pitu
Mayday mayday mayday!
Seseorang, tolong bisikkan sesuatu ke telingaku, kalimat-kalimat yang harus bibir kaku ini ucapkan. Karena setelah kepergian Cacha, aku dan Bapak Ingga sama-sama seperti orang yang kehilangan kemampuan berbicara.
Oh okay, aku nggak akan merasa aneh atau protes untuk dia karena aku tahu betapa dirinya irit ngomong. Namun, yang menjadi hal darurat adalah ... AKU. Seorang Glara Garvita secara tiba-tiba berubah menjadi patung tanpa ada unsur kecantikan sama sekali.
Kami duduk bersebelahan, di sofa yang sama, for your information aja.
See? Seharusnya mudah saja. Aku hanya perlu ke dapur, membawakannya minuman, mungkin sekaligus beri dia makanan kecil. Kemudian, saat kami menyeruput minuman itu, aku bisa memulai obrolan santai.
Seperti ... 'berapa jam ke sini?'
Ya, seharusnya semudah yang ada di kepalaku.
"Kepalanya masih suka pusing?"
Aduh, jangan ngomong! Kalau dia membuka mulutnya, artinya aku juga harus membuka mulut untuk membalas omongannya.
"Gla."
"Hai." Pinternya sang pakar dalam menangani situasi. Glara yang sempurna. "Udah baikan kok."
"Sejak pertanyaan saya di telepon itu, kamu jadi lebih pendiam. Kenapa?"
Oh shit.
Aku menahan napas beberap detik, saking nggak percayanya dengan kalimat yang baru saja kudengar. Kupikir dia hanya terlalu pendiam dan irit bicara, ternyata dia memang sejujur dan seceplas-ceplos itu. Tidakkah dia mengerti yang namanya kata kiasan? Setelah langsung nembak pakai kalimatnya di telepon, haruskah dia bertanya hal ini secara terang-terangan? Live pula.
Ck, kesalahan apa yang kulakukan di masalalu. Apa ... aku hadapi dia saja ya?
Aku meliriknya dari ekor mata, ternyata dia sedang menatapku! Ekspresinya serius banget, nggak ada aura mengejek atau meledek karena sikapku atas ucapannya.
Jadi, dia memang serius? Well, sepertinya aku tahu bagaimana cara menghadapi manusia jenis ini.
Let's see.
"Pak."
"Ya?"
Aku berdeham, menyerongkan tubuh, memandangnya. "Bapak serius?"
"Soal?"
"Pertanyaan Bapak di telepon."
Tanpa ragu, kepalanya mengangguk. Makin gila nih orang, tanpa mikir!
"Saya?"
"Iya. Kamu. Glara."
"Coba sini." Akhirnya, aku maju lebih dekat. Benar-benar dekat agar dia bisa dengan jelas melihat mukaku. "Walau banyak yang bilang saya dan Cacha mirip, itu pasti karena kami sering bareng aja. Lihat muka saya baik-baik."
Anak pintar. Dia menuruti perintahku, menatap dengan serius. Kenapa mukanya nggak berubah sama sekali? Meski bola matanya bergerak, terlihat beneran sedang menilai, tetapi ekspresi itu tetap tenang.
"Okay cukup!" Aku yang nggak tahan ketika mata kami bertemu untuk beberapa detik. "Udah cukup lihatinnya, silakan normalkan kembali tatapan Bapak."
Dia senyum! Lalu bilang, "Okay."
"Maaf, senyuman itu maksudnya apa?"
"Senyum?"
"Okay, lupakan." Manusia ini ternyata sungguh ajaib. "Bahkan senyum aja dia nggak sadar," gerutuku pada diri sendiri.
Ini Cacha beli nasi padang di Sumatera apa gimana? Jauh banget kayaknya. Atau, memang karena momenku dengan Ingga super awkward, makanya waktu terasa lama berjalan.
"Jadi, Glara?"
"Apa?"
"Tawaran saya diterima?"
"Tawaran? Oh astaga. Maksudnya, pertanyaan Bapak itu? Itu sebuah tawaran?"
Kepalanya mengangguk.
"Apa menurut Bapak, logika saya nggak bisa mencerna keanehan semua itu?"
"Di titik mana anehnya?"
Inilah waktunya, Gla. Siapkan segala kemungkinan terburuk, karena sekarang adalah waktu tepat untuk membedah semua kegilaan ini. Harus tuntas.
Maka, aku memutuskan untuk memulainya dengan bersila di atas sofa, sementara dia menyerongkan badannya.
"Saya nggak mau pacaran terus putus. Itu yang pertama."
"Mama saya jodohin saya dengan Cacha bukan untuk pacaran lalu putus."
Aku tergelak. Jawaban yang bagus. "Saya nggak mudah percaya. Saya lebih senang diyakinkan oleh usaha saya sendiri. Secara fisik, Bapak mungkin memang tipe saya, tapi semua itu nggak bisa jadi alasan saya buat langsung mau gitu aja. Saya lebih puas kalau saya yang meyakinkan diri saya, baik dengan usaha diri sendiri atau pun usaha si lelaki." Paham enggak ya dia sama bahasaku yang terdengar muter-muter itu. Glara, Glara. "Saya memang bisa aja nerima Bapak, tetapi harusnya saya berjuang dulu, karena di awal Bapak maunya sama Cacha. Mudeng nggak kira-kira maksud saya?"
"Mudeng."
"Terus, tiba-tiba dengan sekali balik telapak tangan, Bapak mau sama saya. Bisa dipikirkan semua rencana saya buyar? Itu dua hal yang kontradiksi. Walaupun, Bapak bilang saya punya kemampuan mengubah pilihan Bapak dalam hitungan hari. Well, saya ... bingung."
"Bukankah ini mudah dianalisa oleh seorang pakar?"
Double shit.
Kenapa juga dulu aku harus bilang kalau aku seorang pakar dengan gamblang. Senjata itu dipakai terus-terusan olehnya dan memang tetap bisa berpengaruh.
Padahal, mungkin benar kata Cacha, kalau aku hanya dibohongi mantan pacarku. Apes memang cerita hidupku.
"Kamu nggak ingat jawaban saya kalau saya belum pernah bertemu Cacha , dan nggak mengenal Cacha sebelumnya."
Aku mengangguk. Iya, aku ingat. Makanya jadi susah dulu karena dia sudah kelihatan bucin duluan.
"Jadi, kenapa harus sulit untuk pindah haluan pada seseorang yang memang benar-benar menarik?"
"Pak ...."
"Saya nggak kenal Cacha, bertemu hanya beberapa kali tanpa obrolan berarti. Tidak ada alasan saya untuk tertarik selain karena fisiknya yang cantik. Tapi, denganmu, kita lebih sering ngobrol, baik lewat teks, telepon atau ketemu langsung ditambah kamu juga cantik. Jadi, mana yang bisa disebut wajar dalam logikamu, Gla?"
Aku menganga.
Selain karena betapa panjag kalimatnya, juga makna di dalamnya. For God's sake, aku beneran cuma bisa menelan ludah berkali-kali, bingung harus gimana.
Karena kalimatnya, cara dia menjelaskan rinciannya, semua nampak benar.
"Hai," sapanya, nggak jelas.
Buat apa, aku masih sadar kok, hanya sedikit lemah saja batre dalam diriku. "Iya, aku masih sadar."
"Jadi?"
"Bapak kenapa ngebet banget? Nggak jadi Cacha langsung pindah ke saya."
"Nggak ngebet kok."
"Okay, probation."
"Oh?" Dahinya berkerut. "Probation?"
"Ya. Kita coba di masa probation dulu. Normalnya orang kerja, probation dilakukan selama tiga bulan. Setelah itu masa probation kedua, terus masa kontrak satu tahun, kalau berhasil melewati semuanya, baru pegawai tetap."
"Jadi semacam hukuman, ada masa percobaannya."
"Mau enggak?"
"Selama itu?"
"Memangnya Bapak mau nikah sekarang? Sama orang asing begini? Udah gila."
"Tiga bulan?"
"Ini bukan taaruf."
"Empat bulan?"
"Bapak .... "
"Okay, enam bul---"
"Saya tarik lagi kalau gitu. Nggak usah---"
"Okay. Semaumu."
Sekuat mungkin, aku berusaha menahan senyuman.
Apa ... aku sungguh semenarik itu di mata dia? Kenapa dia bahkan begitu berani mengajak serius bahkan dalam hitungan 3 bulan? Kenapa seolah tidak ada kekhawatiran di matanya?
"Jadi, kita sudah resmi?"
Akhirnya, sekeras apa pun aku menahan, aku tetap tertawa juga. Dia kenapa seperti anak kecil begini dibalik tampangnya yang begitu dewasa dan tenang.
"Ingat, Pak, ini baru masa uji-coba."
Dia mengangguk. "Apa pun itu, intinya ini adalah penentuan untuk ke depannya. Jadi, saya akan berusaha sebaik mungkin."
"Wow. I like that energy."
"Boleh pinjam kertas dan pulpen?"
"Buat?"
"Boleh pinjam?"
"Oh sebentar."
Apalagi ya Tuhan Ingga. Meski begitu, aku tetap berdiri dari sofa, mencarikan apa yang dia pinta. Setelah dapat, aku langsung menyerahkannya. Membiarkan dia menulis entah apa di atas kertas itu.
Sampai akhirnya, dia menyodorkan ke arahku. "Gantian kamu," katanya.
"Apa?"
Setelah melakukan diskusi melalui sambungan telepon dan pertemuan langsung, hari ini, 25 Juni 2090, kami yang bertanda tangan di bawah ini resmi menjadi partner/pasangan.
Dimulai dengan masa probation, dan akan ditindaklanjuti berdasarkan bukti lapangan nantinya.
Surat ini dibuat dan ditanda-tangani dalam keadaan sepenuhnya sadar.
Semoga berguna.
Tertanda.
Pihak 1.
Parama Pringgayudha.
Pihak 2.
Glara Garvita
Aku terbahak sampai sudut mata berair. Manusia memang menyimpan banyak sekali kejutan. "Tahu dari mana nama lengkapku?"
"Display name di WhatsApp-mu."
Kukira dia nggak akan peduli pada hal-hal begitu.
Setelah aku ikut tanda tangan, dia meminta kertasnya lagi sambil mengatakan, "Biar saya fotokopi buatmu, yang asli saya yang simpan."
"Kenapa gitu?"
"Karena seorang pakar cinta bisa melakukan segalanya. Saya harus jaga-jaga."
Sialan.
---
lama ya, emang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top