BAB XIV

Aku telah selesai mengisi perutku yang keroncongan sejak tadi. Kini, aku tinggal menunggu kehadiran Anastasia. Katanya ia akan segera sampai ke sini dalam waktu sepuluh menit, tapi sudah dua puluh menit aku menunggunya dan ia belum juga menunjukan batang hidungnya.

Aku meraih ponselku di atas meja. Aku harus menanyakan keberadaannya sekarang.

Nadin : Kau di mana?

Setelah pesan terkirim, aku melihat dua orang wanita menghampiri mejaku. Mataku membulat sempurna ketika melihat siapa wanita itu.

"Maaf, Nadin. Aku terlambat," ucap Anastasia sembari duduk di sebelahku. Aku tersenyum sedikit padanya dan menatap heran pada wanita di sampingnya. Bagaimana dia bisa bersama Anastasia?

"Liona, bagaimana bisa kau bersamanya?" tanyaku sinis pada wanita yang datang bersama Anastasia. Ya, dia Liona, sahabatku yang buncit dan menyebalkan.

"Aku tidak sengaja bertemu dengannya tadi," jawab Liona sambil menyambar jus strawberry milikku. "Nadin, bayiku haus, aku minta ini, ya?" tanyanya sambil nyengir kuda. Kemudian tanpa jawaban dariku ia langsung menyeruput jus itu. Liona, kau memang tidak pernah berubah.

"Tadi aku bertemu dengannya saat di kantor, ternyata suaminya bekerja di kantor ayahku. Dia masih mengingatku, loh," kata Anastasia dengan antusias.

"Dan kebetulan saat aku menyapanya ia mengajakku makan siang, jadi aku di ajak olehnya ke sini. Aku tidak tahu kalau ia akan makan siang denganmu," timpal Liona. Aku hanya menaikan bahu menanggapi ucapannya. "Tenang saja, Nadin. Aku tidak akan membicarakan Rafli ataupun Arya," tegasnya.

"Hey, kau mengenal adikku?" tanya Anastasia dengan raut wajah tidak percaya.

"Maksudmu Arya? Dia adikmu?" tanya Liona, ekspresinya sama dengan Anastasia.

"Ya, Nadin tidak memberitahumu?" Anastasia menoleh ke arahku. Ah, sial kenapa aku merasa terpojokan sekarang.

"Dia tidak bertanya padaku, lagipula dia baru mengenal Arya kemarin," jawabku membela diri.

"Tanpa aku bertanya juga kau bisa memberitahuku, itupun jika kau memang niat," sindir Liona. Wanita itu memang menyebalkan. Astaga, kalau saja dia sedang tidak hamil, sudah kujambak rambutnya saat ini juga.

"Jika kalian memang sudah mengenal adikku, kapan-kapan aku akan mengajaknya makan malam dengan kalian. Kalian mau 'kan?" tanya Anastasia sambil menaikan alisnya agar aku dan Liona menyetujui usulannya. Namun, aku tidak minat dengan usulan itu. Aku hendak angkat suara, tapi aku kalah cepat dengan Liona.

"Kalian tahu 'kan jika aku ini sedang hamil? Jadi, suamiku mungkin tidak akan mengizinkanku," kata Liona dengan wajah yang dibuat seolah-olah tidak tega menolak tawaran Anastasia. Cih, dia pikir aku tidak tahu. Pasti Liona ingin menghindari kontak langsung dengan Arya. Ia pasti sudah tahu jika aku dan Arya memiliki rasa curiga padanya.

"Jika itu alasanmu, kau ajak saja suamimu. Aku juga akan mengajak Reza nantinya," ucap Anastasia. Kali ini Liona bungkam, sedetik kemudian ia melirikku. Aku mengerti lirikannya, pasti dia meminta tolong untuk menolak tawaran Anastasia tadi.

"Jadi ceritanya kalian akan double date? Dan nantinya aku akan kalian jadikan obat nyamuk? Aku tidak setuju dengan usulanmu, Anastasia," ucapku akhirnya, kulirik Liona tersenyum dan mengedipkan mata padaku. Setelah ini kau harus berterima kasih padaku, Liona.

"Kau bersama Arya, Nadin," timpal Anastasia. Wanita ini tidak berubah ternyata, ia tetap pemaksa.

"Kalian bisa bermesraan dengan suami kalian, sedangkan aku tidak bisa seperti kalian."

"Kenapa kau tidak berpacaran saja dengan Arya? Kurasa Arya menyukaimu, Nadin."

"Dia memang menyukaiku, tapi aku tidak."

"Mungkin kau belum menyukainya."

"Aku tidak akan pernah menyukainya, Anastasia." Wanita itu bungkam ketika mendengar nada suaraku yang mulai meninggi. Liona yang hanya melihat perdebatan kami akhirnya mencoba mencairkan suasana kembali.

"Kurasa bayiku lapar, bisa kita memesan makanan?" tanyanya dengan wajah yang dibuat sepolos mungkin.

"Tentu, kau boleh memesan apapun, wanita buncitku. Biar aku yang bayar, seperti biasanya," ucapku menanggapi pertanyaan Liona. "Kau akan memesan apa, Anastasia?" tanyaku pada Anastasia yang masih geming.

"Aku tidak memesan apapun. Aku harus kembali ke kantor," ucapnya.

"Kenapa cepat sekali, kau mau ke salon denganku bukan? Dan katanya ada yang ingin kaubicarakan? Kau juga harus ke rumahku untuk bertemu ibuku 'kan? " Aku mendesak Anastasia dengan berbagai pertanyaan. Kuharap ia tidak pulang hanya karena aku membentaknya. Persoalannya akan rumit jika ia mengatakan perbuatanku pada Kak Reza. Aku tidak ingin berdebat dengan kakak angkatku itu.

"Ya, baiklah. Kau akan memesan apa Liona? Aku akan memesan makanan yang sama denganmu," ucap Anastasia.

"Nadin, makanan yang enak di restoran ini apa?" tanya Liona sambil melihat-lihat daftar menu.

"Tadi aku memesan lobster yang dimasak... entahlah aku tidak tahu bagaimana restoran itu memasaknya. Tapi rasanya lebih enak dibandingkan dengan masakan di restoran dekat kantorku."

Setelah itu, Liona langsung memanggil pelayan restoran dan memesan makanan yang tadi kukatakan.

"Aku ingin kopi tanpa gula," ucapku pada pelayan yang sedang mencatat pesanan Liona. kemudian ia mengangguk dan melenggang pergi.

"Nadin, berhentilah meminum kopi," ucap Liona. Aku mengernyit, dia masih peduli padaku?

"Aku tidak ingin diceramahi olehmu lagi, Liona. Aku sudah bosan, kata-katamu selalu itu saja, kopi itu pahit, tidak enak, menjadikan kita lupa tidur dan blablabla. Aku suka kopi, Liona." Aku memalingkan wajah pada Liona. Kurasa ia akan mengerti atas sikapku kali ini. Aku tidak suka diatur oleh siapapun. Liona sudah beberapa kali mengingatkanku tentang dampak negatif meminum kopi, tapi aku tidak bisa meninggalkan kebiasaanku.

"Kau memang tidak pernah berubah, Nadin."

"Kenapa kau menyukai kopi tanpa gula, Nadin?" tanya Anastasia. Aku menatapnya lamat-lamat. Aku akan menceritakan satu hal kenapa aku menyukai kopi pada calon kakak iparku ini. Aku tidak peduli Liona akan mendengarkan atau tidak. Mungkin saja Liona sudah bosan mendengar penjelasanku tentang kopi, sama halnya aku yang bosan mendengarkan ceramahnya tentang dampak negatif kopi.

"Kopi itu pahit, ya aku tahu. Tapi apa kau tahu ada sesuatu yang lebih pahit dari kopi?" Anastasia menggeleng. "Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Itu sangat pahit, Anastasia, siapapun tak akan mampu menelannya." Aku mencoba mengontrol emosiku kali ini. Aku tidak mau ada salah kata yang membuat Anastasia mengetahui lebih dalam lagi tentang hidupku. "Aku hanya belajar pada rasa pahitnya kopi yang membuat siapapun akan ketergantungan. Aku mencoba hidup bersama kenyataan pahit itu. Sama halnya aku yang ketergantungan dengan kopi. Itu akan membuat kita terbiasa."

"Aku tidak mengerti ucapanmu, Nadin," ucap Anastasia.

"Kau tidak akan mengerti aku, Anastasia. Kau harus jadi aku dulu untuk mengetahui bagaimana caraku hidup."

Pelayan itu kembali lagi ke meja kami dengan membawa nampan berisi pesanan Liona dan Anastasia.

"Sebaiknya kita makan dahulu, dan biarkan Nadin meminum kopinya," ucap Liona. Lagi-lagi ia melerai kecanggungan di antara aku dan Anastasia. "Setelah ini aku harus ke rumah sakit untuk check up. Jadi, aku tidak bisa berbincang lebih lama lagi dengan kalian."

"Lain kali kita bisa berbincang lagi, Liona, tentunya bukan dengan kecanggungan dan ketegangan seperti sekarang," balas Anastasia, seperti sedang menyindirku. Ya, aku tahu semua kecanggungan dan ketegangan memang berasal dari ucapanku. Karena aku tidak terbiasa dengan keramaian dan perbincangan hangat. Aku bukan manusia yang pandai bergaul seperti Anastasia.

Liona tidak menimpali ucapan Anastasia. Mungkin ia sudah bosan dengan keadaan yang tidak normal seperti ini. Percakapan yang sama sekali tidak menarik, malah terkesan seperti perlombaan debat SMP. Ia sepertinya sudah jenuh dengan ucapan Anastasia yang terkesan lembut mendayu-dayu atau mungkin ia jenuh karena ucapanku yang kasar dan tidak menyenangkan. Ia lebih memilih untuk memberi makan bayi di dalam perutnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top