BAB XIII

Aku masih terdiam di sofa dengan mata yang terpejam, tapi aku masih terjaga. Pikiranku masih tertuju pada wanita bernama Sierra. Benarkah Kak Reza menyuruhku untuk membunuhnya? Sungguh itu adalah dosa besar. Aku malu pada Tuhan, jika aku membunuh Sierra hanya karena Kak Reza. Aku masih merasa takut pada neraka. Lagipula aku benci pada Kak Reza, jadi untuk apa aku menolongnya? Jika Kak Reza mengalami kehancuran, bukankah aku akan bahagia di atas penderitaannya?

Otakku benar-benar kacau. Aku tidak bisa berpikir. Astaga, ada apa denganku? Aku membuka kelopak mata dan segera bangkit ke arah balkon apartemen. Mungkin dengan sedikit bercerita pada angin aku akan merasa lega.

Saat kubuka pintu yang mengarah pada balkon, serta-merta angin langsung menerpa wajahku. Aku menghampiri pembatas yang terbuat dari besi dan menatap lurus ke depan.

Memoriku kembali berputar pada waktu di mana aku masih sangat belia. Ketika umurku hampir menginjak sepuluh tahun. Aku memiliki satu orang sahabat perempuan. Namanya Sierra Nisa Resfika, tapi aku lebih suka memanggilnya Erra. Ia adalah sahabat terbaikku, dia selalu ada saat aku kesepian. Kadang dia selalu menghiburku saat aku menangis. Sierra merupakan salah satu anak yang tidak memiliki ayah, ayahnya meninggal ketika ia masih berada dalam kandungan. Jika dibandingkan denganku, kupikir ia lebih beruntung dariku. Lihat aku! Aku memiliki seorang ayah yang membenciku, sedangkan Sierra yang tidak pernah melihat ayahnya dapat merasakan kasih sayang ayahnya. Walaupun ayahnya sudah berada di surga, tapi aku yakin ia pasti menyayangi anak sematawayangnya itu. Kadang aku berpikir, aku ingin menjadi Sierra, biarpun ia tidak pernah melihat ayahnya setidaknya ia tidak sakit hati.

Aku sering menginap di rumah Sierra yang kebetulan tidak jauh dari sekolah dasarku waktu itu. Aku selalu menunggu jemputan Mang Diman -supir pribadi ibu- di rumah Sierra. Sesekali aku tidak pulang karena betah bermain dengannya. Ibu tidak melarangku samasekali, ia percaya ibunya Sierra akan menjagaku. Ibu Sierra sangat baik padaku, ia juga pandai memasak. Aku suka sup iga buatannya, rasanya berbeda dengan buatan ibuku. Entahlah mungkin sup iga buatan ibuku dimasak asal saja hingga tidak seenak sup iga buatan ibunya Sierra.

Sierra sudah kuanggap saudaraku sendiri. Aku tumbuh besar bersamanya. Di saat aku menyesal karena keluargaku yang tidak seharmonis dulu, dia menawarkan diri untuk menjadi kakak perempuanku.

"Aku keluargamu, Nadin, kamu jangan sedih," kata Sierra saat itu. Kata-kata itu bagaikan obat penenang bagiku. Di saat ayah dan kakakku membenciku dia menggapai tanganku dan menguatkanku. Di saat keadaanku benar-benar kacau, dia menawarkan pundaknya untukku bersandar. Dia saudaraku yang terbaik, aku menyayanginya lebih dari apapun. Bahkan aku berani memberikan nyawaku padanya jika ia membutuhkannya. Aku rela berkorban demi dirinya, karena dia dengan sukarela telah berbagi kebahagiaan denganku.

Aku dengannya sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Aku mengagumi seorang pria saat SMP, begitupun dengannya. Masa-masa ketika itu sangat indah. Setiap hari aktifitas yang kulakukan dengannya adalah menguntit sang idola di kantin. Kadang aku ingin tertawa ketika mengingat hal itu.

Sierra dengan jurus centilnya tidak mampu membuat idolanya jatuh cinta padanya. Sedangkan aku dengan jurus pendiamku, mampu menarik perhatian idolaku. Aku hampir melompat-lompat saat surat misterius yang kuselipkan di loker milik pria itu dibalas olehnya.

Aku langsung menceritakan hal itu pada Sierra dan gadis itu malah merajuk. Katanya dia juga ingin sepertiku. Ia ingin idolanya meliriknya. Idolaku dengan Idolanya berbeda, loh. Idolaku jauh lebih tampan daripada idolanya.

Namun, aku tetaplah Nadin. Gadis yang tidak mampu jatuh cinta. Aku hanya mengagumi pria itu dan tidak berniat jatuh cinta di usiaku yang masih tiga belas tahun. Sierra saja yang serius menanggapi balasan surat dari idolaku. Sampai ia mengatakan pada idolaku kalau aku mencintainya. Itu adalah hal memalukan yang pernah kualami. Sungguh idolaku juga malah cengo ketika Sierra mengatakan hal itu. Ah, masa SMP memang paling lucu.

Walaupun Sierra sangat centil dan selalu berbuat seenaknya, aku tetap tidak malu saat membawanya ke kantin atau ke manapun aku pergi. Aku malah lebih kehilangannya saat ia pergi dariku. Aku sudah ketergantungan padanya, hingga apapun yang terjadi padaku, Sierra harus tahu. Aku memang tidak pernah menyimpan rahasia apapun padanya, pun sebaliknya.

Hingga insiden itu terjadi, tepat ketika aku dan dia mulai tumbuh dewasa. Tentu saja masa putih abu. Namun aku harus memiliki keberanian dulu untuk membuka lagi memori usang itu. Aku sudah menguburnya jauh di lubuk hatiku yang telah mati. Aku tidak akan sanggup untuk membukanya.

Aku melirik jam yang melingkar indah di tangan kiriku, sudah waktunya makan siang. Aku berniat meninggalkan balkon ketika sebuah pesan masuk pada ponselku. Aku langsung membuka pesan yang masuk.

Ibu : Tolong antar calon kakak iparmu ke salon hari ini. Ibu sedang sibuk.

Demi apa aku harus menemani Anastasia hari ini? Disaat perutku keroncongan dan pikiranku kacau seperti ini?

Nadin : Bu, aku sedang tidak enak badan.

Ibu : Kak Reza akan menjemputmu jika kau memang sakit. Ibu akan memintanya mengantarmu ke dokter.

Oh tidak! Aku tidak mungkin bertemu dengan Kak Reza saat pikiranku kacau. Aku takut kehilangan kendali jika nantinya aku berdebat dengannya. Mungkin aku harus menuruti perintah ibu sekarang.

Nadin : Mungkin pukul 2 aku akan ke rumah Anastasia, Bu. Saat ini aku masih di apartemen.

Aku menghubungi Anastasia terlebih dahulu untuk menemuiku di restoran dekat rumahnya. Aku akan ke sana sekarang untuk makan siang terlebih dahulu lalu mengantarnya ke salon.

Nadin : Anastasia, aku akan menunggumu di restoran dekat rumahmu.

Tak lama kemudian ia membalas

Anastasia : Sebenarnya aku bukan hanya ingin ke salon bersamamu, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.

Nadin : Iya aku akan menunggumu. Bye.

Anastasia : Jangan memberitahu Reza kalau aku bersamamu hari ini.

Cih, siapa juga yang ingin memberitahu Kak Reza? Aku sudah pusing memikirkan dirinya dan Sierra sejak tadi.

Aku menyambar tas yang berada di sofa. Aku terdiam sebentar, di mana kunci mobilku?

Ya Tuhan, aku ke apartemen bersama Kak Reza tadi, berarti mobilku dipakai Kak Reza untuk ke kantor. Ah, bagaimana bisa aku melupakan ini?

Terpaksa aku harus menggunakan taksi untuk sampai ke restoran itu. Ah, betapa bodohnya aku.

***

Saya orangnya gak tegaan 😂
Tetep aja update walaupun sedang marah 😅😅
Yaudah lah ya, toh gak ada gunanya saya marah-marah pada kalian -readers antara ada dan tiada- 😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top