patbelas
"Nak, sarapan dulu, yuk."
"Sebentar, Tante."
"Ditunggu di bawah ya, Sayang."
Aku menyisir rambut dengan cepat, kemudian mengikatnya membentuk cepolan. Okay cukup, lumayan sudah rapi. Jadi, kalaupun nanti Bu Ajeng membatin hal negatif tentang diriku, seenggaknya ada kalimat tambahan 'untung cantik'.
Itu agak mendingan.
Gimana aku enggak berpikir begitu, setelah semalam Ingga pamit yang sebenar-benarnya pamit, aku masuk kembali ke dalam kamar. Niatku, aku ingin merebahkan badan sebentar, karena entah kenapa rasanya lelah sekali---mungkin karena sudah berpikir sangat keras, ternyata gagal galau.
Eh, aku ketiduran sampai pagi!
Padahal sambil rebahan itu aku berkirim chat dengan Cacha. Semua huruf kapital dia keluarkan karena ceritaku hari ini. Bahkan, dengan niatnya dia mengirimi voice note yang berisi 'GILAK LO EMANG!'. Bold dan capslock.
Bukan kaleng-kaleng si Cacha.
Terus ketika aku berlari menuruni tangga, semua sudah siap. Bu Ajeng tersenyum ramah dan bilang, "Capek banget ya, saya jadi bingung tadi mau bangunin solat subuh. Gih mandi dulu."
Shit.
Malam pertama di rumah calon mertua, sudah menunjukkan gejala tidak beragama. Nasibmu, Gla, Gla. Mau cari muka aja susah minta ampun.
Sekarang, aku sudah kembali dengan wajah segar. "Tante, anu, aku minta maaf. Semalam abis minum obat pusing kepala, jadi malah ngantuk dan kebablasan."
Memang bohong, tetapi aku harus menyelamatkan diri di hadapan calon mertua. Pertemuan pertama pula, masa harus berantakan. Nunggu yang kedua atau ketiga, baru tak masalah.
Eh jangan, nanti dikabulin beneran.
"Nggak apa. Sini duduk. Kamu suka sayur?"
"Suka, Tante."
"Pinter banget. Nih, sayur buatan Mbak ini favoritnya Mas Ingga lho."
Oh wait, sejak kapan panggilan Ingga berubah dari mulut Bu Ajeng? Seingatku, dia sejak kemarin menjelaskan tentang Ingga tanpa ada embel-embel 'Mas'.
Hm, cukup menarik.
Mama dan anak punya potensi gemes di semua sisi.
"Suka ikan?"
"Suka, Tante."
"Wah, pinter banget makannya. Semua makanan yang bagus untuk badan doyan. Mas Ingga pasti makin sayang nih lama-lama."
Aku tersenyum kikuk.
Kok ... jadi aneh?
Okay paham, Bu Ajeng sejak awal bertemu sudah menunjukkan seolah dia akan menjadi sekutu untukku. Dia menjelaskan tentang masalalu Ingga seakan yakin banget kalau aku dan anaknya bisa happy ending. Dia kembali memastikan AC menyala dengan baik. Kamar mandi berfungsi sebagaimana mestinya. Semua kebutuhan untuk mandi sampai dengan parfum pun dia berikan.
Aku bahkan tadi sempat mengira, sebenarnya ini semua barang untuk Cacha kemudian dikasih ke aku sebagai cadangan atau gimana?
Yang ini, makin parah anehnya. Dia seolah ... gimana cara menjelaskannya? Begini, aku memang merasa kadang Ingga terlihat sangat tua dengan semua sifat kaku dan penurutnya itu. Tapi, bukan berarti aku bocah ingusan! Maksudku, lihatlah cara Bu Ajeng barusan. Dia memperlakukanku seolah aku adalah ... sialan Ingga!
Dia bahkan memberi mantra manjur itu yang juga dia berikan pada ponakannya kelas 4 SD. Apa dia membicarakan dengan mamanya selama aku tidur semalam?
Dia aja nggak telepon atau chat aku kok. Ya tapi kan ini mamanya, Gla. Iya sih, hehehe.
"Tante hari ini ada agenda apa?" tanyaku, sambil mengunyah potongan brokoli.
"Ohiya. Nanti teman-teman saya mau datang ke sini. Sudah pesan ke Cacha lho, katanya nanti dianter, tapi dia nggak bisa datang karena ada urusan."
Urusan apa orang satu itu?
"Nanti mau bantuin saya milih warna gorden dan karpet lantai?"
"Siap, Tante."
"Tidurnya semalam nyenyak nggak?"
Aku tersenyum malu. Kalau nggak nyenyak, nggak mungkin aku bangun sesiang ini ya Tuhan. Sepertinya Bu Ajeng menangkap itu, dia langsung tertawa kecil.
***
Ini aneh.
Nomor Ingga mendadak nggak aktif. Kalau menghitung waktu normal berdasarkan informasi dari google juga darinya sebelum terbang, harusnya dia sudah mendarat dengan sempurna sejak tadi. Mencari hotel, mungkin sudah istirahat atau malah sedang makan, dan lain-lain.
Tapi, kenapa malah handphone-nya nggak aktif.
Sial sial sial.
Semua tentang Dita-Regan-Yudha mendadak kembali terngiang di kepala. Bahkan, ketika aku dan Bu Ajeng mengganti gorden dan karpet, pikiranku masih nggak tenang. Ditambah, ketika teman-teman Bu Ajeng datang, kemudian aku dikenalkan sebagai 'calon mantu'.
Aku bahagianya hanya sesaat, karena pikiranku tetap pada Ingga.
Sampai malam tiba, aku baru selesai mandi, suara ketukan di pintu terdengar. Aku mempersilakannya masuk.
"Hai. Udah mau tidur?"
"Belum, Tante. Baru selesai mandi. Tadi abis ngerjain kerjaan. Ada salah harga waktu posting."
"Tapi udah beres?" Bu Ajeng duduk di ranjang, aku mengikutinya.
"Udah, Tante."
"Kamu keberatan nggak kalau saya tidur di sini bareng kamu?"
Wah, jawab apa ya?
Ngerinya, ternyata tidurku mirip kuda lumping gimana? Sama sekali tidak lucu kalau malam kedua pun aku mengacau di sini. Mau ditolak, bahasa yang sopannya apa?
"Saya pengen ngobrol ringan gitu."
"Boleh, Tante."
"Beneran?"
Aku nyengir. "Iya. Anu, Tante." Tiba-tiba aku mengingat tentang Yudha-Dita-Regan. Mungkin, Bu Ajeng tahu masalah ini. "Ini tadi Mas Ingga abis cerita tentang Dita dan Regan, hehe."
Hooman, kamu lagi pengen ngorek tentang lingkungan pacarmu ke mamanya? Tuh, aku ajarin gimana caranya tanpa perlu tanya langsung.
"Lho, dia telepon kamu?"
Lah?
"Biasanya dia kalau lagi dinas gitu, aktivinnya WhatsApp bisnis. Dia bawa dua handphone." Aku melongo. Niat amat. "Soalnya, dia mudah kangen rumah. Makanya, saya dan adiknya nggak diperbolehkan telepon atau kirim pesan. Sebelum terbang, dia akan mengirimi pesan atau nelepon dulu." Bu Ajeng tersenyum lebar, sementara aku masih kebingungan. "Ternyata sama kamu sudah berubah ya. Beneran jatuh cinta dia kayaknya. Beda banget lagi caranya jatuh cinta yang sekarang."
"Anu ...."
"Kalau kata Andina, adiknya Mas Ingga, istilahnya apa itu ... budak cinta."
"Ya ampun." Aku ikut tertawa.
"Tadi siapa yang diceritain Ingga?"
"Dita dan Regan, Tante."
"Duh, itu yang mana ya." Kami mulai merebahkan badan, masuk ke selimut yang sama. Menatap langit-langit kamar. "Temennya Mas Ingga itu lumayan banyak. Dan nggak cuma satu profesi aja. Saya juga heran, pendiam gitu, gimana caranya dia mulai pertemanan?"
Agak susah nih.
"Regan, Regan. Dia kerjanya apa?"
"Wah, aku nggak tahu, Tante."
"Soalnya, beberapa temannya ada yang main ke sini. Penyanyi, ada. Pengacara, ada. Punya restoran, ada. Pramuniaga, ada. Pramugari atau pramugara, ada. Office boy yang dia kenal di bandara juga banyak yang pernah datang ke sini."
Gila, Ingga ini agensi perkumpulan manusia kali ya.
"Saya juga nggak tahu yang deket yang mana. Regan ini ... oh, ini kayaknya teman sesama pilot! Iya, saya inget. Dulu, pernah liat mereka berantem karena Regan ini iseng manggil Ingga dengan nama 'Yudha'. Katanya, dia denger itu percakapan mantan pacarnya Ingga. Tapi udah lama banget nggak pernah main ke sini, saya malah nggak tahu kalau mereka masih berhubungan."
Tuh, kan.
Bu Ajeng pasti tahu.
Jadi, mantannya Ingga yang manggil Yudha, terus Regan ini tahu dan akhirnya suka meledek dengan memanggil itu, terus istrinya Regan---Dita---ikuta-ikutan.
Selesai.
Harusnya sih tamat. Kenapa aku masih belum lega ya? Aneh banget sama diriku sendiri. Maunya netagive terus.
"Kamu kenapa bisa mau sama Mas Ingga, Nak?" Tubuhnya miring, menghadapku dengan sebelah tangan menyangga kepala. "Kalian beda banget lho karakternya."
Aku senyum. "Soalnya, Mas Ingga manis dan ngotot sekaligus, Tante."
Bu Ajeng tertawa. "Ohya?"
Aku mengangguk antusias. Jangan sampai aku bilang kalau aku pun tertarik di pertemuan pertama. Reputasiku sebagai pakar bisa hancur tak bersisa.
"Manisnya dia gimana?"
"Hm?" Shit. Aku keceplosan sepertinya. Masa iya, aku harus mengakui kalau pelukanya enak dan ciumannya sangat mantap? Ck, pasti aku langsung diusir dengan keji. "Ohya, Tante, keponakannya Mas Ingga umur berapa?"
Bu Ajeng tertawa pelan. "Kamu malu ya sampai harus ganti topik gitu?"
Sialan Glara.
Kamu sungguh tidak berdaya kalau sedang bersama mama-anak ini. Padahal, mereka nggak sedang memanipulasi, tetapi aku dengan sendirinya menjadi bodoh.
"Mas Ingga memang manis. Ke mamanya aja manis, apalagi ke pacarnya." Senyumnya kembali mekar. "Nanti, kalau sudah yakin, langsung disegerakan aja ya, Nak, nggak usah terlalu lama. Kalau kamu sibuk, biar saya yang siapin. Kamu mau apa dan gimana, tinggal bilang, okay?"
Apa ini?
Menikah? Dengan Ingga?
Aku berusaha menahan tawa, karena tiba-tiba, bayangan malam pertama kami terpampang di kepala. Hm, menarik sepertinya, orang sependiam Ingga, bakalan seinisiatif apa ya? Atau, malah dia pasif, harus aku yang memulai?
Hihihi, jadi nggak sabar.
ASTAGA!
"Udah malem. Tidur, yuk. Nggak baik tidur malem-malem. Sini, geseran tidurnya jangan jauh-jauh."
"Yuk, Tante. Kita tidur. "
Aku capek banget habis berpikir keras.
---
ya anggap aja percakapan masa depan sama camer. IngGlara (dapetnkomenan ini, makasiii hahah) libur dulu ya. kan masih kerja si masnya.
udah baca BEDA CERITA belom? kan series BEDA ini mengisahkan makhluk berpedang yang berbulu pedangnya mengalami gejala bucin akut, kira-kira nanti bikin series apalagi ya?
hm, nanti IngGlara main sama mas penyanyi lho. seru ternyata nulis dua cerita beda vibe gini. satunya kasmaran, satunya benci. sekalinya mandek, alemong nih gue😂. makanya yuk, hatiku yang rapuh ini disemangatin pake cinta.
salam👙.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top