nembelas
Aku nggak bisa membiarkan.
Lebih tepatnya, aku nggak mau melepaskan begitu aja.
Rasa was-wasku selama ini. Kekhwatiranku akan sosok Ingga dengan semua jalan mudah kami, membuatku yakin kalau aku beneran nggak bisa mengabaikan hari ini. Yudha-Dita-Regan masih terus terngiang di kepala. Ekspresi Ingga tadi ketika mengangkat telepon, kalimatnya yang malah seolah meyakinkanku, semua itu justru membuatku semakin yakin kalau aku harus bertindak.
Aku manusia. Berotak, iya kan. Aku harus memperjuangkan segala sesuatu yang menurutku memang layak.
Ini indah. Euforia ini memang sungguh mampu mengelabuhi, tetapi, mumpung otakku sedang waras, belum terjun terlalu dalam---atau malah sesungguhnya tindakanku ini bukti dari betapa aku sudah terikat dengan Ingga---, aku harus melakukan yang terbaik.
Betul, Hooman, aku membuntuti Ingga. Okay paham, ini adalah tindakan ilegal. Secara moral atau pun hukum, mungkin aku salah fatal, tetapi, please, aku sungguh tak tenang.
Mungkin ini yang disebut Cacha sebagai insting.
Ke rumah sakit, katanya?
Oh wait, mobilnya sedikit memelan, aku harus lebih berhati-hati. Dia belok ke kanan, mari tetap ikuti dengan berusaha tidak terlihat olehnya.
Aku mengembuskan napas kuat-kuat, menepuk dada berkali-kali. Apa pun yang terjadi, tolong bertahan ya, Gla. Tolong tetap kontrol dirimu. Jangan gegabah. Ingga jelas punya masalalu. Dia sudah pasti punya banyak cerita sebelum mengenalmu. Jangan menghakimi, tetaplah kooperatif.
Semua akan indah dengan komunikasi.
Shit!
Kenapa bukan rumah sakit, malah dia belok ke .... apartemen? Ya Tuhan, napasku mulai terasa sesak. Enggak, enggak. Ini hanya karena debu jalanan yang mungkin masuk ke dalam mobilku. Tarik napas, keluarkan.
Temennya Nyokap sering liat dia di apartemen anaknya.
Aku menutup kedua telinga. Diem dulu, Cha. Please ....
Kata Bu Ajeng, Ingga punya beberapa teman dengan beragam profesi. Iya, ini jelas salah satu dari mereka. Mungkin, anaknya terjatuh? Atau, temannya adalah single parent dan Ingga harus membantunya?
Asumsi itu masuk akal.
Seharusnya. Begitu. Anehnya, aku masih tidak terima. Kujalankan lagi mobil untuk lurus ke jalanan. Aku enggak tahu harus ke mana, mungkin saatnya aku menjadi driver mobilnya Arief Muhammad ketika interview di Alphard.
Cacha .... Cacha angkat teleponnya, tolong.
"Apaan?"
"Cha, gue lagi main nih keliling muter nggak jelas. Ha ha. Tetiba pengen nyetir muter-muter. Terus gue liat apartemen, jadi inget cerita lo yang temennya Nyokap lo pernah liat Ingga itu lho."
Bahasaku ... kenapa berubah jadi seperti bayi baru belajar menyusun kata? Semoga Cacha nggak menemukan kejanggalan dari suara, intonasi atau kosakata.
Ya Tuhan, tolong bantu aku. Seseorang, yang ada di sekitar sini, aduh.
"Lah, lo ngapain main sampe G City?"
G City! Jantungku seketika berhenti berdetak. Seperti ada sesuatu yang menghantamnya. Itu nama apartemen yang tadi kulihat. Ingga masuk ke dalam sana. Bukan rumah sakit sesuai yang dia sebutkan ketika di rumah, tetapi sebuah apartemen.
Apartemen yang dia sering kunjungi.
"Gla, lo ngap---"
"Aduh sinyal gue jelek banget. Nanti lagi, Cha, bye. Makasih ya."
Matikan.
Atur napasmu dulu, Gla. Rapikan rambutmu. Fokuskan pandanganmu. Jangan konyol, ini jalanan besar, segala sesuatu bisa saja terjadi. Jangan, jangan bertingkah.
Okay aku sudah mengerti, sudah mulai stabil. Ayo, telepon Ingga.
Tak diangkat.
Kenapa? Apa handphone-nya ketinggalan? Apa dia mengubahnya menjadi mode silent? Argh, kenapa aku enggak meminta nomor bisnisnya? Dia pasti memprioritaskan pekerjaan.
Sekali lagi.
Tuhan tolong, bantu a ....
"Halo."
"H-hai." Stop being so obvious, Gla! Dia akan curiga dengan intonasimu. Senyum, lakukan! "Kok aku udah kangen ditinggal bentar."
Suara kekehan terdengar manis di ujung sana. "Nanti malam saya usahain mampir sebentar."
"Memangnya nanti malam urusanmu udah selesai?"
"Semoga sudah. Harusnya sudah. Ini nggak terlalu bahaya kok."
"Kamu masih di rumah sakit?"
Dia diam sesaat.
Kalau kamu mau jujur sekarang, Ingga, aku bulatkan tekatku untuk tidak mencurigaimu lagi. Aku akan mempercayaimu seterusnya. Aku akan mengikhkaskan segala masalalumu di sana.
"Ya. Di rumah sakit."
Aku tertawa.
See? Tetapi aku menangis. Yeay, cengeng. Padahal, kami masih masa probation. Kan nggak apa kalau pun putus, belum cinta. Aku buru-buru mengelap air mata. Ini pasti karena aku capek. Pulang ah.
"Gla."
"Hm?"
"Sudah dulu ya. Nanti saya hubungi lagi. Saya harus urus beberapa hal dulu."
"Okay, Mas Pacar." Aku berusaha terbahak sambil sibuk mengelap air mata. "Oh sebentar. Kata Bu Ajeng, kamu punya banyak teman dari berbagai profesi. Yang temanmu sakit ini, profesi apa?"
"Mantan pramugari. Dia sudah lama berhenti."
Perempuan. Di apartemen yang sering dia kunjungi.
"Sudah dulu ya."
"Sebentar Ingga. Mas Ingga."
"Ya?"
"Gimana kalau belum selesai masa probation, tapi aku udah jatuh cinta duluan?"
"Oh!" Dia pasti menertawakan kebodohanku. "Menurutmu apa tanggapanku selain bersyukur? Saya senang, artinya saya nggak bertepuk sebelah tangan." Ya Tuhan, apa maksudnya?! "Kita bahas ini nanti ya. Saya harus buru-buru."
Glara yang bodoh. Glara yang murahan. Glara yang kekanakan. Glara yang terlalu mudah menerima. Glara yang naif.
Aku harus tahu nama perempuan itu. Harus tahu dia siapa.
Bu Ajeng pasti bisa membantu. Dia bisa melakukan segalanya.
"Halo, Nak."
Aku berusaha setenang mungkin. "Tante lagi apa?"
"Oh ini lagi bikin banana cake sama Mbak. Kenapa, Sayang? Mau main sini?"
Aku tertawa. "Baru main udah main lagi." Setelah Bu Ajeng berhenti tergelak, aku pun melanjutkan. "Tadi Mas Ingga sama aku abis curhat-curhatan mantan. Lucu banget dia. Masa malu-malu."
"Ohya? Ya ampun, kamu bener-bener beda. Malah ngobrolin mantan sambil ketawa-tawa. Mas Ingga kayaknya makin-makin nurutnya sama kamu." Tapi dia bohong, Tante. Aku mencoba menghalau air mata yang jatuh, membelokkan mobil ke kiri untuk pulang. "Dia ceritain sama kayak Tante?"
Aku tertawa. "Sama banget. Mantannya yang Indah itu, yang nggak mau nikah, katanya sekarang udah bahagia ya, Tante. Seneng deh."
"Indah? Namanya bukan Indah, Sayang. Laura. Namanya Laura."
Laura.
"Oh? Hahaha. Indah nama temenku, kenapa bisa jadi Indah."
"Jadi dia sudah bahagia? Syukurlah. Saya malah nggak tahu kalau Mas masih berhubungan sama Laura. Kamu nggak apa bahas itu, Nak?"
"Nggak apa, Tante. Harus terbuka."
"Kalau perlu apa-apa, bilang ya. Saya bantuin sebisa mungkin."
"Siap!"
Namanya Laura.
Sekarang, gimana caranya agar aku bisa tahu kalau yang tinggal di apartemen itu bernama Laura atau bukan?
Ah, aku capek banget.
---
dikit aja lah.
insha allah buku SMLA & ST dikirim hari ini. YEAY!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top