BAB XXI

Aku mengikuti setiap langkah Kenan. Tadi, setelah acara lamaran dadakan selesai,  ia mengajakku untuk berdansa. Sontak ayah langsung menyuruhku untuk menerima tawarannya. Awalnya aku ingin menolak, untuk apa berdansa dengan pria yang baru kukenal? Namun, kepalaku malah mengangguk. Entah apa isi otakku ini.

Aku sudah seperti robot yang dikendalikan oleh Kenan, pria itu mampu membuatku menuruti semua perintahnya. Ia memiliki daya tarik tersendiri bagiku. Sudah kukatakan Kenan memang berbeda dengan kebanyakan pria lainnya.

"Maaf karena telah melamarmu tanpa membawa sebuah cincin," ucap Kenan dengan raut wajah yang terlihat bersalah.

"Tidak apa-apa, lamaranmu sangat mendadak bukan? Jadi, bukan salahmu," jawabku sambil terus menatap matanya.

Kini kami berhenti di sebuah sudut gedung yang agak jauh dari keramaian. Namun, lantunan melodi masih terdengar sampai sini, meskipun tidak senyaring di lantai dansa.

"Kenapa kau masih mematung seperti itu? Bukankah kita akan berdansa?" tanyanya. Aku sampai lupa kalau sudah menyetujui tawarannya untuk berdansa. Pesonanya itu yang membuat sebagian sarafku tidak dapat berfungsi normal. Terlebih senyumnya yang tidak pernah luntur.

"Kenan, aku tidak bisa berdansa," lirihku. Itu adalah fakta paling memalukan yang pernah kuungkap.

Malam ini adalah kali pertama seorang pria mengajakku berdansa dan pria itu, pria yang pertama kali pula melamarku. Rona merah bercampur keringat dingin sudah terpampang jelas di wajahku. Bagaimana ini? Apa dia akan menarik kata-katanya untuk menikahiku karena aku tidak bisa berdansa? Jika benar, Tuhan sedang berada di pihakku saat ini.

"Jika kau tidak bisa berdansa, kenapa kau menerima tawaranku tadi?" tanyanya, tidak ada kata kecewa atau kesal dalam ucapannya. Ia masih mempertahankan senyum di bibirnya. Astaga, benteng pertahananku mulai goyah jika harus terus menatapnya. "Aku hanya ingin mengenalmu, Nadin."

"Jika kau ingin mengenalku, untuk apa mengajakku berdansa? Kita bisa mengobrol di luar."

Ia terkekeh sebentar, "Ulurkan tanganmu!" titah Kenan membuatku mengerutkan kening berkali-kali. "Ayo! Aku tidak bisa membatalkan sesuatu yang telah mendapat persetujuan." Pria pemaksa yang sangat lembut, kurasa panggilan itu cocok untuk Kenan. Aku hendak mengulurkan tangan, tapi ia membuka mulut kembali, "Lepaskan high hells-mu!"

"Maksudmu?"

Kenan tidak menjawab, ia malah berjongkok di bawahku dan menyingkapkan bagian bawah gaun pink milikku. Ia membuka tali high hells yang melilit di kakiku dan membiarkan aku menginjak lantai dengan kaki yang polos. Perlakuannya sangat manis, tidak terburu-buru dan sangat lembut. Bodoh. Kenapa di saat seperti ini aku hanya bisa diam? Kenapa aku membiarkan pria yang satu jam yang lalu baru kukenal ini menyentuh kakiku?

Aku masih terdiam, keningku semakin mengkerut ketika dia juga melepaskan sepatu pentofel nya. Ia berdiri dan meraih pinggangku perlahan. Tubuhku menegang saat tangan kekar itu mengusap lembut pinggangku. Aku mati kutu atas perlakuannya. Otakku sendiri tidak bisa berpikir. Astaga! Mana Nadin yang angkuh?

"Kalungkan tanganmu di leherku!" Lagi-lagi aku menuruti perintahnya.

Dengan jarak yang sangat dekat, aku bisa melihat setiap lekuk wajah Kenan. Pria yang memiliki bola mata hitam, tapi begitu indah, membuatku ingin terus menatapnya. Bibir semerah apel, mungil, dan sangat... basah. Pipi tirus seputih susu, serta alis yang tidak begitu tebal dan tidak begitu tipis. Hidung yang mancung, walaupun tidak semancung orang-orang di Eropa.

Kenan mulai bergerak ke kanan, lalu ke kiri dan begitu seterusnya. Aku hanya mengikuti pergerakannya.

"Kau masih kuliah?" tanyanya. Aku hanya mengangguk, tanpa menghentikan pergerakan kami. "Apa aku harus menunggumu wisuda dulu untuk menikah?"

"Ya."

"Kapan kau wisuda?"

"Setelah skripsi selesai dan sidangku berhasil."

"Kau menyukai warna apa?"

"Hitam." Kulihat Kenan menautkan alisnya. "Aku suka kopi," lanjutku.

"Lain kali aku akan mengajakmu minum kopi di rumahku. Aku akan membuatkan kopi termanis untukmu."

"Aku tidak suka manis."

"Lalu?"

"Aku suka kopi tanpa gula!" Kenan terdiam, sesekali memejamkan mata menikmati alunan melodi yang menenangkan. Dansa macam apa ini? Sedari tadi gerakannya itu-itu saja.

"Angkat kakimu dan injak kakiku!" ucapnya, membuatku tidak mengerti. Karena tidak mendapat jawaban, ia mulai mendekatkan kakinya dan merayap hingga kakiku kini sudah di atas kakinya.

Kenan mendekatkan tubuhnya, menghapuskan jarak di antara tubuh kami. Hembusan napasnya mulai menyapa wajahku. Astaga, jantungku sudah ingin melompat karena perlakuannya saat ini.

"Apa yang tidak kau sukai?" tanya Kenan lagi. "Please, jangan bergerak! Hidungmu akan mengenai hidungku!" batinku berteriak. Aku tidak bisa lagi untuk bersikap biasa saja. Bahkan sedari tadi aku sudah menahan napas, tidak ingin agar napasku juga menyapa wajah Kenan.

"Aku, tidak menyukai rasa sakit!" ucapku susah payah. Kenan masih menggerakan kakinya ke kanan dan ke kiri. Tentu saja, membuatku bergerak bersamanya. Apa punggung kaki Kenan tidak merasa pegal karena menopang berat tubuhku?

"Jika kau merasa sakit, apa yang kaulakukan?" tanyanya kini sedikit pelan dari sebelumnya.

"Aku? Mmm... mungkin menjauhi penyebab rasa sakit itu."

Pergerakan Kenan terhenti. Sudah kupastikan detak jantungku tidak terkendali lagi. Pasti Kenan akan merasakan itu, mengingat tubuh kami saat ini sudah menempel.

"Ada apa?" tanyaku heran. Ia bungkam, tapi wajahnya mendekat. Hidung yang sudah aku antisipasi untuk tidak bersentuhan, kini sudah menempel, seperti lem dan perangko. Bodohnya lagi, mulutku malah terbuka, membuat Kenan berkali-kali menelan salivanya. Kulihat jakun Kenan berkali-kali naik turun. Ada apa dengannya?

Alunan melodi yang tadi mengiringi dansa kami terhenti. Seseorang di atas panggung sudah mulai menyapa para tamu. Kami jadi salah tingkah sendiri. Aku melepaskan tanganku yang berada di lengan Kenan, begitupun Kenan, ia juga melepaskan. Sial! Aku kehilangan keseimbangan. Aku tidak ingat kalau kakiku masih berada di atas kaki Kenan.

"Aaaa.... " Aku berteriak saat punggungku hampir menyentuh lantai, tapi tangan kekar Kenan dengan sigap menahannya. Tidak seperti drama-drama di televisi, pria itu langsung membantuku untuk berdiri tanpa adanya momen bertatap-tatap terlebih dahulu.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya setelah aku berdiri sempurna.

"Tidak." Aku langsung melihat ke arah panggung, di mana Kak Reza sedang mematung di sana. Aku berlari untuk mendekati panggung, meninggalkan Kenan dan... high hells-ku. Aku tidak peduli dengan kakiku yang bergesekan langsung dengan lantai. Aku hanya ingin mendengar perkataan Kak Reza dan menonton drama yang disutradarai olehku. Senyum sinis terpancar dari wajahku, berharap semua yang kurencanakan berjalan sebagaimana mestinya.

"Hadirin yang terhormat. Izinkan saya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata di sini." Kak Reza tampak menghela napas sebentar. "Saya ingin mengucapkan terima kasih pada ayah atas semua kasih sayangnya sejak saya kecil. Saya berterima kasih pada Bapak Anjas Pramudya, beliau telah mengubah hidup saya sedemikian rupa. Dia telah menyekolahkan saya dari mulai sekolah dasar hingga lulus dengan gelar Master di USA, saya tidak bisa mengganti jasa-jasa ayah. Maaf karena telah merepotkan, maaf telah membuat kalian merasa jauh dengan Nadin, maaf Nadin, saya telah membuat hidupmu menderita." Aku melihat ayah sebentar, ia terlihat bingung dengan arah pembicaraan Kak Reza. "Saya ingin mengakui satu hal, saya bukanlah anak dari Bapak Anjas Pramudya, saya adalah seorang bayi yang beliau pungut di panti asuhan 27 tahun yang lalu. Saya tidak tahu harus mengucapkan apalagi, saya membeberkan berita ini hanya untuk menghentikan penderitaan adik saya. Saya menyayanginya. Jika saja kejadian beberapa tahun lalu tidak terjadi, mungkin adik saya akan merasakan kasih sayang ayahnya. Maaf untuk semuanya!" Kak Reza langsung turun dari panggung dengan air mata yang berderai, ia tidak menghiraukan tatapan para tamu undangan tentang ucapannya. Mereka mulai menanggapi ucapan Kak Reza, di antara mereka ada yang menyinyir dan memaki. Anastasia menangis, sedangkan Om Herlambang memasang wajah yang kaget. Lalu ayah...

'PLAK'

"Maksudmu apa mengumumkan kebenaran ini pada semua orang?" murka ayah saat ia menghentikan langkah Kak Reza yang ingin keluar dari gedung. Pandangan para tamu kini tertuju pada pintu masuk di mana pertengkaran anak pungut dan ayah angkat sedang terjadi. Kak Reza memegangi pipi kanannya yang sedikit memerah akibat tamparan ayah.

"Aku hanya ingin membahagiakan adikku!" ucap kak reza membela diri.

"Kau memalukan!" bentak ayah sebelum ia berlalu meninggalkan Kak Reza yang masih diam membisu. Anastasia mengampiri Kak Reza sambil mengelus pundak suaminya itu, mencoba menenangkan.

Ayah marah pada Kak Reza, itu adalah tujuanku. Ayah benci pada Kak Reza, itu memang rencanaku. Kenyataan dengan harapan selurus jarum jam yang menunjukan pukul 6 bukan?

                                          ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top