BAB XVI

Aku menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku dengan cepat. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, sudah kupastikan aku akan terlambat ke kantor hari ini.

Dengan tergesa aku langsung memasuki kamar mandi dan mulai menyalakan shower. Air yang bercucuran dari atas perlahan membasahi tubuhku yang telanjang.

"Nadin, kau di dalam?" teriak seseorang dari luar kamar mandi. Aku rasa itu bukan suara ibu.

"Siapa?" teriakku.

"Kakakmu, aku menunggumu di bawah!"

"Aku akan dijemput Rafli, Kak!"

"Ya sudah aku akan ke kantor lebih dulu."

"Ya." Kudengar Kak Reza sudah tidak membalas teriakanku lagi. Ia pasti sudah mendahuluiku ke kantor. Lagipula untuk apa dia mengajakku ke kantor bersamanya? Apa dia ingin adu mulut lagi denganku? Atau ini karena ibu yang menyuruhnya? Entahlah aku tidak begitu memperdulikannya.

Acara mandiku sudah selesai. Kini aku keluar dengan menggunakan handuk yang melilit tubuhku sebatas dada. Aku melangkah mendekati lemari yang berada di samping meja rias dan mulai memilih pakaian untuk hari ini. Pilihanku tertuju pada kemeja berwarna hitam dengan lengan panjang dan rok sebatas lutut dengan warna senada.

Setelah selesai berpakaian, aku mematut diri di cermin. Rambutku yang kemarin agak keriting kini mulai lurus kembali akibat terbasuh air. Kukeringkan rambutku menggunakan pengering rambut. Lalu aku menyisirnya perlahan, tapi hasilnya sama saja, rambutku tetap lurus. Ah, mungkin rambutku harus melaksanakan perawatan lagi di salon agar kembali agak keriting.

Aku menyambar tas yang berada di atas nakas lalu melenggang meninggalkan kamar. Saat berpapasan dengan ibu, wanita itu hanya menggeleng melihatku.

"Kenapa kau menolak tawaran kakakmu?" tanyanya.

"Aku sudah dijemput Rafli, Bu, bye." Aku mengecup kening ibu sekilas lalu berlari ke pintu depan.

Kulihat Rafli telah rapi dengan kemeja warna putih dan dibalut oleh jas berwarna hitam. Ia mempesilakanku masuk. Aku hanya tersenyum tipis sebelum masuk ke mobilnya.

"Kau sudah sarapan?" tanyanya setelah duduk di jok kemudi.

"Sudah," jawabku. Aku berbohong padanya. Sungguh, sekarang aku sudah terlambat, aku tidak ingin ia mengajakku sarapan dulu di kafe atau restoran favoritnya, itu bisa membuatku malu pada karyawan di kantor, terlebih jika ayah mengetahui aku terlambat. Bisa-bisa jabatanku diambil alih lagi oleh Kak Reza.

Rafli tidak memperdulikan jawabanku barusan, sekarang ia mulai menginjak pedal gas dan melesat pergi meninggalkan pekarangan rumahku.

"Nadin, apa kau tahu sesuatu tentangku?" tanya Rafli dengan tatapan mengintimidasi.

"Iya, kau pernah tidur dengan kekasih orang lain," jawabku datar.

"Kau harus tahu, itu hanyalah kesalahpahaman," ucapnya dingin.

"Iya aku juga tahu."

"Bisakah kau menatapku saat kita bicara?"

"Bisakah kau fokus pada jalanan? Aku sudah sangat terlambat!"

Rafli hanya berdecih saat aku membalasnya dengan pertanyaan berbeda, tapi intonasinya sama.

"Jika kau tidak mau menikah denganku, aku akan membuat Liona menggugurkan kandungannya."

Damn! Pria ini mengancamku? Memang dia memiliki keberanian seperti apa?

"Silakan saja, aku tidak peduli," ucapku setenang mungkin. Aku tahu itu hanyalah umpan dan aku tidak akan menerimanya. Aku akan menjaga Liona jika memang benar ia akan membuat Liona menggugurkan kandungannya. Aku bisa saja mengubah ancaman itu menjadi 'Kau mau meninggalkanku atau aku akan membunuh Liona?' Karena aku yakin masih ada cinta di hati Rafli untuk Liona. Bagaimanapun dulu ia meninggalkan Liona untuk menyelamatkan anak dalam kandungan Rima. "Jauh di lubuk hatimu aku yakin kau masih menginginkan Liona. Sama halnya dengan Liona yang masih menginginkanmu."

"Apa maksudmu? Dia lebih mencintai Rangga dibanding aku!" Ia memukul stir mobilnya. Kemarahan sudah nampak di wajahnya.

"Kau sudah ditempatkan pada ruang khusus di hati Liona. Dia tidak mungkin mengijinkan orang lain menggantikan posisimu!" Rafli bungkam. Bukan tanpa alasan aku mengatakan hal ini pada Rafli. Satu hal yang kutahu, Liona masih mencintai Rafli. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana ia mengancamku untuk tidak mempermainkan Rafli saat itu. Aku tahu ia ingin melindungi Rafli dariku.

Rafli memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Nampaknya emosinya kini mulai memuncak. "Kau tidak tahu apapun, Nadin. Berhentilah bersikap seolah-olah kau ingin menyatukan lagi aku dengan Liona!" ucapnya sambil menatapku tajam.

"Memang apa yang tidak aku ketahui tentang sahabatku? Apa kau ingat saat aku mempertemukan kau dengan Arya di gerbang kantor saat itu? Kemudian kalian bertengkar di sana, apa kau tahu Liona hampir menangis saat melihat kau dipukuli oleh Arya? Aku sedang bersamanya saat itu, dan kau tahu perubahan Liona setelah melihatmu kembali? Bahkan dia sudah tidak layak untuk disebut manusia normal. Dia bisu saat itu, dia melakukan apa yang kuperintahkan, dia sudah seperti mayat hidup. Dia masih mencintaimu, Rafli, apa kau tidak mengerti juga?" Aku membentak Rafli, emosiku sudah mulai tidak bisa kukontrol lagi. Mungkin ini jalan keluar atas permasalahnku dengan Rafli. Mungkin dengan cara ini ia akan tersakiti, sesuai dengan rencanaku sejak awal. Aku bersyukur pada Liona, yang memudahkanku menjalankan semua rencanaku. Aku akan memperalatnya untuk masalahku dengan Rafli.

"Nadin... "

"Rafli, kumohon, aku tidak ingin menikah denganmu! Ibuku juga sudah mengetahui tentangmu, biarkan aku mencari pasanganku sendiri. Aku tidak merasa cocok denganmu!" Rafli kembali memukul stir mobilnya.

"Aku mencintaimu, Nadin."

"Ya, aku tahu, tapi aku sudah tidak percaya lagi pada cinta!"

"Lalu kenapa kau membiarkanku masuk ke dalam hidupmu saat itu? Kau membiarkanku mencintaimu dan sekarang kau menolakku mentah-mentah?"

"Karena rasa sakitmu adalah kebahagiaan untukku."

Aku sudah sangat sering meneguk air yang nyatanya tidak membuat kepahitan itu hilang. Hingga akhirnya kulempar gelas berisi kepahitan itu. Kulampiaskan semua kemarahanku pada gelas kaca yang tak berdosa. Akan ku buat ia hancur, seperti hatiku yang saat ini rapuh. Aku megibaratkanmu sebagai gelas kaca berisi kepahitan. Jika kau tersakiti aku akan merasa puas. Karena itu adalah tujuan awalku. Aku membenci kaum adam. Aku benci pada mereka yang hanya bisa membuat luka semakin menganga lebar. Aku sendiri bisa membuat kalian merasakan kesakitan itu. Sasaranku kali ini sudah merasakan itu. Kuharap luka itu akan terus menganga lebar.

"Kau adalah wanita kejam yang pernah kutemui," ucap Rafli.

"Kau bisa membunuhku kalau kau mau, tapi rasa sakitmu tidak akan pernah terobati," jawabku dengan senyum lebar menghiasi wajahku.

Ia mendekat ke arahku dan menangkup pipiku. "Jika aku tidak bisa menikahimu, aku akan memperkosamu saat ini juga," bisiknya di telingaku. Aku hanya terkekeh mendengar ucapannya. Kata-kata itu adalah kata-kata yang sudah basi. Aku sudah mendengarnya lebih dari sepuluh kali. Tentu saja kata-kata itu terlontar dari beberapa pria yang aku sakiti saat itu. Perlu Rafli tahu, aku sudah menyakiti beberapa pria satu tahun belakangan ini.

Rafli semakin mendekatkan wajahnya, tapi dengan gesit aku langsung menampar wajahnya dan memelintir tangannya ke belakang. "Aku tidak pernah takut pada pria sepertimu. Kau mau memperkosaku? Silakan kalau kau bisa, tapi sayangnya aku tidak begitu lemah untuk melakukan perlawanan terhadapmu!" Aku melepaskan tanganku yang berada pada tangan dan punggung Rafli lalu turun dari mobil, meninggalkan Rafli yang masih kesakitan.

Aku mengetahui satu hal tentangmu, Rafli. Kau adalah pria yang telah tersakiti oleh cinta dan akhirnya buta karena cinta. Kau mencintai Liona, tapi kau menginginkanku. Kau terpuruk atas meninggalnya Rima, tapi kau tidak bisa kembali pada Liona. Hingga aku, kaujadikan pelampiasan. Aku bukan wanita bodoh seperti apa yang kaubayangkan. Aku adalah Nadin, wanita kejam yang tidak memiliki hati.

***

Gimana? Mau lanjut apa udahan? 😕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top