5.
Bab 5
"Kaisar sejak kecil memang sangat rentan. Tubuhnya mudah terserang sakit. Metabolisme tubuhnya tidak stabil dan ia memiliki alergi. Bapak Surya meminta saya menjelaskan perihal Kaisar kepada Mbak Aldira. Jadi ...."
Dokter umum yang siang tadi datang ke rumah Surya Salim, memberikan penjelasan panjang lebar tentang kondisi fisik Kaisar. Remaja yang tubuhnya sedikit gemuk itu ternyata sering jatuh sakit. Kebanyakan, faktornya akibat makanan dan pola hidup tidak sehat. Dokter sudah menyarankan agar Kaisar diberi pola makan dan istirahat yang baik dan ketat, tetapi pemuda itu tak pernah mengikuti.
"Bibik gak kurang-kurang siapin makanan sehat, Mbak, tapi ya itu ... susah banget atur selera makan Mas Kai." Bibik menjelaskan juga saat Aldira bertanya mengapa Kaisar tak pernah diberikan jadwal dan pola makan yang sehat. Pertanyaan itu juga menjawab mengapa kulkas besar yang ada di dapur rumah itu sebagian besar berisi makanan beku siap saji, alih-alih sayur dan buah. "Dia itu sukanya jajan. Sayur dan buah kurang suka. Buah pun dia cuma mau dua atau tiga jenis saja. Kalau pesan makanan, sukanya yang cepat saji. Pizza, burger, ayam tepung, makanan pedas-pedas, seblak, padahal dia tahu perutnya gak kuat dengan pedas dan soda. Mas Damian, tahu adiknya begitu juga cuek aja, gak pernah bantu Bibik larang dan kasih arahan ke Kaisar."
Aldira semula tak menyadari dan cenderung cuek saat banyak kurir makanan mengantar camilan pesanan Kaisar. Ia tak ingin terlalu ikut campur pada kegiatan remaja itu. Namun, mengetahui fakta kesahatan Kaisar yang sebenarnya tak bisa makan sembarang, Aldira jadi gemas ingin menegur keras anak itu.
Lalu Gio. Anak ketiga Surya yang ternyata sangat malas belajar. Bibik memberi informasi bahwa Gio nyaris tidak pernah mengerjakan tugas sekolah. Wali kelas Gio kerap menghubungi Surya tetapi tak begitu digubris karena Surya sudah terlampau sibuk bekerja.
"Gio tidak bodoh. Kata wali kelasnya saat Bibik ambil rapor semester awal dia, Gio selalu bisa mengikuti mata pelajaran di kelas. Dia pandai matematika dan Fisika. Dia hanya terlihat malas pada pelajaran seni dan bahasa. Guru-guru Gio sudah hapal kalau anak itu pasti tidak mengerjakan tugas sekolah di rumah, jadi dia dapat ancaman akan dihukum. Tapi ya gitu, tetap gak garap tugas dan pilih bolos sekolah."
Pantas saja Surya Salim tak menawar gaji yang Aldira minta. Permasalahan anak-anak pria itu ternyata cukup pelik dan membuatnya memijat pelipis. Ia tidak pernah jajan sembarangan seboros Kaisar dan semalas Gio dalam bersekolah. Baru ini ia melihat anak orang kaya yang tak bisa menghargai kenyamanan dan fasilitas mewah yang kehidupan beri kepadanya.
Mau jadi apa mereka sepuluh atau dua puluh tahun lagi jika gaya dan pola hidup mereka tak segera dibentuk dengan baik. Salah Surya juga yang terlalu cuek pada anaknya dan hubungan mereka yang benar-benar buruk. Belum lagi, tabiat Surya yang selalu membeli kepuasan seksual dengan perempuan yang berbeda.
"Mbak Aldira ... sejak kapan punya hubungan dengan Bapak? Apa Mbak tahu kalau Bapak ...."
"Ini salah saya," dusta Aldira dengan wajah yang ia buat pura-pura tegar. "Mas Surya meminta saya menemani akhir minggunya, tetapi saya menolak. Seharusnya saya ... ah, Bibik belum tahu bagaimana hubungan kami sebenarnya rumit." Bukan rumit, Aldira hanya belum memiliki scenario yang tepat untuk mengelabui pembantu rumah tangga itu.
Aldira bodo amat dengan Surya yang suka bermain-main dengan banyak perempuan. Ia tak peduli dengan hobi gila pria tua itu. Hanya saja, ia jadi kesulitan jika memainkan peran kekasih yang dihianati. Ini tidak lucu dan Aldira ingin bicara dengan Surya tentang ini secepatnya.
Enggan ditanyai lebih dalam oleh Bibik yang terus membuntutinya sampai siang ini, Aldira memutuskan izin ke kamar Kaisar untuk memantau perkembangan kesehatannya.
"Mulai besok, aku akan mengatur menu makananmu." Aldira langsung berucap saat masuk ke kamar Kaisar. Remaja itu sedang mengunyah mie lidi yang entah ia dapatkan dari mana. "Kamu sedanga batuk dan radang akibat soda dengan es di malam hari." Aldira langsung merebut mie lidi dari genggaman Kaisar dan membuangnya ke tempat sampah ruangan itu.
"Kembalikan punyaku!"
Aldira menggeleng. "Aku menyayangimu," ucapnya setengah dusta. Setengahnya lagi bisa jadi benar karena bagaimanapun Kaisar adalah sumber penghasilannya. "Kamu akan menjadi anakku saat aku dan daddymu menikah nanti." Ia memberanikan diri duduk di pinggir ranjang Kaisar. "Aku ingin kamu sehat dan kita menjalani hidup dengan bahagia. Kamu tahu, sakit itu tidak enak."
"Ucapanmu bullshit sekali, Aldira," tukas Kaisar. "Daddy bercinta dengan perempuan bayaran dan kamu masih saja mau dengan dia. Berapa yang Daddy beri kepadamu untuk menutupi boroknya? Dan kamu, mau menikah dan hidup bahagia dengan Daddy? Telan sendiri saja bualanmu itu."
Skakmat. Aldira tak memiliki kalimat untuk menjawab Kaisar. Ia menarik napas panjang demi bisa menemukan jawaban atas ucapan Kaisar. Ia mengambil ponsel yang tersimpan di kantung celananya, lalu membuka galeri.
"Oke, katakanlah mungkin suatu hari nanti aku dan Daddy berpisah. Kami mungkin saja menikah, mungkin juga tidak karena tidak semua hubungan kekasih berakhir di pelaminan. Hanya saja, aku ingin kamu hidup dengan sehat dan berumur panjang." Aldira menyodorkan ponselnya kepada Kaisar dan menunjukkan sebuah video yang sedang berputar. "Itu ayahku. Kedua kakinya hitam akibat gula darah dan ia tidak bisa banyak bergerak karena penyakitnya yang cukup berat. Setiap bulan, ia harus menjalani cuci darah agar bisa terus hidup dan sehat. Ya ... sehatnya hanya sebatas itu."
Kaisar memperhatikan video dengan saksama seraya mengernyit. "Apa ini benar ayahmu? Tempat tinggalnya jelek dan kumuh sekali."
Aldira tersenyum kecut. "Aku sedang berjuang. Aku ingin membuat hunian yang layak untuk ayahku yang sakit. Agar bisa mencapai impianku dan memiliki tenaga dalam perjuangan ini, aku harus sehat. Aku tidak boleh sakit agar bisa terus mengurus kalian dan mendapatkan uang dari daddymu."
"Daddy selingkuh di belakangmu. Aku melihatnya sendiri."
"Aku akan mengurusnya. Ini masalah kami dan akan kami selesaikan sendiri."
"Begitupun kesehatanku," jawab Kaisar santai dengan wajah sengak. "Ini urusanku dan biar aku yang menyelesaikannya sendiri."
"Oh, tidak bisa." Aldira menggeleng tegas. "Urusanmu menjadi urusanku juga, mulai sekarang, terutama masalah kesehatan."
"Aku yakin kamu pasti menyiksaku dengan sayur dan makanan tanpa rasa itu."
Aldira mengangkat bahu tak acuh. "Turuti aku atau aku akan meminta Daddy memotong uang jajanmu agar kamu tak bisa bebas menikmati makanan tidak sehat itu." Tanpa peduli dengan desisan Kaisar, Aldira beranjak dari kamar, lalu menuju kamar Gio.
*****
Langkah Surya terhenti saat mendapati baby sitter anaknya berdiri menyandar pintu kamarnya sambil bersedekap dada. Ia yakin, Aldira pasti tengah menunggunya entah meminta apa lagi. Ia berpikir, apakah pekerjanya ini bisa melihat jam berapa sekarang dan bagaimana lelahnya ia meeting seharian dan mengurus beberapa masalah? Bisakah perempuan ini mencari waktu yang tepat untuk bicara?
"Mau bicara di kamar?"
Aldira masih bersedekap dada seraya mengerjap dengan wajah masam. Tak perlu keahlian khusus untuk tahu bahwa perempuan ini sedang menahan satu emosi dan kecewa. "Boleh, jika kamar Bapak bisa meredam amarah yang sedang saya tahan sekuat tenaga."
Surya mengernyit, tetapi tak bicara apapun. Ia sungguh tak peduli dengan amarah yang karyawannya simpan, tetapi tak bisa menolak karena rahang Aldira terlihat menegang. Mungkin anak-anaknya berulah?
"Saya sudah katakan kepada kamu, jika memang tidak cocok dengan segala hal terkait pekerjaan kamu, kita bisa mengakhiri kerjasama ini." Surya yang sudah membuka pintu kamar, mempersilakan Aldira masuk ke ruang pribadinya. Jujur saja, selain Bik Minah, tidak ada yang pernah masuk kamar tidurnya, termasuk anak-anaknya. "Saya terbuka untuk pengajuan mundur kamu, daripada kita bekerja dengan rasa tidak nyaman satu sama lain."
"Saya tidak akan mundur." Tidak, karena Aldira sangat membutuhkan uang itu. Demi ayah dan adiknya, ia akan menempuh jalur apapun asal rumahnya bisa diperbaiki hingga menjadi layak huni. Ayahnya sudah menderita dengan penyakitnya, pun sang adik yang biaya kuliahnya terancam tak ada karena ayah mereka baru saja kena PHK akibat sakit yang diderita. "Saya ingin berdiskusi hingga ada kesepakatan, bagaimana caranya agak Bapak tidak lagi terlihat bersama perempuan bayaran."
Surya menelengkan kepalanya dengan satu alis terangkat. "Maaf, kamu bicara apa?"
Aldira mengembuskan napas panjang. Ia kesal dan tak menyukai kondisi ini. Bagaimana bisa Surya Salim yang katanya berusia empat puluhan, bermasalah dengan anak, memiliki kebiasaan buruk, masih saja terlihat tampan dan berkuasa. Jika tidak memikirkan adik dan ayahnya, Aldira mungkin saja sudah mundur melihat rekan kerja sekaligus bosnya ini tampak tak bisa diajak kerjasama. Terbukti, baru dua hari sejak mereka menyetujui kesepakatan itu, Surya sudah jajan lagi.
"Saya—kecewa kepada Bapak, tetapi saya tahu tidak berhak marah." Seharian ini, ia dilihat dan diperlakukan dengan iba oleh orang-orang di rumah. Mereka seakan kasihan dan prihatin mendapati kebodohannya dengan mau menjadi kekasih pria hidung belang. Ini semua mutlak karena Surya Salim yang kepergok masuk hotel bersama perempuan bayaran oleh dua anak kandungnya. "Kalau Bapak memang tidak bisa menahan kebutuhan biologis Bapak, mengapa tidak menikah saja? Mengapa harus melakukan hal—hal—asusila seperti itu dan merusak citra Bapak sendiri di depan anak-anak?"
"Urusannya denganmu apa, Aldira?" Surya Salim agaknya mulai geram. "Saya membayar kamu untuk mengurus anak-anak saya, bukan untuk mengatur kehidupan saya. Paham? Kalau kamu memang keberatan, silakan pergi dari rumah ini dan cari pekerjaan yang membuatmu nyaman."
Emosi Aldira perlahan menyusut, berganti ketakutan saat Surya melangkah tegap penuh emosi mendekatinya. Ia melangkah mundur perlahan hingga tanpa sadar membentur dinding dan takt ahu harus kemana lagi. Tangannya gemetar dengan jantung yang berpacu kencang. Seumur hidupnya bekerja, ia tak pernah membuat atasannya murka dan ia bingung kesalahan apa yang membuat Surya jadi tegang dan tersinggung begini.
Napas Aldira berhenti saat Surya mengungkungnya. Ia terhimpit antara dinding dan tubuh Surya yang masih memancarkan aroma parfum maskulinnya. Ia tak tahu apa yang terjadi kepadanya, yang jelas ia ingin menangis dan ada sebersit perasaan menyesal dan bersalah.
"Keluar dari rumah ini jika kamu tak mampu mengemban tugas yang saya beri. Jika masih berharap bisa melanjutkan kerjasama ini, pikirkan segala cara tanpa terus membebani saya dan mengatur hidup saya."
Aldira memejamkan mata, menoleh demi bisa menghindar dari deru napas Surya yang kini membelai wajahnya. Aroma kayu yang beraura misterius yang masih menguar dari tubuh pria itu membuat tubuh Aldira seperti tersengat sesuatu.
"Sa—saya minta maaf." Dengan perlahan, Aldira membebaskan diri dari kungkungan Surya Salim, lalu beranjak cepat keluar kamar itu.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top