BAB VIII
"Liona, di mana rumahmu?" Aku bertanya padanya, sedangkan konsentrasiku masih pada jalanan di depanku. "Liona? Kau dengar aku?" Liona tetep tidak menjawab. "Liona kau mau pulang atau tidak?" Aku menatap Liona dengan tatapan memohon. Aku ingin dia menjawabku, tidak membiarkanku bicara sendiri seperti ini. Namun, ia tak acuh dengan tatapanku, membuatku sangat geram. Aku semakin bingung dengan sikapnya. Mungkin Liona sedang memikirkan Rafli, pria yang katanya pernah ia cintai, atau mungkin sedang memikirkan suaminya yang sampai sekarang belum mencintainya. Sebenarnya aku tidak peduli dengan itu semua, hanya saja aku tahu wanita itu sedang hamil, aku hanya takut bayinya akan kenapa-kenapa akibat ia stres memikirkan perasaannya itu. Akhirnya, aku membawanya ke apartemen milikku, agar ia bisa bercerita banyak di sana, sehingga perasaan yang bercokol di hatinya itu sedikit membaik.
Setelah sampai di area apartemen, aku menaiki lift bersamanya untuk sampai di lantai 15. Ia tetap saja bungkam, tapi ia menuruti perintahku. Jika aku menyuruhnya jalan, ia akan berjalan. Saat aku menarik tangannya, ia juga tidak menolak. Oh Tuhan, Liona benar-benar seperti mayat hidup.
Pintu lift terbuka, aku segera menarik wanita buncit itu ke dalam apartemen. Aku menyuruhnya duduk di sofa, sedangkan aku akan membuatkannya teh. Selama aku berjalan ke dapur, tatapan Liona beralih padaku, tidak lagi menatap flatshoes-nya. Kupikir dia akan memanggilku, ternyata tidak.
"Liona, kau ingin teh manis atau teh tanpa gula?" teriakku dari arah dapur. Tidak ada jawaban. Akhirnya aku kembali menghampirinya, mungkin ia tidak mendengar teriakanku tadi.
Belum sempat aku bertanya lagi, ia sudah angkat suara "Aku ingin kopi tanpa gula," ucapnya datar. Aku sempat tercengang dengan jawabannya. Bukankah Liona tidak pernah menyukai kopi hitam pekat tanpa gula? Bahkan dulu ia sering memarahiku jika aku meminum kopi di hadapannya. Baginya kopi tanpa gula itu sangat tidak enak, pahit di lidah. Kini aku mulai merasa khawatir padanya.
"Sebenarnya ada apa, Liona? Tolong jelaskan tentang perasaanmu padaku!" Aku duduk di samping Liona dan tidak menuruti permintaannya untuk membuatkannya kopi.
"Aku mencintai pria sasaranmu itu dua tahun yang lalu. Aku dan dia hampir saja akan bertunangan. Dia menyakitiku dengan alasan kuno yang tentunya membuat rasa sakit itu muncul." Liona menunduk menyembunyikan kesedihan pada raut wajahnya. Aku tidak kaget saat dia mengatakan kebenaran bahwa Rafli sasaranku. Dia mengenalku, tentu saja dia sudah tahu keburukanku.
"Aku tahu alasannya meninggalkanmu, Liona."
"Ya, aku juga tahu. Dia mencintai Rima, wanita yang tidak lain adalah sahabatku sendiri."
"Rima? Aku tidak mengenalnya."
"Aku bersahabat dengannya saat kuliah dulu. Saat kau tidak ada di sampingku, saat kau berhenti sekolah dengan alasan yang tidak aku ketahui. Kau menghilang bagai tertelan bumi, meninggalkanku sendirian dengan keterpurukan." Liona menangis saat ini.
"Liona aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Tapi aku tersakiti saat itu. Rima, wanita itu, dia menggantikan posisimu lima tahun yang lalu. Dia sangat baik padaku, dia yang selalu menemaniku dan menghilangkan rasa sakit akibat dirimu itu."
"Maaf, Liona, aku memiliki alasan saat itu" lirihku.
"Aku tidak apa-apa, Nadin, rasa sakit itu telah hilang karena saat ini aku sudah bertemu denganmu, walaupun kau bukan Nadin yang kukenal tujuh tahun yang lalu. Kau wanita yang lain, kau bukan Nadinku."
"Aku memang bukan Nadinmu yang dulu, tapi kau tetap Lionaku."
"Rima menghianatiku, Nadin. Dia mencintai pria yang akan menjadi tunanganku." Aku memeluk Liona yang saat ini terisak. "Dan bodohnya Rafli juga mulai mencintainya. Aku benci mereka, Nadin."
"Berhentilah menangis. Aku takut bayimu akan merasa terguncang." Aku mengelus punggung Liona, mencoba menenangkannya agar tidak menangis.
Selanjutnya ia melepaskan pelukanku dan berhenti menangis. "Nadin, Tolong berhenti melukai para pria. Sudahi dendammu itu."
"Aku tidak bisa."
"Kalau kau tidak bisa, aku yang akan menghentikanmu."
"Tapi kenapa? Dulu kau tidak pernah melarangku melakukan ini, walaupun saat itu kau mengetahuinya."
"Karena aku tidak rela Rafli menjadi korbanmu kali ini."
"Dia orang yang telah menyakitimu, Liona. Buka matamu! Dia meninggalkanmu karena wanita lain. Dalam masalah ini kau tersakiti."
"Rasa sakit tidak harus dibalas dengan rasa sakit pula."
"Bodoh!" Aku memalingkan wajahku. Liona benar-benar bodoh. Rasa sakit itu harus dibalas dengan rasa sakit. Sama halya dengan rasa sakitku. Aku akan membalas rasa sakit itu dengan rasa sakit mereka yang telah menyakitiku.
"Aku akan pulang!"
"Mau kuantar?"
"Tidak. Kau harus memikirkan perkataanku barusan. Kau harus membuat pilihan. Kutunggu pesan darimu sampai tengah malam nanti." Ia meninggalkanku begitu saja dengan air mata yang berderai. Aku menyakitinya lagi.
Liona, wanita yang tersakiti oleh kepergianku. Andai saja ia tahu alasanku pergi, mungkin ia akan mengerti. Aku bukan Nadinnya lagi. Nadin yang baru saja menatap Liona adalah Nadin yang berbeda. Bahkan Liona sendiri menyadari hal itu. Lalu kenapa ia menyuruhku membuat pilihan? Sudah pasti pilihanku adalah tetap pada pendirianku. Tetap untuk menyakiti para pria bajingan yang hanya bisa menyakiti wanita.
Memang apa yang bisa Liona lakukan untuk menghentikanku? Dia hanya wanita lemah. Bahkan tadi saat ia melihat pria masa lalunya, ia langsung kehilangan kesadarannya, ia seperti mayat hidup yang bisa berjalan.
Jika aku melepaskan Rafli dari genggamanku, apa Liona akan melepaskam suaminya? Itu mustahil, sudah jelas ia sedang mengandung anak dari suaminya itu.
Silakan saja Liona mengancamku, aku akan tetap berada pada pendirianku. Aku akan tetap melanjutkan semua yang telah mereka mulai. Aku akan mengikuti alur yang telah dibuat olehku. Aku sudah berada pada tengah perjalanan. Aku tidak akan berhenti begitu saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top