limolas
WARNING: 25++++++++++++++++++++
"Gemas, kan? BANGET!"
Cacha melirikku sinis, aku nyengir sambil mengibaskan rambut.
"Intinya, gue merasa gue adalah anak perempuan yang dimanja. Ck, calon sultan mah bebas. Cantik lagi. Gue yakin sih, Cha, Ingga tuh nyeritain tentang gue ke Bu Ajeng. Suwer, ini tuh combo banget. Ingga tuh ternyata udah sebucin itu sama gue, gila sih! Terus nih ya, Bu Ajeng tuh kayak yang bisa dijadiin sekutu deh. Gue mau apa, bisa. Kalau aja ini gue lagi main Indosiar, gue udah manfaatin deh keluarga Ingga." Aku terbahak-bahak, tapi sendirian, karena Cacha sama sekali nggak ikut tertawa. Aneh. "Kok lo nggak ketawa?"
"Lah emang lucu?"
"Lah? Kok gitu?"
Cacha menundukkan kepalanya lagi, menyusun beberapa pastry yang sudah jadi. Ada juga kue tart di sana.
"Ih yang cokelat ditaro sebelah sini aja kali, Cha. Tuh cakep."
"Okay, tolong lanjutin dulu, Fi. Gue mau ngobrol sama kembarannya Siskaeee."
Aku tergelak. "Dambaannya kaum Adam dong gue." Tanganku digeret Cacha untuk masuk ke ruangannya. "Nanti coba tanya Ingga ah, dia kenal nggak sama Siskaeee."
"Kalau kenal?"
"Ya nggak apa, nanya aja."
"Duduk coba lo."
Menurut dengan patuh, aku duduk di kursi seberangnya. Tetiba perasaanku jadi nggak enak, kok merasa seperti tersangka.
"Lo yakin melihat semua ini sebagai sesuatu yang 'gemes'?"
"Tentang apa?"
"Sikap Bu Ajeng."
"Ya gemaslah! Nih ya, dapet mertua tipe Bu Ajeng tuh idaman semua perempuan."
"Gue enggak tuh."
"Karena lo aneh."
"Lo nggak mau denger pendapat gue kenapa nggak mau dapet yang begitu?"
"Kenapa?"
"Setelah denger cerita lo tadi, gue merasa kalau ini justru sinyal bahaya, Gla." Buset, melihat sorot mata Cacha yang terlihat mendukung, aku seketika merinding. Kok malah jadi horor? "Poin pertama, Ingga ternyata anak yang sangaaaaat spesial di mata Bu Ajeng. Mitosnya, seorang ibu bisa sangat posesif ke anak lakinya. Artinya, abis lo kalau coba-coba monopoli anaknya!"
"Cha ....." Aku merengek ketakutan. Ini mah musik film horor kalah seremnya sama omongan Cacha.
"Kedua. Dia yang memastikan semuanya buat lo secara berlebihan. Janjiin dia yang bakalan nyiapin semuanya. Asumsi awal, dia juga bakalan ngontrol kehidupan lo dan Ingga ke depannya. Gimana?"
"Cha!"
Beneran horor banget!
Ini yang bikin males dari Cacha. Aku disuruh pulang cepat-cepat, diminta cari referensi untuk pemotretan makanan, sekarang malah ditakut-takuti dengan cerita mistis.
"Gue serius. Gue nggak mau ke depannya lo kemakan sama euforia ini. Kayak yang selalu lo bilang, ini terlalu mudah, ya nggak sih?"
Aku menutup wajah.
Soal hubunganku dengan Ingga yang terlalu mudah, aku memang setuju. Sejak awal, aku merasa ini aneh dan harus siap-siap dengan segala kemungkinan terburuk. Pokoknya, selalu negatif deh pikiranku. Tapi, masalah Bu Ajeng, Cacha benar-benar kurang aja.
Aku sebelumnya bahkan nggak kepikiran hal ini! Kenapa dia selalu mematahkan angan-anganku yang sudah sangat indah?
"Ketiga. Cerita lo tentang Yudha-Regan-Dita. Lo yakin masalah selesai di sana?"
"Cha, lo siapa sih?"
"Cacha lah." Tangannya menoyor kepalaku. "Penjaga lo, penyeimbang, karena lo teliti cuma masalah duit, sisanya noob!"
"Bangga lo?"
"Bangga dong! Kenapa enggak? Buktinya, lo tergila-gila sama cowok yang bahkan gue tolak."
Sialan Cacha!
Iya juga ya.
Aku terlalu happy dengan respons baik Bu Ajeng. Sampai melupakan segala kenungkinan terburuk. Padahal, bisa aja benar kata Cacha. Gimana kalau semua ini justru awal dari taktik Bu Ajeng untuk menghancurkan hidupku dan Ingga?
Shit. Aku jadi enggak suka sama Cacha.
"Ngapain aja lo sama Ingga di sana?"
"Penting ya lo tanya itu setelah lo merusak semua imajinasi indah gue?"
Dia mendengkus. "Gue mengingatkan. Kalau ternyata jalan lo memang mulus, yaudah sih, anggap aja gue cuma menggonggong."
"Tapi kan jadi kepikiran! Enak banget tuh lambe ngoceh." Aku menjentikkan jari. "Tapi lo bener juga, Cha. Gue kayaknya terlalu keenakan diperlakukan bak ratu."
"Iya kan?" matanya membulat antusias.
Aku mengangguk dengan yakin. "Kita kayaknya memang harus selalu negatif di sisi lain. Kalau nggak gitu, kita nggak temenan."
"Indeed. Terus apa yang bakalan lo lakuin?"
"Berjuang demi Ingga."
"Najis!" teriaknya sambil menggebrak meja. "Kalau omongan gue ternyata kejadian beneran gimana?"
Aku berpikir keras. Jika suatu saat nanti, misal hubunganku dan Ingga berlanjut, terus omongan Cacha terbukti, maka ... kira-kira aku harus ngapain ya? Mundur dan menangis? Atau ... AHA! "Gue tahu, Cha!
"Apa?"
"Gue udah punya senjata ampuh."
"Apaan, buruan!"
"Kata Bu Ajeng, Ingga itu tipe bucin nggak berdaya. Nggak elit deh pokoknya bucinnya dia. Yang sama mantannya itu kan gitu. Dia akan nurutin apa pun titah perempuannya. Nah, kalau gue bisa bikin dia makin terikat sama gue, maka apa pun yang gue mau, dia bakalan nurutin. Termasuk soal Bu Ajeng. Kalau dia mau ngusik gue, dia harus siap kehilangan anaknya, karena gue bakalan ambil dan bawa pergi jauh." Aku tertawa iblis, bertepuk tangan. "Keren nggak tuh gue? Bentar lagi direkrut nih sama produser film."
Cacha masih melongo.
Aku jadi bingung sendiri.
"Nggak nyangka, otak lo lebih iblis daripada yang gue duga."
Aku tersenyum lebar.
"Intinya selalu hati-hati. Jangan percaya sama cowok seratus persen. Tebakan kita ini bisa salah, bisa juga jauh lebih buruk."
"Siap!"
"Siap-siap sana! Bentar lagi Egan jemput. Awas lo kalau ngarahin foto si selebgram-nya nggak bagus buat feed."
"Siap, Ndorooooooo." Aku berdiri, membungkukkan badan sampai-sampai kepalaku mau menyentuh meja kerjanya. "Eh by the way, Cha," Aku teringat sesuatu. Belum pamer hal yang paling penting dari semuanya. "Elo yakin nggak nyesel?"
"Apaan?"
"Ingga tuh bener-bener mantap tahu."
"Hah? Gila lo, baru nginep udah langsung bobol gawang. Kalian tuh pacaran atau transaksi jual beli sih. Singkat banget."
Aku menyeringai. "O o o, nggak perlu langsung ke main course, buat tahu dia mantap apa enggak. Dari kita ciuman aja udah bisa membuktikan. Mana dia cepat tanggap lagi. Gue kecup doang, responsif banget bibirnya. Ah, gue yakin, nanti yang kedua ketiga dan seterusnya, dia jelas sempurna."
Tiba-tiba, kepalaku sudah ditempeleng. "Setan di sebelah lo lagi menganga, karena bingung, nggak digoda aja lo udah kaya gini."
"Eh gue serius. Apalah artinya mata sipit manis, Cha, kalau dia nggak mantap."
"Tahu dari mana lo?"
"Emang mantap?"
Bukannya menjawab, dia malah berjalan keluar ruangan.
"Woy, Cha! Jadi lo beneran punya gebetan? Kokoh-kokoh beneran? Dia mantap Cha?"
Sial.
Baru ditinggal sebentar, aku sudah kehilangan banyak cerita tentang Cacha.
***
"Aaaaaaaaa!" Aku merentangkan kedua tangan lebar. "Udah pulang. Aku berasa jadi Sharifah yang nungguin Jaka pulang."
Senyumannya menawan. Bahkan adegan dia menutup pintu mobil, berjalan ke arahku aja terlihat sangat memukau. Kalau Jaka gagah dengan seragamnya sebagai Ksatria Negara, maka Ingga-ku sayang lebih gagah meski hanya mengenakan kaos polos abu-abu dan celana selutut.
Pakai sandal jepit pula.
Eh dia bawa paper bag. Pasti buat aku.
Aku terkikik sendiri. Gemas.
"Happy?" tanyanya. Begitu aku menjawab dengan anggukkan secepat kilat, dia langsung memelukku. "You're so cute."
"You're so gemas."
Tawa kecilnya kudengar, kemudian aku merasakan elusan di puncak kepala. "Buat kamu dan Cacha."
Ck, ada buat Cacha-nya segala. "Karena Cacha lagi nggak ada, berarti buat aku semua."
"Lho."
Aku terbahak. "Tuh, kan gemas banget. Gitu aja langsung serius. Dalam hati kamu pasti ngebatin, ya ampun pacar aku pelit banget. Iya kan?"
Dia menggelengkan kepala, sambil tersenyum.
Padahal, aku sungguh-sungguh dalam hati. Meski aku sayang Cacha, rasanya kalau barang dari Ingga nggak usah dikasih aja apa ya. Sebelum dia cerita tentang Kokoh-mantap-nya itu deh.
Hm, ide menarik.
"Kenapa setiap saya datang ke sini, Cacha selalu ada urusan keluar?" Dia duduk di sofa.
Sementara aku tetap berdiri karena berniat mengambilkannya minuman. Tapi, aku undur sebentar, karena mau menggodanya. "Tahu enggak artinya apa?"
"Apa?"
"Semesta bekerja untuk menyatukan kita. Memberi ruang biar kita selalu berdua." Sekarang aku terpingkal-pingkal karena omonganku sendiri. "Lucu kan?"
"Lucu."
Ck, ngomong lucu tapi bibirnya cuma senyum segaris. Lumayan. Eh, ngomong-ngomong benar juga kata Ingga. Kenapa Cacha sering keluar setiap Ingga datang ke sini? Aku bisa aja menduga dia mengada-ada. Masalahnya, dia beneran ada urusan.
Aku melihat sendiri pesan yang dikirim oleh calon kliennya. Cacha bahkan meminta pendapatku.
See?
Semesta memang selalu memihak orang-orang yang sedang jatuh cinta. Pakar dilawan. Sepertinya, gelar pakarku sudah kembali lagi.
"Nih, minumannya. Silakan diminum, Bapak." Aku membungkukkan badan, tersenyum secara profesional.
Dia merespons dengan tawa. "Terima kasih, Nona." Bokongnya bergeser ketika aku memilih duduk di sebelahnya. Kemudian kepalanya menoleh, "Gimana rasanya ngobrol sampai malam dengan Bu Ajeng?"
"Menarik." Aku melipat ibu jari. "Menyenangkan." Gantian telunjuk. "Hangat. Deg-degan. Bangun kesingan." Dan seterusnya sampai habis lima jari. Kuakhiri dengan cengiran.
"Kecapekan?"
"Nggak tahu. Aku biasanya dibangunin Cacha. Emang harus agak usaha sih banguninnya, jadi mungkin Bu Ajeng bingung. Terus kan aku ketiduran, mana sempat ngidupin alarm."
"Biasanya kalau pagi bangun jam berapa?"
"Anu ..." Tamat riwayat, kalau Ingga tahu aku sungguh bengal, gimana ya? Soalnya, bangun pagi adalah godaan terberat. "Kamu tadi ke sini naik apa? Eh lupa, bawa mobil ya. Ha-ha." Aku menepuk dada, pura-pura batuk agar ada alasan untuk minum banyak.
Ternyata, Ingga masih menatapku, sekarang dengan senyuman yang ... duh, jangan bilang dia geli-geli campur ilfeel? Kalau dia berpikir, aku bukan calon istri yang baik karena tidak bisa bangun pagi, maka sudahlah ... aku jadi lesu.
"Kalau denger alarm, bisa bangun nggak?"
"Bisa! Banget!"
Masalahnya, kalaupun dengar, kadang kumatikan alarm, lalu diam sesaat, tiba-tiba sudah ketiduran lagi. Nasib baik kalau Cacha sedang dalam mode malaikat. Kalau dia lagi jadi iblis, aku beneran nggak dibangunin.
Sialan Cacha.
"Kalau gitu, nanti biar saya bangunin lewat telepon. Jam empat pagi terlalu pagi enggak?"
Yaaaaah, itu jam nikmatnya tidur. "Jam lima gimana?"
"Oh. Okay, boleh. Sebagai awal, jam lima. Nanti lama-lama bisa setengah lima."
Aku tersenyum lebar. "Tapi kalau kamu lagi ke luar negeri gimana?"
"Nanti disesuaikan jamnya. Kalau saya bisa, saya telepon."
"Bukannya kamu cuma aktifin WhatsApp bisnis, jadi handphone pribadi nggak aktif?"
"Nanti diaktifin."
"Beneran?!"
Dia terkekeh. "Ya."
"Tuh kan, kamu tuh gemas bangeeeeeeeet!" Aku mencubit pipinya kencang, sampai dia mengusap-usap sambil meringis. "Pinter banget, Bapak. Biar masa probation-nya cepet lolos ya."
Lihat ini, Hooman.
Jadi, kalaupun ternyata omongan Cacha benar. Bu Ajeng akan mengusik hidupku ke depannya, aku sudah punya senjata, yaitu anaknya. Kalau dia nggak jahat, aku juga enggak kok.
Makanya, semoga omongan Cacha hanya omong kosong belaka.
Aamiin ah.
"Gla."
"Hm?"
"Kamu suka nyanyi?"
"Banget."
Mana peduli dengan suaraku masuk tipe mana, yang jelas bernyanyi adalah bentuk mengekspresikan emosi. Aku suka banget.
"Siapa penyanyi favoritmu?"
"Ng ... enggak punya."
"Oh?"
"Aku suka sama lagu sih, bukan penyanyi. Jadi, kalau lagunya bagus, ya aku suka. Gitu. Kenapa? Mas mau ikutan jadi suka nyanyi?"
Kepalanya menggeleng. "Kamu kenal sama Gharda Gulzar?"
"Kenal lah! Yang mukanya fakboy itu kan?"
"Muka fakboy?"
"Iya. Yang katanya one of the hottest singers in Indonesia. Aku kenal belum lama, karena denger lagu dia waktu nongkrong di kafe. Terus kata temenku, dia beberapa tahun terakhir lagunya jadi lagu bucin. Otomatis aku suka lagunya."
Tapi tampangnya aku nggak suka. Dia kelihatan fakboy parah. Dari cara dia senyum ke kamera, menjawab setiap pertanyaan. Tatapan tajamnya. Tingkah di video clip-nya. Semua adalah ciri-ciri fakboy beneran.
Apalagi, dia yang nggak pernah mengumumkan kehidupan percintaannya. Makin yakin aku, kalau dia tipe-tipe yang tidak mau kehilangan fans. Ck, kasihan deh cewek-cewek korbannya---kalau ada.
Aku punya teman, yang isinya di story Instagram adalah cuplikan interview si om Gharda ini. Nanti lagu yang dia share dari Spotify. Atau, foto terbaru dari postingan Instagram official-nya. Entah kerjasama dengan majalah, atau sedang main alat musik.
Yakin betul bakalan dinotis.
Tuh kan, aku jadi ghibah lagi. Maafkan aku ya Tuhan. Hanya sedikit. Nanti juga ...
"Dia teman saya."
"APA?!" Setelah sadar kalau tadi aku refleks berdiri, aku buru-buru duduk kembali. Ingga hanya tersenyum, kuasumsikan senyuman geli. "Maksudnya, kata beberapa orang, dia memang kelihatan fakboy, anu, womanizer, tapi aku yakin aslinya pasti baik. Ha-ha." Ketawaku bahkan sudah terasa sangat hambar.
Gimana bisa lelaki sependiam Ingga, anak baik-baik, bisa berteman dengan lelaki yang bilang 'I love you' ke semua perempuan berhuruf B.
"Mau kapan-kapan karaoke bareng dia?"
Aku menunduk lesu. "Kayaknya, aku harus mulai cari hobi baru. Karaoke udah nggak keren. Gimana menurutmu?" Gila aja, aku nggak mungkin mengiyakan dan tiba-tiba bernyanyi bareng orang yang kughibahin di belakangnya.
Temannya Ingga lagi.
"Glara, Glara,"" katanya, terlihat menahan tawa. Kemudian tangannya refleks menyentuh kantung celana, handphone-nya bunyi. "Sebentar ya."
Aku mengangguk.
"Halo."
"..."
Ekspresinya berubah serius, terus dia melirikku. Kenapa? Ada apa? Jangan membuat jiwa overthinker-ku on nih. "Kamu ke sana?"
Ngomong sama teman aja sopan banget. Apa yang nggak memukau dari makhluk satu ini.
"..."
"Terus siapa yang bawa dia?"
Dia siapa? Bawa ke mana?
"Okay. Nanti biar saya aja. Iya. Titip salam buat Sashi dan Dita."
Dita? Sashi? Sialan Ingga. Selain gampang dibuat jatuh cinta, ternyata kenal dia sungguh memacu adrenalin.
"Gla."
"Ya? Kamu mau ngomong sesuatu? Kenapa? Aku dengerin."
Dia tertawa. Tangannya membelai sisi kepalaku. "Saya pergi dulu ya."
"Ke mana?"
"Ke rumah sakit."
"Siapa yang sakit? Aku ikut, boleh?"
"Enggak bahaya kok. Kamu istirahat di rumah. Nanti kalau sudah sampai, saya kabari. Semoga suka hadiahnya." Tubuhnya berdiri, aku mengikutinya. "Kok cemberut?"
Bukan. Ini bukan cemberut ngambek, tetapi aku penasaran sampai rasanya dadaku mau meledak. Dita-Yudha-Regan.
"Yang telepon kamu tadi Regan?"
Kepalanya mengangguk. Setelah memasukkan kembali handphone ke dalam saku, dia kembali menatapku. "Ini bukan apa-apa, nggak perlu terlalu khawatir. Salah satu teman saya masuk rumah sakit, tapi nggak bahaya." Kedua tangannya menyentuh pundakku. "Nanti malam saya kasih tebak-tebakan, mau?"
Lemah banget sih, Gla. Langsung mengangguk dan senyum lebar coba. Apalagi, waktu tangannya merapikan rambutku, ya Tuhan, istilah perut dipenuhi kupu-kupu itu beneran terjadi lagi. Sudah lama tidak merasa begini karena lelaki.
MAYDAY!
Aku seketika membeku, begitu merasakan kecupan hangat di kening. Sebelum akhirnya dia benar-benar pamit. Selain menjadi jalang, sepertinya aku juga menjadi bodoh. Yang dikecup kening, kenapa yang lemas seluruh badan?
---
cie matanya udah ijo baca kata ++++ padahal booooong.
cie digiring opininya sama gla dan cacha biar nethink cie
okay gaes, aku mau jawab pertanyaan ini yang sering banget ditanyain sama kalian (mendadak jadi selebgram dan youtuber).
kenapa nama tokohnya bagus-bagus? unik-unik? artinya apa? dapet inspirasi dari mana? boleh nggak aku jadiin nama anakku? blah blah blah.
pertama, pemberian nama bagus-aneh-unik-keren itu bukan tanpa alasan. selain suka sama nama-nama ala sansekerta/India/Jawa itu, alasanku adalah .... aku PELUPA AKUT. jangankan nama tokoh, nama temen SMA aku bisa lupa nama dan mukanya. jadi, kalau aku namain tokohku Diana, Dinda, Bayu, Budi yang familiar di negara kita, aku bakalan lupa gaes. terus, di next cerita, biasanya aku pake lagi😭. kebukti sama nama-nama tokoh pendukumg, kadang sama atau mirip, karena aku lupa. nama Kia aja lupa.
kalau namanya susah, aku malah inget. ohiya, Bhoomi Gangika udah kupake. ohiya, Glara udah. dll.
jadi, buat yang bilang 'nama tokoh di wattpad setinggi langit atau nggak masuk akal', percayalah, i've tried my best. ini karyaku, so please, mari berdamai HAHAHAHA.
kedua, inspirasi dari mana?
di dunia ini ada namanya GOOGLE (besok bayar ya geeel, laporin botuna nih). bisa dibuka lewat safari, chrome, mozilla, apalah itu semuanya. ketik 'nama laki-laki/perempuan sansekerta'. dah, abis tuh semedi kalian buat nyocokin sesuai arti dan karakter, hehehehheheehehehhehehe (sepanjang anunya .... pandan EH BTW PANDAN UDAH SELESAI EDITING LHO🤪).
ketiga, boleh buat nama anak-anakku?
MUONGGO.
Pake buat nama anak, anjing atau kucing perliharaan, nama siapa pun monggo. bukan aku yang bikin nama itu, entah awalnya siapa ya yang bikin nama 'Dinda' 'Glara'. hmmmm. atau kalau mau full nama lengkap kayak tokohku, silakan.
dah?
ada lagi?
capek ah. mau duit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top