iki bab loro
"Gila lo! Jangan gitu dong, Cha. Suwer deh, lo harus pikirin baik-baik, ini keuntungan besar banget."
"Bener-bener lo emang. Lo umpanin gue demi cita-cita lo pribadi? Bagus banget, belajar di mana lo jadi culas begitu?"
"Ya kan gue udah bilang, kasihin ke gue ajalah. Dengan suka cita gue nerima dia."
"Kan gue juga udah bilang, AMBIL!"
"Ngegas mulu nih anak. Heran."
Ini permasalahannya lumayan agak runyam, Hooman. Segalanya nggak berjalan semulus yang direncanakan, spesifiknya, nggak seperti yang kuharapkan.
Cacha boleh aja jadi orang yang nggak mau ribet. Masalah uang, sama dia mah gampang deh. Mana peduli dia tentang perbedaan bisnis dan kehidupan pribadi. Dianggapnya sama. Nyebelinnya, kalau sudah punya pendapat yang dia anggap itu mutlak tentang hal lain, dia pasti kekeh bukan kepalang.
Mau siapa pun yang merayu, gadis bernama lengkap Natasha Hisyam ini bakalan berjuang sekuat tenaga buat menang.
Eh ralat, bukannya Cacha nggak pernah bisa melawan mamanya ya? Mamanya kan ampuh banget dalam mengolah kata, membolak-balik keadaan biar intinya Cacha dalam posisi nggak bisa memilih.
Tapi, kok sekarang nggak begitu lagi?
Oh wait, handphone dia bunyi. Dengan melihat raut muka kesalnya, aku sepertinya sedikit bisa menduga. Let's see.
"Jawabanku tetep sama, Ma: NO."
Benar ternyata.
"..."
Kenapa dia nggak loudspeaker sih, aku kan nggak bisa mendengar mamanya ngomong apa.
"Baik, teladan, soleh, anak presiden atau anak siapa pun, kalau hati nggak mau ya nggak bisa dipaksa dong, Ma."
"...."
Kulihat mukanya Cacha sudah kesal bukan main. Sebelah tangannya menggosok kening, memejam beberapa detik, melek lagi, begitu dia ulang.
"Nggak ada istilah jalanin dulu, please. Kita mau buat jalanin dulu itu modalnya harus ada ketertarikan dulu. Nggak bisa main jalanin aja, Ma."
Aku mengembungkan pipi, berusaha menahan tawa. Omongannya Cacha kelas dewa hari ini. Kalau sampai aku ketahuan ketawa, asli, jadi adonan kue bisa-bisa.
"Cacha mau nyari pasangan bukan tukang asuh, Ma! Nggak perlu diemong segala. Nggak perlu sibuk dinafkahi. Semua itu percuma kalau Cacha nggak cocok."
Dari mana lo tahu lo cocok atau nggak kalau belum mau nyoba sih, Cha?
Kata hatiku yang sok berperan sebagai orang netral dan rasional.
Ya memang bener sih, kalau nggak ada ketertarikan di awal, gimana mau mencoba.
Itu jeritan sisi hatiku lainnya.
"Ngga mau."
"...."
"Ti-dak."
"...."
"Cacha udah lihat foto yang Mama kirim. Dan sama sekali bukan tipeku. Tolong dong, Ma. Please, ini zaman udah modern sedemikian rupa, masa hak untuk memilih pasangan aja harus dirampas?"
Well, omongan Cacha benar.
Aku kok jadi kasihan sama dia karena dipaksa begini. Cuma, masalahnya, Cacha belum lihat aslinya aja. Suwer, aku berani bertaruh anaknya Bu Ajeng itu kalau ikut blind date pasti nggak akan gagal. At least, dari sudut pandang fisik. Kalau kepribadian, ya mana aku tahu. Kenal aja enggak.
Ah, semua ini pasti akan mudah kalau aku dan Cacha kembar, atau aku ini adiknya. Akan dengan senang hati aku menerima anaknya Bu Ajeng sebagai pengganti Cacha.
Sayangnya, cuma film India yang bisa merealisasikan mimpiku.
Oh atau gini aja! Aku mendekati Cacha, menoel pahanya untuk mengambil alih obrolan. Meski muka bingung, dia tetap kasih handphone-nya ke aku.
"Halo, Tante. Ini Glara."
"Hai, Sayang. Gimana?"
"Cacha udah cerita sama Glara soal anak kenalan Tante itu, menurutku memang wow banget. Cocok banget buat Cacha ya, Tan?" Aku menepis tangan Cacha yang dengan sengit mencubit pahaku. "Cacha galak, Masnya pendiam banget. By the way, aku udah ketemu lho, Tan, sama anaknya Bu Ajeng."
"Tuh kan. Gimana menurutmu?"
"Menurutku sih wow, cocok banget sama Ca---AH! Bentar, Tan." Aku menutupi handphone agar Tante nggak mendengar. "Cha, percaya gue, ini gue ada di tim elo."
"Darimananya tim gue kalau dari tadi yang lo omongin malah bilang cowok itu wow wew waw, hah?"
"Suwer. Beneran. Diem dulu please." Aku langsung menyingkir darinya agar bisa leluasa berbicara dengan mamanya Cacha. "Halo, Tan, masih di sana?"
"Masih dong. Jadi gimana ya, Gla? Cacha ini memang aneh. Yang dicari tuh yang kayak gimana sih. Yang nggak jelas dan ujung-ujungnya ninggalin dia gitu?"
Aku mengembuskan napas pelan. Rasanya pengen banget jawab, kalau bahkan meskipun hidup bersama anaknya Bu Ajeng, Tante tau dari mana kalau Cacha nggak akan ditinggal?
"Ini anaknya udah paket komplit. Ganteng, baik, sopan, pinter, nggak banyak omong, nggak neko-neko, pekerjaan pasti, orang tua jelas. Bibit, bebet dan bobotnya udah lengkap kok masih nggak mau."
"Gimana kalau sekarang Tante tenangin diri dulu, karena kita tahu sendiri Cacha makin ditekan makin beringas. Aku bantuin ngomong ke dia nanti."
"Kamu serius, Gla?"
"Serius, Tante."
"Ya ampun, nggak salah memang Tante anggap kamu anak sendiri. Yaudah, titip Cacha ya, Gla. Tante tutup dulu, terima kasih ya."
"GILA LO YA!"
Astaga, aku sampai terlonjak ketika balik badan menemukan Cacha berdiri dengan aura siap nerkam. "Sini sini duduk dulu. Lo coba dong, sekaliiiiii aja nggak main emosi. Main cantik bisa kali, Cha. Nggak meninggal lo kok."
Tak ada jawaban, tak ada gerakan apa pun sebagai bentuk sikap kooperatifnya.
"Sini, Sayang." Aku menarik tangannya agar ikut duduk di tepi kasur. "Kak Glara jelasin ya. Definisi melawan itu bukan cuma kekerasan, asal lo tahu. Nggak semua orang bisa dilawan dengan cara kesukaan lo itu, termasuk Tante Fany. Semakin lo berontak, semakin dia keras. Lo kudu main cara cantik lainnya."
Good, muridku sekarang sudah jinak, duduk anteng, menatapku dengan muka yang seakan menunjukkan kalau dia sedang menyimak dengan baik.
"Ada banyak cara buat buat menolak tanpa kata 'NO'. Tahu itu enggak?"
"Lo berbelit-belit gini, dapet apa sih?"
Aku memutar bola mata. "Okay, denger ini baik-baik. Nyokap lo nggak akan terima kata 'No', itu yang pertama. Maka yang harus lo lakuin adalah pakai taktik."
"Apa?"
"Iyain---"
"Gila lo!"
"Dengerin dulu bisa enggak sih? Nah gitu kalem kan enak. Lo iyain itu cuma di awal. Supaya nyokap lo diem. Istilahnya tadi adalah jalani dulu. Nah, tugas lo selama itu, bikin bukti sebanyak-banyaknya kalau kalian memang nggak bisa hidup bersama. Makanya, di awal, lo kudu kasih semacam kesepakatan ke nyokap lo. Kalau proses 'jalani aja dulu' itu lo nggak ngerasa dia adalah orang yang tepat, lo boleh nolak dia. Gitu."
Senyumnya merekah.
"Gimana?" Aku menyeringai. Merasa benar-benar puasa dengan taktik ajaibku kali ini. "Apa enggak cemerlang isi otak gue? Kayak gini bisa-bisanya masih jomblo."
Dia memeluk tubuhku dengan erat. Mengucapkan terima kasih berkali-kali. "Gue akan bikin tuh laki nyesel ngeiyain perjodohan nggak penting ini."
"Wait, anaknya Bu Ajeng ngeiyain?"
"Menurut lo?" tanyanya songong. "Kalau dia nggak ngeiyain, ngapain gue heboh begini. Semuanya bakalan mudah kalau dia nolak. Lagian, siapa sih yang mau nolak seorang Cacha dengan kualitas asli lokal."
"Apa tuh maksudnya kualitas asli lokal?"
"Badan mungil, kuning langsat, jago masak, jago nyari duit, ukuran dada pas, dan ... punya muka seksi tanpa perlu usaha."
Aku meringis. Terpaksa harus mengangguk menyetujui agar semuanya cepat selesai. Namun, jauh di dalam hati, aku tertawa penuh kemenangan. Lo cuma nggak tahu, Cha, kalau sekarang kita lagi lomba dalam memenangkan kepentingan pribadi.
Elo, berjuang membuat semuanya nggak berhasil karena nggak mau menikah sama dia yang bukan tipe lo. Sementara gue, akan mengorbankan jiwa-raga untuk bikin kalian merasa cocok dan memutuskan bersama.
Supaya apa?
Supaya, asupan dana mulus dengan indahnya.
Kalau begitu kan sama-sama untung, nggak ada paksaan, hanya perlu sedikit taktik.
"Okay, Cha. Sekarang, belanja bahan buat dibikin besok. Karena malamnya kita harus datang ke rumah calon mertua lo."
"DIEM LO!"
Aku terbahak, kemudian berjalan lebih dulu menuju garasi rumah.
***
"Sayang sini. Ini namanya Mbak Triana. Sepupu dari almarhum papanya Mas Ingga."
"Halo, ini Cacha ya? Pastry-nya enak banget. Nanti kalau aku main Jakarta lagi, boleh banget pesen di kamu. Aku minta nomormu ke Tante Ajeng boleh?"
"Iya, Mbak. Silakan. Terima kasih."
"Kalau ini namanya Tante Ariska. Neneknya Tante Ariska sama Neneknya papanya Mas Ingga itu sepupuan."
Wait, aku kok nggak paham sama jalur informasinya Bu Ajeng barusan ya? Apa karena aku cuma curi-curi dengar sambil sibuk merapikan beberapa piring ini?
"Ini Mbak Tika. Ini Mbak ...."
Blah blah blah.
Aku yakin sih, Cacha pasti pusing banget dikenalin sama orang sebanyak itu. Kasihan, tapi lucu juga kalau dibayangin. Nggak apa deh, Cha, itung-itung pengenalan biar kalau sudah sah nanti nggak kaget lagi.
"Sendoknya di taruh sebelah sini, Mbak."
Aku langsung menggelengkan kepala, kemudian tersenyum lebar sambil mengangguk. Nasib, nasib. Temanku lagi dipuja-puja, dikenalin ke keluarga besar, sementara aku bantu-bantu merapikan barang dapur.
"Mbak Glara, sini."
"Saya, Bu?" Yang namanya Gla di sini siapa aja? Kok Bu Ajeng sepertinya natap aku. "Saya?"
"Iya, kamu sini."
Begitu aku sampai di antara mereka, Cacha sedang tersenyum penuh misteri. Perasaanku mulai was-was. Apa yang ada di otak anak satu ini ya.
"Tadi anak saya udah pulang, tapi langsung masuk kamar karena katanya mau mandi dulu baru nemuin keluarga." Saat Bu Ajeng memberi jeda, aku mengangguk kilat. "Tapi kok belum turun-turun, saya minta Cacha tolong panggilin, dia sakit perut."
Begitu aku noleh ke arah Cacha, gadis binal satu itu sedang meringis dengan hiperbola. Tadi kan dia aja senyum kenapa sekarang mendadak sakit perut!
"Jadi, kamu bisa tolong panggilin?"
"Sa-saya?"
"Iya. Kata Cacha, karena kamu temannya Cacha, kamu jadi mau kenal juga dengan Mas Ingga."
SHIT.
Aku meringis, kemudian pura-pura tersenyum lebar. "Anu, Bu Ajeng. Ahiya, gimana kalau Mbak Triana aja? Sepupu udah lama kan nggak main?"
Ini gila apa ya, aku kan bukan siapa-siapa. Gimana bisa dia nyuruh aku menghampiri anaknya di dalam kamar gitu lho. Dia nggak takut aku perkosa anaknya? Atau aku rampok barang-barang berharga di rumah ini?
"Mbak Triana lagi bujuk anaknya, Gla. Aduh duh, aku kebelet banget. Please, Gla. Lo kan bilang pengen kenal sama orang-orang yang deket sama gue. Lo anggap dia juga keluarga."
Benar-benar nggak ada akhlak anak satu ini. Sepertinya, aku memang nggak boleh meremehkan otak Cacha. Karena dia pasti melakukan segala cara buat nggak mengenal anaknya Bu Ajeng.
Seakan belum cukup bikin naik darah, Cacha berbisik sebelum menuju kamar mandi, "Kalau mau nolong temen, jangan setengah-setengah, Sayangku."
Mau tau rasanya senjata makan tuan, Hooman? Sama kayak makan taik ayam.
Cacha sialan.
Setelah menerima arahan dari Bu Ajeng, aku akhirnya keluar dapur, menuju ruangan luas yang tadi dijadikan tempat berkumpul. Di sana, masih ada orang-orang yang ngobrol, ada yang makan, dan macam-macam. Sementara fokusku adalah tangga di tengah-tengah sana.
Ini keluarga memang ajaib. Bu Ajeng pun aneh bukan main, kenapa nggak dia aja yang jemput anaknya dari kamar alih-alih malah meminta orang asing? Hanya karena aku teman calon menantunya dia sudah sepercaya itu? Sama sekali nggak make sense. Atau, suruh aja ART-nya gitu.
Ini lagi rumah gede amat! Terlalu banyak pintu kamar di lantai 2.
Konsentrasi, Glara. Ayo.
Kamar keempat dari arah tangga. Sebelah kanan. Satu. Dua. Tiga. Empat. Oh ini kah? Nanti kalau Cacha jadi menikah dan tinggal di sini, aku suruh dia tulis nama di depan pintu. Bikin bingung aja.
Ketukan pertama, nggak dijawab. Kedua, sama aja. Masih hening juga. Ketiga, keempat, kelima. Aku sudah mulai frustasi. Kalau ketukan keenam ini nggak ada jawaban, aku tinggal.
"Ya."
Refleks, aku menggosok kedua telinga entah untuk apa. Suaranya kayak vokalis band. Ngomong 'ya' aja merdu sekali. Lah, kok pintunya nggak dibuka padahal dia sudah jawab. Apa artinya aku harus teriak dari luar? Atau masuk begitu saja?
"Masuk aja, Ma."
Ma? Mama maksudnya? Aku tertawa kecil, jadi dia tahunya yang ngetuk adalah mamanya? Siap deh, aku membuka gagang pintu, mendorongnya dan ...
"Astaga!" teriak kami bersama-sama.
Intonasiku jelas lebih tinggi, karena dia cuma berkata lirih, kemudian menatapku mengerikan. Sementara aktivitasnya mengerikan rambut dengan handuk terhenti. Tubuhnya masih berdiri tegak di samping ranjang.
Lo bakalan nyesel, Cha, buang pemandangan ini di setiap dia habis mandi.
Setekah sadar, aku mengelengkan kapala pelan, kembalu fokus. Dia sepertinya nggak akan ngomong.
"Saya diutus Bu Ajeng, buat manggil Bapak. Silakan turun ke bawah kalau sudah selesai. Cacha nggak bisa manggil karena dengan ajaibnya tiba-tiba dia sakit perut."
Kepalanya ngangguk. "Terima kasih," jawabnya. Singkat, padat dan tentu saja nggak jelas. Tangannya bergerak lagi menggosokkan handuk ke kepala.
Bentukan kayak gini kok bisa lo tolak sih, Cha, Cha. Orang ini kurangnya mungkin di jumlah kalimat.
Aku melirik sekitar, menemukan seragam pilot yang tergantung di stand hanger di pojok. Kemudian, ada satu bingkai besar yang berisi fotonya bersama orangtuanya. Lalu, ada lagi ...
"Ada tambahan lagi?"
"Oh enggak. Itu aja. Kalau begitu, saya permisi, Pak."
Apakah sebuah keharusan memanggil dia 'pak'? Tapi, kalau tiba-tiba jadi 'mas' atau 'bang' kacau juga. OH WAIT! Sesampainya di pintu, aku kembali menoleh ke belakang. Ini kesempatan bagus. Aku baru sadar kalau ini bukanlah senjata makan teman, tetapi umpan yang apik yang dilemparkan oleh Cacha.
"Bapak nerima perjodohan sama Cacha?"
Seketika badannya langsung berbalik cepat, menatapku sepuluh kali lebih tajam dari sebelumnya. Kalau mau aku bantu terjemahin, kurang lebih begini arti tatapannya: Who the hell are you?! Apa pertanyaan itu penting diajukan oleh orang asing?
Masalahnya, aku nggak boleh merusak kesempatan emas ini. Cacha jelas punya beragam senjata buat memenangkan semuanya. So, aku harus bergerak lebih cepat dari seharusnya. Kadang, improvisasi dalam sebuah misi itu perlu kok. Tergantung keadaan.
"Cacha bilang, Bapak mau, karena siapa yang bisa nolak seorang Cacha, gitu kalimatnya. Tapi, fyi, Cacha nggak mau sama Bapak." Jakunnya bergerak, Hooman, dia sepertinya menelan ludah kepedihan. Kasihan. "Dan info tambahan, saya tinggal bareng sama Cacha sejak kuliah."
"Tolong sampaikan ke mama saya, lima menit lagi saya ke bawah."
"Saya tahu betul, apa pikirannya dan gimana caranya meyakinkan dia."
"Terima kasih untuk niat baiknya, tapi---"
"Cacha udah siapin sejuta cara buat bikin perjodohan Bapak batal. Tapi, saya bisa bantu kalau Bapak mau." Mulutnya masih bungkam. Kutunggu, nggak kunjung bersuara, dan aku lumayan mulai putus asa. Karena orang sepertinya ini kelihatan susah banget dipengaruhi. Aku mengembuskan napas lelah. "Saya permisi dulu." Balik badan, mundur aja, Gla.
"Gimana caranya?"
Senyumku mengembang lebar. Yess! Aku buru-buru berdeham dan memasang muka profesional lagi supaya meyakinkan. "Tapi nggak untuk cuma-cuma." Well, mungkin dia bakalan berpikiran aku menjual teman.
Nope, ini kan disebutnya taktik. Berhasil atau tidak nantinya dalam membuat Cacha jatuh cinta, lelaki ini tetap harus berjuang dan berkorban untuk mendapatkannya. Nah, anggap saja aku adalah salah satu cara yang harus dia beli demi kesuksesan misi.
Eh tapi jangan deh, kasihan. Gini aja, aku akan kasih diskon khusus untuk orang tampan.
"Berapa?"
Aku mengangkat kedua tangan di depan dada, mengadu jari telunjuk. "Supaya adil, dan karena kebaikan hati saya, pembayaran kita diskusikan setelah berhasil. Menarik, bukan?"
"Kamu nggak merasa bersalah menjual temanmu untuk saya yang bahkan nggak kamu kenal?"
Bisa ngomong panjang ternyata! Alhamdulillah akhirnya nggak sia-sia.
"Konsepnya nggak begitu. Karena ini tetap tergantung Cacha mau atau enggak. Dan, mau atau enggaknya Cacha ditentukan oleh siapa Bapak. Jadi, tetap, penentunya adalah Bapak sendiri."
"Gimana kalau nggak berhasil?"
"Anggap aja Bapak dapat pelatihan gratis dari seorang pakar."
Dia kembali diam.
"Mau mundur?"
Kepalanya menggeleng. "Okay."
Aku mengulurkan tangan. "Kalau gitu, deal?" Melihat alisnya mengernyit tajam sambil bergantian melihat tanganku dan wajahku, aku tertawa pelan, menarik tangan kembali. "Bapak nggak mau bilang deal untuk kesepakatan kerjasama mega proyek ini?"
"Deal."
Cengiranku lebar banget rasanya. "Selamat bekerjasama, Bapak ..." Lah, siapa tadi namanya? "Bapak?"
"Ingga."
"Baik, Bapak Ingga. Semoga proyek ini sukses. Mari." Aku membungkukkan badan, berpamitan.
Namun, tiba-tiba dia bersuara lagi. Katanya, "Parama Pringgayudha. Mungkin kamu butuh itu untuk mengisi surat perjanjian."
See, Cacha sayangku, siap-siaplah jatuh cinta pada lelaki hot-tampan-irit-bicara ya! Sahabat lo ini, bukan sembarang sahabat. Karena gue, adalah Glara Gravita. Cewek yang diputusin karena terlalu pakar dalam beberapa hal tentang cinta.
Semoga aja itu bukan bualan mantan pacarku. Kalaupun sebelumnya adalah bualan, kali ini aku akan membuatnya menjadi nyata.
---
hufffttt. ikhirnyi iki bisi ipdit jigi. siningnyi dilim hiti. ini dii ribi limi ritis wirds gis, mintil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top