BAB III

Suara gemercik air mengusik tidurku. Perlahan mataku terbuka dan langsung disambut oleh sinar matahari yang masuk lewat celah fentilasi udara. Aku mengerjap beberapa kali untuk membiasakan mataku pada sinar itu. Aku menggeliat, merenggangkan otot-otot yang kaku setelah tertidur semalam. Ibu sudah tidak ada di sampingku. Mungkin ia sudah berkutat di dapur.

Aku melangkah ke kamar mandi mengikuti suara gemercik air yang sejak tadi menggangguku. Ternyata suara gemercik itu berasal dari keran bath up. Aku mematikan keran itu karena airnya sudah mulai bergerombol keluar. Bath up itu sudah tidak bisa lagi menampung banyaknya air yang masuk. Aku mengunci pintu kamar mandi lalu melucuti semua pakaianku untuk membersihkan tubuh di dalam bath up yang sudah terisi air hangat itu. Mungkin ibu sudah mempersiapkannya untukku.

Jika aku kembali ke rumah ini, ibu pasti akan selalu menyiapkan air hangat untuk aku mandi. Namun aku tidak akan pernah tergiur untuk tinggal kembali di sini. Aku sudah menentukan pilihan saat lima tahun yang lalu dan aku tidak mungkin membatalkan keputusan yang telah kuambil.

"Nadin, kau di dalam?" teriak ibu dari luar kamar mandi.

"Ya, aku di dalam." Aku sudah selesai membersihkan tubuhku. Aku keluar dengan menggunakan handuk yang dililitkan sebatas dada.

"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil mengambil baju yang sedari tadi ibu genggam.

"Ayah dan kakakmu sudah ada di meja makan. Setelah kau siap, langsung menyusul ke sana ya?"

"Iya. Mmmm... ibu, kenapa aku harus memakai pakaian seperti ini?" Aku membentangkan kemeja lengan pendek beserta rok yang saat kupakai pasti di atas lututku.

"Kau harus ke kantor sayang. Sebagai calon CEO perusahaan, kau harus berpenampilan baik. Karyawanmu akan menghormatimu nantinya." Yang benar saja, bahkan aku hanya seorang akuntan di perusahaan ayah.

"Baiklah."

Setelah selesai merapikan rambutku, aku bergegas turun ke meja makan untuk mengisi perutku yang sudah meronta-ronta ingin diisi. Kemarin malam aku belum sempat makan karena mengantuk.

"Selamat pagi!" sapa ayah dengan senyum yang dibuat-buat. Cih, memangnya dia tidak tahu jika aku bisa membedakan mana senyum tulus dan mana senyum palsu.

"Pagi ayah!" balasku tanpa menyunggingkan senyum sedikitpun.

"Nadin, kau berangkat bersamaku," ucap Kak Reza masih dengan suara dan tatapan yang sama seperti kemarin.

"Mobilku masih ada di garasi bukan?" Itu terdengar bukan sebuah pertanyaan, tapi tanda menegaskan jika aku enggan berangkat bersamanya.

"Ini masih pagi, Nadin. Kau jangan membuatku marah!"

"Bukankah aku hanya bertanya?"

"Kaupikir aku bodoh? Kau menolakku tadi."

"Kau memang bodoh!"

Ibu menyimpan sendok di piring dengan agak keras membuat suara sendok yang bersentuhan dengan piring berbunyi nyaring.

"Nadin, ikutilah perkataan kakakmu," ucap ibu dengan seulas senyum. Senyum yang menyembunyikan amarahnya.

"Baik, ibu."

***

Aku berjalan tergesa-gesa. Kak Reza, pria bodoh itu menyuruhku mengantarkan secangkir jus alpukat ke ruangan kerjanya. Siapa sangka jika dia memiliki jabatan diatasku, manajer keuangan. Kata ayah aku harus menuruti semua perkataannya, karena ia memang atasanku di bagian keuangan. Namun saat ayah mengatakan itu, aku malah dianggapnya sebagai pembantunya lalu menyuruhku ini dan itu. Padahal ia sendiri memiliki sekretaris. Kenapa harus menyuruhku?

'Prang'

Suara nampan beserta gelas diatasnya itu terjatuh ke lantai. Aku sendiri terbentur ke tembok. Aku meringis menahan perih pada bahuku. Aku mendongak menatap pria seorang dengan wajah khawatirnya. Dia baru saja menabrakku tadi dan membuatku oleng.

"Maaf," ucapnya merasa bersalah.

"Ya, tidak apa-apa."

Aku melanjutkan langkahku, meninggalkan jus alpukat serta pecahan gelas itu berserakan di lantai. Aku tak peduli dengan kemarahan Kak Reza nantinya. Aku bukan pembantunya yang seenaknya disuruh olehnya. Biarkan saja ia kehausan karena jus alpukatnya yang tak kunjung diantarkan olehku.

Samar-samar kudengar suara pria itu memanggilku dengan mengucapkan kata 'hei' berkali-kali. Aku menoleh, ternyata ia mengikutiku sejak tadi.

"Ada apa?" tanyaku setelah aku memberhentikan langkah dan ia menghampiriku.

"Bisa kau tunjukan ruangan Pak Pramudya?"

"Tanyakan saja pada resepsionis di sana! Maaf aku sedang ada pekerjaan."

"Bukankah kau sekretarisnya?"

"Bukan!"

"Jadi kau siapa?"

"Aku hanya pegawai. Maaf aku harus bekerja!"

Aku melangkah kembali ke ruanganku, tapi pria itu masih saja mengikutiku. Aku tak risih samasekali. Aku tak peduli padanya.

Aku masuk ke ruanganku dan ia masih tetap setia mengikuti. Dia membuat kesalahan kali ini dan aku harus bertindak.

"Mari aku antarkan kau ke ruangan Pak Pramudya," ucapku, kemudian kembali keluar ruangan. Sekilas kulihat pria itu tersenyum.

"Coba sedari tadi kau menentukan pilihan, mungkin kakimu tidak akan lelah seperti itu."

"Aku terlambat memikirkannya. Jadi, lebih baik kau memakluminya." Pria itu terkekeh.

"Kau menggemaskan, aku menyukaimu."

"Kau pria keseratus yang mengucapkan kata itu padaku."

"Oh ya? Siapa orang yang pertama mengucapkan kata itu?"

Aku tertawa sejenak. "Kau menganggap ucapanku tadi serius ya?"

"Kupikir wanita memang selalu serius." Ia menaikan bahunya sebentar.

"Tapi aku tidak suka terlalu serius."

Aku mengetuk pintu ruangan ayah. Pria itu masih saja memperhatikanku.

"Masuk!" teriak ayah dari dalam ruangan. Mendengar itu aku langsung membuka pintu.

"Ada apa, Nadin? Ayah sedang bekerja."

"Tidak ayah. Pria ini ingin menemuimu, tapi dia tersesat malah masuk ke ruanganku." Aku melirik pria itu. Nampaknya pembalasanku atas ketidaksopanannya tadi setimpal. Ia sedang menahan malu sekarang. Kewibawaannya dan kegagahannya hilang seketika. Ingin rasanya aku menertawakannya sekarang.

"Kau putri Pak Pramudya?" ucapnya sedikit menurunkan intonasi bicaranya.

"Kaupikir aku pembantunya?" Pria itu mengernyit heran.

"Baiklah ayah aku akan kembali ke ruanganku, selamat bekerja ayah!" ucapku lalu pergi kembali ke ruanganku

***

Hujan yang turun sangat deras menghambat kepulanganku saat ini. Apalagi aku tak membawa mobil ke kantor. Dengan mudahnya Kak Reza mengatakan jika dia akan menjemput Anastasia, calon istrinya. Lalu dia memberikanku uang Lima ratus ribu untuk naik taksi. Hhhh, dia pikir aku tak memiliki uang? Bahkan bank yang aku titipkan uang saja sudah tak sanggup menampung uang milikku. Oke ini berlebihan. Dengan sangat ikhlas aku memberikan uang itu pada pengemis yang saat ini sama-sama berteduh denganku di halte.

Aku melihat mobil berwarna silver itu berhenti tepat di hadapanku. Sosok pria keluar dari dalamnya, kemudian menghampiriku.

"Aku menawarimu tumpangan," ucapnya sambil menggosok-gosokan kedua telapak tangannya.

"Aku tidak mau, kau belum menanyakan namaku," ucapku seperti yang sering kulakukan pada semua pria yang mendekatiku.

"Tapi aku sudah mengetahui namamu tadi saat ayahmu memanggilmu." Ya, dia pria yang aku permalukan tadi di depan ayahku.

"Tapi aku tak mengenalmu." Seperti biasa aku akan menolak dengan berbagai alasan yang aku punya. Aku lebih senang menolak permintaan siapapun, kecuali ibuku.

"Aku akan mengenalkan namaku setelah kau menaiki mobilku." Aku memutarkan bola mataku. Biasanya pria akan dengan senang hati mengenalkan namanya padaku, tapi dia malah bersikap seolah-olah aku yang membutuhkan tumpangannya. Padahal ia sendiri yang menawariku tadi.

"Baiklah." Aku hendak membuka pintu penumpang, tapi dengan cepat pria itu menggenggam tanganku.

"Kaupikir aku supir taksi hingga kau harus duduk di jok belakang?" Aku mengerti ucapannya. Ia segera membuka pintu depan dan mempersilakan aku masuk. Lalu ia memutari mobilnya dan mulai menyetir.

"Pak supir antarkan aku ke sini," ucapku sambil menyodorkan ponselku yang di layarnya telah terpampang alamat apartemenku.

"Hei, kau sungguh menganggapku supirmu?" Aku terkekeh ketika melihat raut wajahnya yang dibuat semarah mungkin.

"Kau lucu, aku membencimu." Aku tak henti-hentinya tertawa sambil memegangi perutku yang sedikit sakit. Sungguh, wajahnya sangat lucu saat marah seperti itu.

"Seharusnya kau mengatakan jika kau menyukaiku," ucapnya lalu memalingkan wajahnya ke samping kanan.

"Untuk apa aku mengatakan itu? Aku belum mengenalmu!"

"Namaku Rafli."

"Maaf ya, Bapak Rafli aku tidak pernah tertarik dengan kaummu," ucapku dengan menekankan kata bapak di kalimatku tadi.

"Aku akan membuatmu tertarik padaku." Ia menatapku tajam.

"Hey, jangan melotot seperti itu, aku takut bola matamu keluar," balasku sambil terkikik.

"Jangan terkikik seperti itu, aku akan tambah menyukaimu."

"Silakan saja. Aku tidak akan menyukaimu."

"Atau jangan-jangan kau lesbi?"

"Jika benar, apa masalahnya denganmu?"

"Ah, tidak ada. Sampaikan salamku pada ayahmu," ucapnya ketika mobilnya terhenti di rumah mewah milikku. Eh, rumah? Bukankah aku menyuruhnya mengatarku ke apartemen? Dasar pria menyebalkan.

"Aku tidak mau turun."

"Baiklah aku akan membawamu ke rumahku."

Dengan sangat terpaksa aku turun dari mobilnya. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Ia membalas, tak lupa tersenyum. Aku melangkah memasuki rumah. Kulihat ayah sedang duduk di ruang tamu bersama Kak Reza. Mereka sedang bermain catur.

"Bagaimana pendapatmu tentang Rafli?" tanyanya. Kurasa pertanyaan itu ditujukan untukku.

"Dia baik."

"Kau menyukainya?"

"Tidak."

Aku melangkah menuju kamarku di lantai dua. Sudah kuduga, pasti ayah yang menyuruh Rafli menjemputku tadi.

"Selamat sore ibu!"Ibu sedang memasukan baju yang baru dibelinya ke dalam lemari milikku.

"Bagaimana kencanmu dengan Rafli?"

"Ibu menyuruhnya kencan denganku ya? Aku tidak kencan dengannya, Bu."

"Bagaimana menurutmu, Rafli pria idamanmu bukan?"

"Tidak."

"Dia putra Wijaya."

"Aku tidak menanyakan siapa ayahnya."

"Terserah kau saja. Kalau pilihanmu jatuh pada Rafli, ibu akan setuju."

"Ibu.... " Aku merengek seperti anak kecil.

"Nadin.... "

"Aku lelah."

"Mandi dulu, ibu sudah menyiapkan air hangat untukmu. Pakaianmu sudah ada di dalam lemari."

"Terima kasih, Ibu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top