3
Bab 3
"Saya—keberatan dengan gimmick fisik romantis yang Bapak lakukan terhadap saya." Aldira menatap Surya yang belum juga menandatangani surat perjanjian buatannya, padahal ini sudah tiga hari sejak malam ia memberikan surat itu kepada bosnya. "Bapak juga belum menandatangani pengajuan perjanjian yang saya berikan kepada Bapak."
Surya menatap Aldira dengan satu sudut bibir terangkat. "Itu sebabnya saya memanggil kamu ke ruang kerja saya sekarang. Kita harus membahas ini."
"Baik." Aldira mengangguk serius dengan wajah yang juga serius, meski gesturnya santai.
Akhirnya, setelah tiga hari merasa kesal karena Surya seperti tak acuh kepadanya. Pria itu bersikap seenaknya kepada dirinya. Saat makan malam, pria itu mencoba membuat obrolan singkat meski masih terasa kaku. Aldira yang tahu maksud Surya, mencoba mencairkan suasana dan membuat anak-anak itu memulai interaksi mereka meski sedikit. Lalu, setelah makan malam selesai, Surya akan mengucapkan selamat malam dan mencium pipinya dengan santai sebelum pergi ke ruang kerja atau kamarnya. Pria itu tidak akan keluar sampai larut malam dan tak membalas pesan atau panggilan Aldira. Terus saja begitu hingga tiga hari berjalan dan aldira mulai mengirimkan protes kepada bosnya.
"Jadi ... apa yang membuatmu keberatan?"
"Tentu saja banyak!" Aldira duduk tegap yang semula menyandar pada kursi. "Saya tidak suka Bapak melakukan kontak fisik kepada saya. Kita bukan kekasih sungguhan."
Surya menyeringai tipis, lalu mengangguk. "Kita bukan kekasih sungguhan tetapi apa yang tertulis pada surat pengajuan penjanjianmu itu membuat saya berpikir kita seperti kekasih sungguhan saja." Ia bersedekap dada. "Dengan Aldira, di sini saya yang membayar kamu dan sayalah yang berhak membuat perintah. Saya tidak suka kamu mengatur saya seperti poin-poin yang kamu sebutkan pada surat itu."
"Tapi saya memiliki alasan yang kuat," batah Aldira dengan tegas.
"Sebutkan." Surya melayangkan tangannya, membuat gestur mempersilakan Aldira mengutarakan pemikirannya. Ia ingin tahu seberapa dalam dan cerdas perempuan ini di matanya. Tak ada perempuan yang bisa seenaknya mengatur hidup dan kesehariannya. Aldira hanya perempuan yang ia bayar untuk mengurus dan mengawasi anak-anaknya, sekalian membuat hubungannya dengan tiga putranya itu jadi lebih dekat.
Aldira bergerak menyamankan duduknya seraya berdeham. "Saya—ingin membuat hubungan Bapak dan mereka menjadi lebih baik. Jauh lebih baik."
Surya mengangguk pelan.
"Saya melihat ada sesuatu hal yang secapa psikis mereka rasakan dan itu akibat tidak adanya kedekatan antara anak dan orangtua."
"Itu sebabnya saya membayar kamu mahal, Aldira."
Aldira mengangguk. "Itu sebabnya juga saya membuat pengajuan poin-poin itu," sanggahnya lembut dengan nada professional. "Saya ingin mereka merasa memiliki ayah. Kehadiran Bapak dibutuhkan lebih dari sekadar pemberi nafkah. Kewajiban Bapak lebih besar dari itu. Bapak harus memahami setiap watak dan sifat dari mereka. Impian mereka dan keinginan serta bantuan apa yang mereka harapkan dari Bapak. Perhatian, meski hanya secuil saja, saya yakin sangat berharga dan penting untuk mereka."
"Dan dasar itu membuatmu seenaknya mengatur saya?" Satu alis Surya terangkat dengan seringai yang terkesan sedikit meremehkan. "Seharusnya kamu bisa memiliki solusi yang tidak harus merepotkan saya."
"Tidak ada urusan anak yang merepotkan orangtuanya, Pak." Aldira memajukan tubuhnya, membuat wajah perempuan itu jauh lebih dekat dengan Surya. "Saat Bapak memutuskan memiliki anak, saat itulah Bapak memutuskan memberikan semua yang Bapak punya dalam hidup Bapak untuk mereka. Apapun itu, karena cinta orangtua pada anak adalah cinta mutlak yang tak pernah berbalas dan berhitung."
Surya tertegun. Ia seperti ditampar oleh kenyataan bahwa ialah yang secara sadar mempertahankan tiga putranya dan berjanji untuk merawat mereka seorang diri. Dendamnya akan terbalas sempurna jika mereka yang meninggalkannya dulu, melihatnya hidup layak dan bahagia bersama tiga anak itu. Hanya saja ...
"Jika saya harus memberikan semua cinta yang saya punya, mengorbankan semua untuk mereka, lalu siapa yang akan memberikan saya perhatian dan cinta?" Surya melayangkan kedua tangannya ke kanan dan kiri, membuat gestur tak memiliki ide tentang jawaban pertanyaannya. "Saya manusia, pria, memiliki kebutuhan psikis yang hanya bisa diberikan oleh perempuan, Aldira. Kamu pasti paham dengan apa yang saya maksud."
Aldira menelan ludahnya kelat. Ini yang sulit. Tabiat buruk sampai kapanpun tak akan pernah bisa berubah. "Bapak—bisa ...." Apa? Ia sendiri tidak tahu dan tak memiliki ide apapun jika soal kebutuhan biologis pria. "Maksud saya, itu urusan Bapak. Saya tidak memiliki tanggungjawab apapun terhadap itu sampai harus memikirkan solusi untuk Bapak."
"Tentu harus, Aldira." Surya kembali bersedekap dada, kali ini dengan hati sedikit senang mendapati pekerjanya mulai salah tingkah dan kebingungan. "Kamu yang memaksa saya untuk bermain peran kekasih. Lalu sekarang, kamu selayaknya kekasih sungguhan yang menuntut ini dan itu hingga meminta bonus dan hadiah di awal."
Wajah Aldira mulai pucat dengan rona merah.
"Di sini jadi seakan kamu yang mengatur dan mengawasi saya."
"Saya—tidak bermaksud begitu."
"Saya tahu, tetapi itu yang saya tangkap dari poin-poin yang kamu ajukan kepada saya," tukas Surya seraya beranjak dari duduknya.
"Lalu, apakah Bapak memiliki solusi yang mungkin bisa menguntungkan semua pihak?"
"Ada," jawab Surya seraya mengungkung Aldira dari sisi belakang kursi yang diduduki perempuan itu. "Saya akan memberikan enam poin yang kamu mau, termasuk bonus atau hadiah apapun yang kamu minta. Saya tidak masalah dengan itu. Saya paham, perempuan menyukai materi dan mereka selalu menuntut haknya. Hanya saja ..." Suara Surya serupa bisikan maut yang perlahan menembus gendang telinga Aldira. "Saya juga menginginkan bonus dan hadiah dari kamu. Kita harus mendapatkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, bukan?"
Tubuh aldira meremang. Ia seperti berada di rumah hantu dan tersekap di dalamnya. "Hadiah—apa?" Ini seperti bertransaksi dengan iblis. Ia harus menumbalkan sesuatu yang pastinya penting dan berharga demi meminta bantuan untuk mencapai keinginannya. Bulu kuduk sekitar lehernya seperti berdiri tegak dan jantungnya jumpalitan tak karuan.
"Kiss," bisikan itu serupa hal gaib yang membuat Aldira mati berdiri.
"A—apa?" Aldira bahkan menoleh dengan pelan, dengan gerak seakan lehernya terbuat dari besi dan ia adalah robot yang bergerak kaku.
Surya tersenyum penuh arti saat wajah mereka sangat dekat seperti ini. Aldira cantik alami, batinnya memuji. Perempuan ini tak memakai riasan berlebihan atau perawatan yang membuat wajah terlihat sempurna padahal bagi Surya sama saja. Perempuan ini beda dan satu sisi hati Surya seperti penasaran kepadanya. Namun, sepenasaran apapun, Surya tak akan sudi terperangkap pada pesona perempuan ini dan perempuan manapun yang mencoba menjeratnya.
"Jangan complain jika saya melakukan tindakan fisik yang kamu katakan tadi. Saya hanya ingin meyakinkan mereka kalau kamu sungguhan kekasih saya, Aldira. Saya tidak menghamili kamu. Saya hanya membuat gestur untuk meyakinkan mereka bahwa ada cinta diantara kita."
"Ma—maksudnya?"
Surya melepas rengkuhannya pada kursi yang diduduki Aldira, lalu berdiri di depan perempuan itu sambil sedekap dada. "Kamu boleh mengatur saya seperti seorang kekasih, tetapi saya boleh memperlakukan kamu seperti kekasih sungguhan. Kiss and hug. Kamu seharusnya bisa memberikan saya kompensasi itu."
Iya, tidak, iya, tidak. Aldira terdiam dengan banyak pikiran berkecamuk.
"Kalau kamu keberatan, sebaiknya kita sudahi saja kerjasama ini." Surya menepuk tangannya. "Sepertinya kita tidak bisa bekerja sama."
"Tidak bisa begitu!" Aldira sontak berdiri dengan wajah cemas. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini apalagi penghasilannya. "Oke. Hanya cium dan peluk. Tidak termasuk cium bibir dan tidur bersama."
"Tidur bersama diperbolehkan dalam keadaan tertentu."
"Tanpa—one night stand. Just sleep." Aldira seperti sesak napas saat mengatakan ini. Ia nyaris terbata dengan mata yang menyorot ketakutan.
Surya melangkah, memangkas jarak mereka. Ia merengkuh pinggang Aldira lalu menariknya hingga mereka melekat. Sebagai pria berpengalaman, ia tahu Aldira tengah ketakutan dan merasa terancam tetapi tak berani melakukan apapun karena ialah pemilik kuasanya. Ini yang Surya suka. Berkuasa penuh atas perempuan dan melihat mereka tertekan dan menderita oleh keadaan.
Desakan ekonomi. Surya tahu kondisi Aldira yang membuat perempuan itu menerima tawarannya. Seperti perempuan lain yang ia kenal, ekonomi dan gaya hiduplah yang membuat mereka tunduk kepada Surya dan mematuhi apapun yang ia inginkan. Dasar perempuan dan sifat matrealistis yang memperbudak mereka sendiri. Surya bersumpah, ialah yang akan menjadi rajanya dan membuat semua perempuan-perempuan itu bertekuk lutut.
"Deal, Sayang." Surya berbisik sensual di telinga Aldira, sebelum mendaratkan kecupan panjang di pipi perempuan itu. "Tidurlah. Selamat malam," lanjutnya seraya melepas rengkuhannya dan pergi dari ruang kerja, meninggalkan Aldira yang masih berdiri dengan sempoyongan, seakan kedua kakinya tak lagi bertulang.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top