itu membuat Bu Ajeng berpikir kalau harapannya melihat Ingga menikah sudah pupus. Sampai akhirnya ... Ingga menerima Cacha, dan malah jadi sama aku?

Begitukah alurnya?

"Dia mau hidup bareng Ingga, tapi tidak terikat pernikahan."

"What?!" Ya Tuhan, aku berdeham. "Maaf, Bu. Anu."

Tidak ingin menikah, tetapi mau tinggal bersama? Wah, bukan main, mantannya Ingga sungguh luar biasa. Kamu, Gla, gelar pakarmu yang beberapa waktu lalu tersemat apik, bahkan enggak ada apa-apanya.

"Kaget ya?" Senyumnya kembali muncul. "Sekarang saya cerita sudah bisa santai. Dulu, pertama kali dengar Ingga memohon untuk diizinkan tidak menikah, agar bisa tinggal bareng dengan pacarnya, rasanya, Nak, sakit sekali. Istilah dunia runtuh benar-benar saya rasakan. Ditinggal papanya anak-anak, ternyata nggak ada apa-apanya."

"Tante ...." Aku yang gantian menggenggam tangannya, mengelus sepelan mungkin.

"Pacarnya nggak mau pernikahan, karena pernikahan orangtuanya tidak berhasil. Pernikahan kakaknya tidak berhasil. Pernikahan adik sepupunya tidak berhasil. Dia merasa lelaki akan menjadi berengsek setelah mendapat gelar suami. Akan berlaku seenaknya, hanya karena dalam pernikahan ada kata 'melayani'. Dia memohon ke saya, siap memberikan cucu, tetapi tidak perlu menikah. Karena dengan begitu, Ingga nggak punya hak untuk memerintah atau melarangnya."

Aku menahan napas, menelan ludah susah payah, baru kuhembuskan napasku pelan.

"Saya ... nggak bisa."

Aku mengangguk, berusaha memberi Bu Ajeng dukungan tanpa kata.

"Butuh waktu lama sampai akhirnya Ingga mengerti semuanya, dan akhirnya mereka pisah. Beberapa bulan, Ingga sempat diam, sama sekali nggak mau ngomong dengan saya. Adiknya datang ke sini pun, dia cuma mau main sama ponakannya. Sekarang, usianya sudah matang, sudah 35. Dia mungkin sudah mau berkeluarga."

"Aku ... nggak tahu kalau semua serumit ini."

Senyumnya kembali hadir. "Kamu nggak apa saya ceritakan semua ini?"

Aku mengangguk.

"Kamu takut dengan pernikahan?"

Aku menggeleng. Aku tidak takut, hanya memang perlu banyak bekal.

"Saya tahu, nggak ada hubungan yang mudah. Jadi, apa pun yang terjadi ke depannya, kita hadapi sama-sama ya. Saya cuma berharap, semoga hubungan kalian berhasil. Kamu sudah tahu sisi lain dari Ingga, dia nggak akan meninggalkanmu, jadi jangan tinggalin dia ya, Nak."

Sial. Sial. Sial.

Bebanku bertambah lagi. Rasanya, lebih baik aku nggak tahu semua ini. Tapi, mungkin terlalu susah bagi Bu Ajeng untuk tidak bercerita, saking bahagianya dia karena pada akhirnya Ingga membawa 'pacar' lagi.

"Dah, jadi panjang banget ceritanya." Bu ajeng menepuk pahanya sendiri. "Kamu nginep di sini beberapa hari kan? Nanti kita cerita banyak hal lain. Kamu mau tahu apa tentang Ingga? Masa kecilnya? Hal-hal yang memalukan dari dia?"

Aku hanya bisa tersenyum tipis.

Sampai Bu Ajeng pamit untuk ke dapur sebentar, dan aku langsung mengiyakan. Dia jelas butuh air minum.

Sementara aku masih duduk di sini. Terus berkelana pada perjalanan cintanya Ingga. Nasibku yang diputuskan karena terlalu pakar, terasa hanya butiran debu daripada nasib Ingga yang selalu ditinggalkan. Sekalinya ada yang mau hidup bersama, malah bertentangan dengan mamanya.

Ya Tuhan, Ingga yang malang.

Aku sungguh tidak pernah menyangka, kalau dia mengalami hal yang sulit.

Handphone-ku mana ya. Aku harus meneleponnya. Seenggaknya, dia butuh banyak hiburan. Oh wait, dia sangat suka aku kasih tebak-tebakan. Ya, mungkin dia sedang di perjalanan atau sedang di tempat yang katanya 'ada urusan' tadi, dan aku bisa menghiburnya.

Seenggaknya, dia bisa tersenyum karenaku.

Tidak diangkat.

Mungkin dia tidak dengar. Aku telepon sekali lagi, kalau misalnya tetap tidak diangkat, aku tunggu ketika dia menghubungi.

"Halo."

Lho, kok cewek?

"Halo. Ini nomornya Ingga, kan?"

"Ohiya. Sebentar saya panggilin. Ada telepon buatmu nih! Dari ..." Ada jeda beberapa detik. "Glara Garvita!" Aku tertawa kecil, dia bahkan menamaiku sebegitu lengkapnya. "Sebentar ya, Mbak, dia lagi di kamar mandi. Mules katanya."

Kami sama-sama tertawa.

"Nanti biar saya telepon lagi aja, Mbak."

"Oh nggak apa. Lagian dia udah kelamaan di kamar mandi. Sebentar ya. Yud! Yudha, ada telepon! Kamu lama banget di kamar mandi."

Yudha?






---
hai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top