BAB IX

Aku pulang dari kelas malam ini dengan perasaan kesal. Dosen itu ternyata ada keperluan mendadak, membuat para mahasiswa pulang dengan rasa kecewa karena tidak mendapat pelajaran dan harus membuat laporan tentang sistem ekonomi Indonesia. Bagiku tugas itu sangat mudah, hanya saja aku tidak berniat untuk mengerjakan tugas malam ini. Aku ingin memikirkan keputusan yang akan kuambil dari pilihan yang diberikan Liona.

"Nadin?" Aku menoleh mendapati Arya sedang mematung di sebelah mobilku.

"Hai. Kau ada kelas malam ini?" tanyaku. Sebenarnya aku heran dengan kedatangan Arya, karena yang kutahu pria itu tidak mengambil kelas malam.

"Aku ingin menemuimu saja. Tadi aku sempat mampir ke rumahmu, tapi kata ayahmu kau ada kelas malam ini, jadi aku menyusulmu ke sini."

"Aku tahu kau ingin marah padaku saat ini karena kau menjemputku tadi sore, sedangkan aku sendiri telah pergi ke kampus."

"Tidak apa-apa, aku tidak marah. Apa kita bisa bicara sebentar?"

"Boleh. Mau bicara di mana?"

"Aku akan tentukan tempatnya." Ia mengambil kunci mobilku dan langsung menyuruhku masuk.

Selama perjalanan Arya tidak mengajakku bicara. Ia sangat fokus pada jalanan yang agak macet. Sesekali ia menengok padaku, tapi dengan cepat ia memalingkan wajah lagi. Ada yang aneh dari pria ini.

Aku menengok ke arah kaca jendela, melihat beberapa pepohonan besar yang kulewati. Jalanan ini tampak asing, aku belum pernah melewati jalan ini sebelumnya. Aku tidak tahu Arya akan membawaku ke mana, tapi aku tidak khawatir sedikitpun. Arya tidak mungkin melukaiku di saat keadaannya benar-benar kacau. Aku bisa melihat tatapan Arya saat bicara padaku tadi, tatapan yang menyiratkan kesedihan. Mungkin Arya ingin berbagi kesedihannya denganku, bukan ingin membicarakan tentang kesalahanku yang tadi siang mempertemukannya dengan Rafli, sehingga mereka bertengkar.

"Kita telah sampai!" Dermaga? Mengapa Arya membawaku ke sini? "Silakan turun!" Namun, akhirnya aku menuruti perkataannya. Aku dan Arya keluar dari mobil dan langsung disambut oleh hembusan angin yang terasa dingin langsung menusuk kulit tanganku yang polos.

Arya mencekal tanganku dan membawaku ke arah pembatas dermaga. Aku berdiri di samping Arya. Pandangan Arya kini fokus pada ombak yang tenang. Pria itu diam, menikmati dinginnya angin yang menerpa wajahnya yang kini berderai air mata. Aku membiarkan Arya menangis, tidak berniat untuk mencari tahu apa penyebab ia menangis. Arya akan bercerita padaku jika ia telah siap.

"Wanitaku meninggal di sini dan katanya aku adalah penyebabnya," lirihnya tanpa menoleh ke arahku, tapi dengan sigap aku menoleh ke arahnya. Wanita mana yang dimaksud Arya? "Aku mencintainya, tapi dia mencintai yang bukan haknya," ucapnya kini menoleh padaku.

"Siapa wanita itu?" tanyaku.

"Rima."

"Bukankah dia kekasih Rafli?"

"Kau tahu dari mana?"

"Liona." Arya terdiam, seperti sedang mengingat sesuatu. "Dia temanku, kekasih Rafli," ucapku mengingatkannya.

"Itulah yang kumaksud. Rima mencintai pria milik orang lain."

"Jadi dia meninggalkanmu karena Rafli? Tapi kenapa Rafli yang marah padamu? Dia bilang kau yang merebut kekasihnya?"

"Aku hanya ingin mengambil hakku. Aku mencintainya dan dia juga mencintaiku. Saat dia berpaling dariku untuk orang lain yang tidak mencintainya, aku tidak akan membiarkan itu, Nadin. Aku tidak mau kekasihku terluka."

"Aku tidak mengerti Arya. Jika Rafli tidak mencintainya, untuk apa dia meninggalkan Liona?"

"Karena hakku telah diambil olehnya. Rima telah ternodai oleh pria itu yang menyebabkan wanitaku miliknya."

"Arya, tolong bicarakan sejelas mungkin, aku tidak bisa mencerna ucapanmu."

Arya menghadap ke arahku dan menatapku. "Kau cerdas, Nadin. Kau tidak mungkin tidak mengerti ucapanku." Aku benar-benar tidak bisa berpikir kali ini. Pikiranku ada pada pilihan yang diberikan Liona.

Arya kembali menghadap ke arah ombak yang meliuk-liuk. Arya benar-benar memaksaku untuk mengerti ucapannya tanpa ia jelaskan terlebih dahulu. Sial. Pria itu membuat pikiranku kacau.

"Apakah Rafli berbuat kesalahan dalam masalah itu?" tanyaku dan Arya mengangguk.

"Kesalahan yang tidak dia sadari."

"Apakah kesalahan Rafli juga yang menyebabkan Rima meninggalkanmu?" Lagi-lagi Arya mengangguk.

Aku berpikir keras saat ini. Aku mencoba memecahkan sendiri permasalahan mereka bertiga. Tentang Rima dan Rafli yang sama-sama terjerumus dalam sebuah kesalahan. Pasti itu sebuah kesalahan yang besar. Tidak mungkin masalah kecil menyebabkan semuanya berantakan. Tentang Liona dan Rafli, aku tahu Liona membenci Rafli atas alasan kuno yang diucapkan Rafli. Tentang Arya dan Rima, bukan karena tak ada cinta penyebab mereka berpisah, tapi sebuah kesalahan.

"Aku mengerti, Arya," ucapku membuat Arya menoleh dengan sigap.

"Apa yang kau mengerti?" tanyanya dingin.

"Sebuah kesalahan yang dibuat Rafli adalah menjadikan Rima haknya. Hak yang kau maksud itu sesuatu milikmu. Jadi, Rafli menjadikan Rima miliknya dengan cara bersetubuh dengannya." Arya tercengang.

"Ta...."

"Aku belum selesai bicara, Arya. Tolong diamlah!" Arya akhirnya mengatupkan mulutnya dan mendengarkan ucapanku selanjutnya. "Rafli melakukan kesalahan itu tanpa ia sadari, artinya ada seseorang di balik masalah kalian, yaitu orang yang dengan sengaja membuat mereka melakukan dosa itu. Seseorang yang iri atas cinta kau dan Rima atau cinta Rafli dan Liona. Orang itu mungkin saja dengan sengaja mencampurkan obat atau apapun itu pada minuman mereka yang membuat mereka melakukan dosa itu." Arya kembali tidak percaya dengan ucapanku, tapi aku tetap melanjutkan perkataanku. "Tentang Rima yang meninggalkanmu, dia sengaja. Dia tidak mungkin kembali padamu, setelah hakmu di rampas oleh Rafli. Lalu Rafli, dia meninggalkan Liona dengan cara yang sama dengan Rima, mungkin saja dia berpikir Liona akan marah atas perbuatannya."

"Nadin, cukup!" Arya terlihat lemas, kini ia terduduk sambil mengusap wajahnya gusar. Aku berjongkok agar bisa menatapnya.

"Ada apa? Aku belum selesai bicara."

"Rafli memang melakukan dosa itu di sebuah hotel, tempat semua teman Rafli dan Liona berpesta. Saat itu Liona berulang tahun. Rima diundang ke sana, tapi ia tidak memberitahuku karena aku sedang ada kelas. Rima menginap di sana, di kamar yang sama dengan Liona. Lalu paginya, Liona tidak ada, yang ada di sampingnya adalah Rafli."

"Dan alasan mereka meninggalkan kalian?"

"Kau benar, Nadin. Mereka tidak ingin aku dan Liona menerima kesalahan mereka."

"Satu lagi, Rafli menuduhmu membunuh Rima, karena menurutnya kau yang menghukum Rima atas kesalahannya. Padahal faktanya, kau yang hendak menolong Rima atas penyesalannya, kau meminta Rima untuk tidak bunuh diri di dermaga ini, tapi Rafli melihat hal sebaliknya."

Arya mendongak, "Aku tidak percaya pemikiranmu bisa sampai ke situ."

"Kau yang bilang jika aku cerdas bukan?"

"Kau memang cerdas, Nadin. Jadi, aku ingin memintamu untuk mencari tahu siapa penyebab Rafli dan Rima berbuat dosa dan siapa yang membuat Rima menyerah pada takdir. Karena yang aku tahu, Rima telah menyetujui untuk menikah dengan Rafli. Tapi pada hari pernikahannya itu, ia malah ke sini."

"Akan kulakukan, sekarang bangunlah! Ini sudah tengah malam, aku sudah mengantuk."

"Terima kasih, Nadin!" Aku hanya tersenyum dan mengulurkan tangan pada Arya agar ia bangkit dari duduknya.

Setelah sampai di mobil, aku mengirim pesan yang berisi keputusanku pada Liona.

Nadin : Aku tidak akan berhenti untuk menyakiti para pria, Liona.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top