7


"Saya tidak ada maksud apapun atas sikap saya."

Surya memicing tajam kepada Aldira yang kini duduk di hadapannya, di meja ruang kerja pria itu. Otak jeniusnya masih mencari dan menerka apa yang membuat Aldira tiba-tiba beribah sikap kepadanya.

"Saya tidak percaya," tukasnya dengan wajah yang masih menaruh curiga. "Kamu tiba-tiba bersikap mesra kepada saya di depan anak-anak."

Aldira mengangkat bahunya santai. "Hanya gestur agar anak-anak tak lagi mengisukan perselingkuhan Bapak dari hubungan kita dan agar mereka percaya bahwa apa yang terjadi kepada kita tidak semua salah Bapak."

"Dan kamu meminta bonus untuk itu?"

"Tidak." Aldira menggeleng. "Saya tidak berpikir tentang bonus karena yang saat ini saya pikirkan adalah meminta maaf kepada Bapak atas sikap saya kemarin. Saya sadar, saya terlalu lancang sebagai pekerja Bapak. Saya menyadari bahwa kehidupan pribadi Bapak bukanlah ranah saya dan tanggung jawab saya. Tugas saya adalah memantau anak-anak dan mendiskusikan mereka terkait permintaan Bapak agar mereka bisa lebih mengenal ayahnya." Aldira tersenyum tulus. "Saya tidak akan memaksa Bapak melakukan hal yang tidak Bapak inginkan. Saya justru ... akan berusaha berada di sisi Bapak dan mendampingi hingga anak-anak bisa lebih dekat dengan Bapak."

Tatapan Surya berangsur lembut dan tak lagi menyorot curiga. Ia bersedekap dada sambil merebahkan punggungnya di kursi kerja dengan santai. "Saya maafkan kalau begitu." Surya bukan pendendam untuk masalah kecil seperti ini. Apalagi, melihat Aldira yang menyadari kesalahannya dan mulai meminta maaf dengan wajah sungguh-sungguh. "Kalau hanya itu alasan kamu bersikap seperti tadi dan menyadari kesalahanmu, saya rasa diskusi kita sudah cukup. Kembalilah ke kamarmu dan istirahatlah."

Surya beranjak dari kursi kerjanya, tetapi Aldira masih duduk dan tak bergerak sedikitpun.

"Saya—jika boleh, ingin—ehm ...."

Surya mengernyit. "Apa? Kasbon?"

"Bukan." Aldira menggeleng tegas. Ia lantas berdiri dari duduknya dan menatap Surya dengan sopan dan lembut. "Sebagai permohonan maaf saya kepada Bapak, saya bersedia mengatur segala hal yang Bapak butuhkan jika Bapak berkenan untuk menghabiskan akhir pekan dengan anak-anak. Saya tidak akan memaksa atau meminta Bapak untuk menjalankan rencana dan jadwal saya terkait anak-anak. Namun, saya merasa bahwa mungkin saja anak-anak butuh menghabiskan waktu akhir minggu dengan ayahnya di luar rumah. Tidak harus ke luar kota, kita bisa staycation di hotel Jakarta saja, asalkan Bapak dan anak-anak bisa memiliki waktu bersama."

Surya mengerjap lambat seraya menatap Aldira dengan pikiran yang menimbang ucapan baby sitter anak-anaknya.

Merasa ditatap seintens ini, Aldira jadi salah tingkah. "Saya—tidak memaksa. Jika Bapak lebih nyaman istirahat di rumah atau sudah memiliki agenda lain, saya tidak masalah." Aldira paham, agenda akhir minggu dengan perempuan bayaran mungkin sudah menjadi rutinitas yang tak bisa Surya tinggalkan. Bukan urusannya dan dia akan mencari cara agar anak-anak tak harus berasumsi yang bukan-bukan soal hubungannya. Mereka bisa saja curiga dan membongkar rahasia tentang kepura-puraan antara Surya dan Aldira. Toh, akhir minggunya bisa ia gunakan untuk istirahat di apartemen Cintya sambil mencari ide-ide untuk melancarkan pekerjaannya.

"Kamu ada rencana apa?"

"Maksud Bapak?" Aldira sedikit menelengkan kepalanya, mencerna maksud dari pertanyaan atasannya itu. Apa mungkin Surya mengira ia memiliki motif terselubung dan akan berencana memoroti uang pria itu? Menyadari mungkin saja pikirannya benar, Aldira lantas mendesah geli. "Bapak tidak perlu kuatir. Saya tidak akan meminta bonus secepat ini atau imbalan materi sebelum kinerja saya terlihat hasilnya. Saya juga tidak masalah jika tidak dibayar lembur padahal akan bekerja di akhir minggu." Aldira tertawa kecil, meski terdengar garing. "Ini murni keinginan saya untuk meminta maaf kepada Bapak. Setidaknya, saya tidak harus terus merasa bersalah atas kelancangan saya kemarin."

"Kamu ada rencana apa terkait liburan akhir minggu, Aldira? Itu yang saya maksud. Kamu mengajukan kegiatan ini, setidaknya sudah ada gambaran di pikiran kamu, bukan?" Surya mengulum bibirnya menahan tawa. Pekerjanya ini agak lucu. Baru ditanya begitu saja, sudah salah tingkah dan berpikir yang tidak-tidak.

"Ah ... saya pikir ...." Aldira menunduk seraya mengulum bibirnya dengan gestur malu-malu. Tanpa perempuan itu tahu, pergerakannya membuat Surya diam-diam tersenyum samar dengan tatapan yang intens dan dalam kepadanya. Ia mendongak dan menatap Surya. "Saya hanya memiliki ide untuk menghabiskan akhir minggu di hotel saja, sekitaran Jakarta. Kita bisa makan malam di luar dan paginya menikmati fasilitas hotel bersama. Untuk tempat, saya mengikuti keinginan Bapak. Saya rasa mungkin Bapak memiliki standar untuk tempat berakhir pekan."

Standar minimalnya mungkin hotel yang bisa menyediakan teman tidur dengan servis prima yang memuaskan. Jujur, Aldira tak mengetahui tentang fasilitas ini, karena selama menjadi asisten pribadi dulu, ia hanya memesan hotel untuk bosnya saat harus dinas luar kota.

"Saya tidak memiliki standar khusus. Selama cukup untuk anak-anak bersenang-senang, saya tidak masalah."

Aldira tersenyum semangat. "Dulu ... hotel mana saja yang pernah Bapak kunjungi bersama anak-anak?"

Surya menggeleng santai seraya tersenyum. "Tidak ada. Kami tidak pernah menghabiskan

akhir minggu bersama. Anak-anak memiliki agenda mereka sendiri pun dengan saya."

Menyedihkan. Kata itu langsung terlontar dalam hati Aldira saat mendengar jawaban Surya. Ia memang bukan orang kaya yang bisa melakukan perjalanan wisata kapanpun mereka inginkan. Ayahnya hanya seorang kurir perusahaan besar yang gajinya sangat minim. Namun, ayahnya selalu mengajak ia dan Alya untuk menikmati akhir minggu meski hanya ke pasar malam membeli batagor dan es teh sambil melihat pertunjukan topeng monyet.

Bahkan saat ia sudah kuliah dan adiknya beranjak remaja, ayah tetap mengajak mereka wisata meski hanya ke pinggir danau membeli es kelapa dan mie ayam atau ke kebun teh menikmati sate kelinci dua porsi untuk mereka bertiga. Lalu keluarga majikannya ini yang ia yakin mampu membeli tiket penerbangan ke antartika sekalipun, malah tidak pernah menghabiskan liburan bersama keluarga. Sungguh hidup memang kadang semengejutkan ini.

"Kamu kenapa melihat saya begitu, Aldira?"

Pertanyaan itu membuat Aldira terenyak lalu menata Surya sengan fokus. "Gimana, Pak?"

Surya menyeringai santai. "Kamu menatap saya seakan saya ini manusia paling miskin dan menderita. Tatapanku kepada saya tadi, saya tangkap sebagai prihatin dan iba. Asal kamu tahu, saya dan anak-anak belum pernah berakhir minggu bersama karena saya sibuk membesarkan bisnis saya dan mereka sibuk dengan hobi mereka. Saya bukan orangtua yang memaksa anak harus bersama saya. Saya membebaskan mereka menikmati kehidupan mereka selama masih dalam jalur yang benar."

Aldira mengibas tangannya. "Ah, saya tidak berpikir bergitu, Pak." Ia tertawa garing lagi. "Saya justru tiba-tiba teringat ayah saya dan apa saja yang dulu kami lakukan. Ternyata sangat banyak dan saya bisa mengulangi bersama Bapak dan anak-anak." Aldira setengah berdusta. Ia tak mungkin mengajak Surya Salim makan batagor di pasar malam sambil melihat topeng monyet atau duduk di lesehan pinggir danau dengan mie ayam gerobakan yang harganya tak sampai sepuluh ribu per mangkuk. "Bagaimana jika kita ke Ancol saja. Kita bisa menginap dua malam sejak Jumat sore hingga Minggu siang. Menikmati wahana di Dufan lalu berenang dan berkeliling kawasan wisata tersebut. Saya rasa apa yang ditawarkan di sana, bisa mengakomodir kebutuhan anak-anak dan mengakrabkan diri Bapak kepada mereka."

Satu alis Surya terangkat. "Cukup menarik. Apa kamu bisa mengatur itu semua? Ajak Bik Minah dan Pak Diman sekalian. Pesankan kamar untuk mereka juga. Saya akan berikan kartu kredit saya ke kamu untuk membayar semua yang kamu butuhkan nanti."

"Baik, Pak." Aldira tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat. "Saya akan menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk akhir minggu ini dan Bapak tidak harus membayar lembur saya karena ini saya lakukan sebagai permohonan maaf saya kepada Bapak."

"Atur saja." Surya membuang muka seraya tersenyum samar. Ia seperti terhipnotis oleh senyum aldira yang entah mengapa membuat hatinya ikut senang. Surya bahkan tak tahu untuk apa ia merasa sesenang ini. Apa iya hanya karena akan berlibur di hotel dua hari hatinya jadi mengembang begini atau karena ... tangan Aldira yang tiba-tiba menggenggam satu tangannya dengan kehangatan yang langsung menjalar ke hatinya melalui nadi dan aliran darah?

"Terima kasih, Pak Surya." Bahkan binar mata Aldira yang berkaca bahagia itu, membuat Surya seperti dialiri sesuatu yang menggetarkan jiwa.

Surya berdeham demi bisa menormalkan gemuruh yang sempat melanda hatinya. "Sama-sama. Jangan sungkan menghubungi saya jika kamu membutuhkan sesuatu." Dengan berat hati, Surya menarik tangannya dari genggaman Aldira. "Silakan istirahat, Aldira. Selamat malam." Ia tersenyum sekilas sebelum mengangguk lalu meninggalkan Aldira.

Tanpa perempuan muda itu tahu, saat Surya masuk ke dalam kamarnya dan duduk di pinggir ranjang, bibirnya melengkung sempurna, tertawa sendiri dengan lirih, lalu mengambil tablet dan membuka surel. Ia membuka kembali berkas yang dulu dikimkan Aldira saat ia melamar sebagai baby sitter dan tangannya memperbesar file pas foto Aldira yang tersenyum formal dengan rambur rapi tergerai.

"Aldira Kayana," ucapnya lirih seraya terus tersenyum.

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top