jerene sih part papat

"Ini pesanan dari siapa aja, Cha? Banyak banget list-nya."

"Sekeluarga besar itu. Ada tantenya, ada besannya, ada apaan lagi, nggak tahu. Yang penting gue kelarin, beres. Eh Vi, tolong liatin adonan croissant-nya."

"Iya, Mbak."

"Dikirim hari ini semua?" Aku seketika meringis saat ia memeberikan tatapan 'menurut lo?' andalannya. "Ngambek mulu lo, kayak manusia yang nggak pernah dapet nikmat aja." Kukibaskan rambut di depan dia, kemudian aku berjalan berniat meninggalkan dapur. ''Menjauh ah, dari orang-orang yang kasih aura negatif."

"Iya! Menjauh sekalian dari bumi!"

See?

Aku tuh salah apa gitu lho. Punya teman sebaik dan suportif begini masih aja disia-siain. Oh wait, ngomongin soal betapa supportifnya aku untuk Cacha, aku semalam abis bertapa, Hooman. Tujuan utamaku jelas satu: menemukan cara ampuh agar rencana berjalan mulus. Atau, kalau itu terlalu sulit, seenggaknya aku bisa melewati meski ada beberapa batu sandungan.

Permasalahannya satu, aku mulai agak ragu sama Ingga. Maksudnya, dia ini nggak terlihat ada usaha sama sekali. Kalau di awal kemarin aku bilang dia sudah bucin sejak dini, sebetulnya aku harus meralat kalimatku.

Pemaklumannya akan sifat Cacha di hari kencan mereka, jadi terlihat sedikit ganjal setelah aku menganalisa beberapa sikap dia di kemudian hari. Kata Cacha, nggak ada pesan singkat atau telepon sekadar menanyakan kabar dan mengabarkan apa yang dia lakukan di antah berantah sana. Okay aku ngerti dia memang bilang mungkin nggak bisa dihubungi dalam beberapa hari, TAPI, Kalau dia memang serius ingin ini berhasil, bukankah ada istilah 'berusaha atau berjuang'?

Sayangnya, dia nggak memanfaatkan kata-kata indah itu.

So, my conclusion, belum final sih, ada sesuatu yang nggak beres dengan Ingga. Nah ini, mencari 'sesuatu'-nya itu yang berat banget. Aku nggak kenal dia, mau mengenal aja rasanya nyaris mustahil. Ya gimana enggak, orangnya nggak kooperatif sama sekali.

"Assalamualakimum, Bu Haji. Gue ngucap salam kayak abis lari putaran sepuluh kali, nggak ada jawabannya dong."

"KYAAA!" Aku merentangkan tangan, berlari menghampiri Egan yang buru-buru menaruh peralatan kamera untuk kemudian menerima pelukanku. "Gila ya. Berasa seabad nggak liat lo tau, Gan. Ganteng banget sih temen gue."

"Kalau nggak ganteng, lo jelas nggak mau temenan sama gue."

"Kok bisa?"

"Katanya kan, kalau lo ganteng atau cantik, setengah masalah hidup lo beres."

"Nah ini, sini-sini, ini menarik." Aku menariknya agar mengikutiku duduk di sofa ruang tamu. "Cacha menurut lo cantik?"

Egan terlihat kebingungan, tetapi menganggukkan kepala ragu-ragu.

"Gue cantik?"

"Ya."

"Kalau gitu, harusnya setengah masalah gue dan Cacha beres dong ya?"

"Katanya gitu."

"Anehnya, gue lagi pusing nih, Gan. Masalah nggak kelar cuma karena kita good looking berdasarkan penilaian orang. Katanya, keadilan sosial bagi mereka yang good looking. Tapi ada standarnya nggak sih. Duh, rumit."

"Kenapa lagi?"

"Lo sayang gue apa sayang Cacha?"

"Ini apa sih. Kalian berantem? Rebutan apa kali ini? Bisa nggak sih, Gla, lo agak ngalah dikit, jangan iseng nan jail. Udah tahu Cacha emosian berat, di atasnya dia itu matahari makanya hawanya panas."

Aku memutar bola mata. Menarik kedua tangannya agar dia fokus terhadapku. "Jadi gini ...." Kuceritakanlah semuanya. Mulai dari pertemuan dengan Bu Ajeng dan anaknya, perjodohan Cacha dan Ingga. Sifat Cacha dan Ingga, dan lain-lain. "Gimana menurut lo?"

Egan memang nggak langsung menjawab, dia malah mengurut keningnya. Hm, sepertinya ini bukan hanya sulit bagiku, tetapi juga untuk dia yang merupakan ahli dalam dunia percintaan.

Di atas Glara Garvita, ada Eganio Pratama.

"Pertanyaannya, kok lo bangsat banget, Gla?"

"Lho?"

"Nih. Yang mau dijodohin Cacha sama cowok itu kan?"

"Iya?"

"Lah terus ngapain elo yang sibuk bikin Cacha mau? Hak dia dong mau atau enggak. Kalau dia aja udah nggak mau, ngapain coba lo jual temen sendiri cuma karena mamanya tuh cowok mau bayar mahal jualan kalian?"

Aku menelan ludah. "Bukan gitu, ini tuh masalahnya---handphone siapa tuh?" Dering telepon dengan nada sejuta umat menjeda semuanya.

"Bukan punya gue."

Aku melihat milikku, dan dia nggak bunyi juga. Mau bodo amat, tetapi lumayan bikin nggak nyaman karena telinga tetap menangkap suara.

"Arahnya dari sofa yang lo duduki, Gla. Punya Cacha kali."

Aku berdiri, berusaha menemukan benda yang sedang berbunyi itu. Nah, benar aja. Handphone Cacha tergeletak di balik bantal so ... oh wait, Parama Pringgayudha? "Chaaaaa! Ada telepon dari calon laki lo!"

"Angkat aja!"

Refleks, aku menoleh ke Egan, kami saling pandang untuk sejenak. Nggak waras memang Cacha kadang-kadang. "Gila lo! Tunggu bentar gue anter!" Berjalan ke dapur, aku berhenti melangkah saat Cacha sudah memberhentikanku dengan kalimatnya.

"Gue nggak lagi sibuk aja males ngangkat, ini lagi! Nggak sempat gue. Angkatin tolonglah, Gla."

Sialan nih anak. Benar-benar semakin cerdik dalam segala hal.

Syukurlah! Aku mengelus dada lega karena panggilan berakhir. Mari letakkan kembali benda ini ke tempat semula dan teruskan diskusi bersama dengan .... ya Tuhan, kenapa menelepon lagi?

"Halo."

"Cacha?"

"Oh bukan, Mas. Eh, Pak. Ini Glara."

"Cacha-nya ada?"

"Anu, dia ... lagi masak. Katanya mau melatih diri supaya makin jago bikin pastry kesukaan Bapak dan Bu Ajeng." Aku mendelik saat Egan terlihat nggak terima akan kebohonganku. "Baik banget kan dia kadang-kadang?"

Hening. Bahkan curi-curi suara napasnya dari alat komunikasi ini aja nggak bisa.

"Halo? Bapak Ingga masih bersama saya?"

"Ya. Jadi, Cacha nggak bisa diganggu sama sekali?" Belum sempat aku menjawab, suaranya terdengar lagi. "Sebentar, Ma. Nanti aku sampein."

Buset, ada Bu Ajeng segala.

"Glara."

"Ya, Pak? Dia bilang susah bagi konsentrasi. Nanti saya sampaikan aja."

"Kamu suka ayam rica-rica?"

"Hah? Saya atau Cacha, Pak?"

Ini kok rasa-rasanya aku pengen nyanyi Iwan Fals yang Aku Bukan Pilihan. Begini apa ya kalau jadi istri kedua. Setiap ditawari sesuatu, pasti langsung merasa bersalah dan berpikir si lelakinya salah menawarkan.

Suwer, kali ini, aku harus mengakui pemikiran menggelikan banget.

"Kamu."

Shit. Satu kata. Intonasi seadanya. Kenapa damage-nya bisa sedemikian rupa? Kalau begini caranya, bisa-bisa aku jadi persetan sama istana di kampung halaman, yang kubutuhkan adalah menciptakan masa depan bersamanya.

"Halo?"

"Ohya, Pak. Suka. Saya suka ayam rica-rica. Ya masa dikasih sama lelaki ganteng ditolak, calon ipar pula."

Kali ini, aku mendengar suara tawanya, Hooman! Beneran ketawa seolah dia baru saja menyaksikan sebuah lelucon level Dewa. "Bukan saya yang kasih, tapi mama."

"Nah, apalagi dimasakin langsung sama seorang Bu Ajeng gitu lho."

"Tunggu saya sampai di sana."

"Alamatnya memang sudah tau?"

"Sudah."

"Okay. Hati-hati di jalan, Bapak."

"Well, yang dijodohin sama dia sebenernya elo atau Cacha?"

Aku duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan gerakan sepelan mungkin, kemudian meletakkan handphone Cacha di meja dengan gaya sedikit berlebihan. Ternyata, hal itu membuat Egan mendengus kencang, aku bahagia.

"Lo jangan main-main, Gla."

"Kenapa? Takut ya? Kalau Cacha nggak mau, kenapa nggak buat gue aja coba? Cacha udah izinin kok."

"Serius?"

"Hm hm."

"Jenis temenan macam apa sih kalian tuh, bisa tukeran cowok segampang itu. Kayak gini disebut fakgirl pada nggak mau."

"Hei! Tak sentil lho lambemu nggak dijaga kalau ngomong. Enak aja dikatain fakgirl. Ini namanya memulai hidup simpel. Kalau bisa dibikin mudah, kenapa harus sulit?"

"Nggak kebalik tuh?"

Aku memberengut. Ledekannya Egan kadang ngeselin. Ya anggap aja, ini adalah sesuatu yang bagus untuk hidupku, mempermudah hal-hal tanpa perlu berdeama ria. Cacha nggak mau? Ya kenapa nggak buat aku aja.

Oh wait, kenapa aku sebelumnya tidak terpikirkan, kalau dengan mendapatkan Bapak Ingga, bukan hanya dia yang bisa kupeluk, tetapi berikut semua janji mamanya untuk membayar lebih pada makanan yang ada di CG's Pastry.

Kami semua sama-sama untung.

Wow. Ini apa? Kenapa Glara bisa tumbuh secerdas ini dalam mencari solusi?

Jadi, sekarang aku sudah tahu rencana apa yang nantinya akan aku rundingkan dengan Cacha demi mega proyek ini.

Cha, Cha, mimpi apa lo punya sahabat sebegini kerennya





***




"Kenapa dia bisa ada di sini?" Bisikan Cacha itu mengandung racun. Sebagai prevention, aku harus mengabaikannya supaya tetap waras. Namun, Cacha mana mau paham, dia mencubit lenganku sambil terus berbisik. "Gla ... dia ngapain ke sini?"

Aku berusaha dengan kuat menahan rasa sakit, dan memilih tersenyum lebar pada seseorang yang baru saja keluar dari mobil di halaman rumah kami.

Tadi, entah keajaiban datang dari mana, tiba-tiba Bapak Ingga mengirimi pesan kalau dia sudah sampai di gapura perumahan. Maka, dengan semangat menggebu, tentu saja aku menarik Cacha keluar rumah, menyambut pangeran yang sudah datang jauh-jauh.

Sementara Egan, dia bilang malas menyaksikan drama picisan buatanku, makanya dia memilih untuk ke halaman belakang dan menyiapkan proses pemotretan beberapa pastry.

Nggak masalah.

"Hai!" seruku sok akrab.

Dia memberi senyuman. Berjalan mendekati kami dengan box makanan di tangannya. Mari menyaksikan drama, siapa yang akan dia pilih untuk menerima pemberiannya. Mengingat bagaimana dia di telepon itu, aku yakin kalau ....

"Titipan mama, Cha."

Kok Cacha yang dikasih?

"Oh, nggak perlu repot-repot, Mas, ini---"

"Makasih banyak, Bapak." Aku membungkukkan badan. "Kalau Cacha nggk mau, biar saya yang ngabisin nanti. Titip ucapan terima kasih banyak untuk Bu Ajeng."

Dia mengangguk, senyum lagi sambil mamerin giginya. Kalau begini, nggak terlihat dingin sama sekali, malah jadi jenaka. Ugh, it melts my heart ....  Aku ralat kalimatku lagi, memang benar adanya, keadilan sosial bagi mereka yang good looking. "Mama tambahin lebih banyak karena kamu juga suka."

Aku pura-pura nggak sadar ketika Cacha menoleh ke arahku. "Oh baik sekali. Masuk dulu yuk, Pak. Cacha jago bikin kopi lho."

"Gue harus kelarin---"

"Tapi kopi buatan saya juga nggak kalah enak. Bapak mau cobain? Nggak gampang takut keracunan kan?"

"Gla. Mas Ingga itu orang sibuk." Cacha memaksa senyuman yang kelihatan mengerikan untuk Mas Ingga-nya. "Dia nggak bisa leha-leha dengan minum kopi buatan lo, dia pasti harus pergi. Ya kan, Mas?"

"Enggak kok. Saya bisa di sini dulu."

Yang sabar ya, Cha. Lo nggak tahu sih, kalau gue udah jadi semi-bos buat dia.

Sambil berusaha menahan tawa, aku mengambil alih box makanan di tangan Cacha. "Sini aku pindahin makanannya sekalian bikinin kalian berdua minuman. Nyonya Cacha mau minum apa?" Rahangnya mengetat, pasti siap meledak. Emosian, dasar. "Bapak Ingga, silakan masuk, duduk di sana dulu ya."

"Terima kasih."

"Ohya, ini akan ada drama dimarah mama nggak kalau tupperware hilang?"

"Maaf?"

Bahkan joke legendaris itu aja dia nggak paham. Apa karena wadah makanannya beda merek? Makanya, nggak heran kalau dia sebegitu clueless-nya buat dekatin Cacha. Ck, pria yang malang.

Tak mau memperpanjang masalah joke yang gagal, aku pamit untuk ke dapur. Namun, suara Bapak Ingga kembali terdengar. "Saya suka kopi yang agak manis, Glara."

"Okay."

"Kalau Mbak Cacha?"

"Darah lo yang gue minum."

"His, sensinya nggak kelar-kelar. Ditunggu semuanya!"

Karena semua plan sudah terlanjur semrawut, maka lihat saja yang bagian ini. Akan berhasil ke mana kah semuanya?













---

biasanya, karakter Glara ini akan jadi tokoh kedua. kayak laras misalnya, yang ngeyakinin Pra sekuat tenaga. dan pranya juga sekuat tenaga nolak. tapi, kali ini, mari jadikan mereka yang sering merasa sebagai pemain pendukung di kehidupan orang lain sebagai pemeran utama. karena siapa pun kita adalah pemeran utama di cerita kita sendiri. ❤️

btw, SMLA dan sweet-talk udah open PO tuh.

salam👙,
udah beli kerudung baru.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top