BAB I
Aku menyeruput kopi hitam pada bibir cangkir sambil menatap seorang pria tua di hadapanku. Aku menikmati cairan hitam pekat itu sampai ke kerongkonganku. Rasa hangatnya mampu menenangkan pikiranku dalam beberapa saat. Kopi tanpa gula, tapi masih terasa manis di lidahku. Aku menyapu sebagian bibirku, menghilangkan sisa kopi yang masih menempel di sana.
"Jadi, Ayah ingin aku melakukan apa?" tanyaku sambil menaruh cangkir berwarna putih polos itu di meja.
Ya, pria itu Ayahku, beliau bernama lengkap Anjas Pramudya, tapi lebih dikenal dengan nama Pramudya. Seorang CEO perusahaan terbesar di Indonesia. Banyak perusahaan cabang miliknya di berbagai penjuru kota. Sebagai anaknya, aku cukup bangga dengan keberhasilan Ayah, tapi sedikitpun aku enggan untuk ikut terlibat di salah satu perusahaannya. Aku masih kuliah di semester akhir dan aku ingin bekerja atas kerja kerasku, bukan karena pemberian dari Ayah.
"Ayah ingin kamu memimpin perusahaan Ayah," ujarnya dengan tatapan memohon padaku.
Sudah kukatakan tadi, jika aku enggan terlibat. Sekarang Ayah memintaku? Aku harus memiliki berbagai alasan untuk menolak ini.
"Aku masih kuliah, Yah," jawabku. Ayah mendengus kesal. Aku tahu ia telah lelah membujukku untuk memimpin perusahaannya.
"Tahun ini kau akan wisuda 'kan?"
"Mengapa kau tidak menyuruh Kak Reza untuk memimpin perusahaanmu?" tanyaku dengan tatapan meminta penjelasan.
Kak Reza adalah kakak angkatku. Ayahku memungutnya dari panti asuhan karena Ayah dan Ibuku tak kunjung memiliki anak saat itu. Namun siapa sangka, Ayah jauh lebih menyayanginya daripada diriku. Ia lebih memprioritaskan Kak Reza, sedang aku? Jangan tanya aku dijadikan nomor berapa. Aku rasa Ayah memang tak pernah menganggapku ada.
"Nadin, kau sendiri tahu jika dia bukan anak kandung Ayah. Kau anak kandung Ayah dan kau berhak menjadi pewaris kekayaan Ayah." Ayah menggenggam tanganku erat. Aku merasa risih dengan sikapnya kali ini.
"Tapi aku tidak bisa." Aku menarik tanganku yang digenggamnya.
"Ayah tahu kau belum memiliki pengalaman untuk memimpin perusahaan, tapi Ayah yakin kau bisa. Kau cerdas."
Bahkan ini pertama kalinya Ayah mengatakan kalau aku cerdas. Dulu Ayah selalu memuji Kak Reza saat ia menjuarai sains tingkat Nasional, dan saat aku menjuarai sains tingkat Internasional, sedikit pun ia tidak memujiku.
"Tapi aku tidak menginginkan perusahaan Ayah." Aku bersikukuh untuk tetap menolak permintaannya.
"Ayah tahu kau ingin bekerja di sebuah perusahaan dengan hasil kerja kerasmu saat kuliah. Ayah akan terima itu, Ayah akan menerimamu magang dahulu di perusahaan ayah. Ayah akan menempatkanmu di bagian keuangan, sesuai dengan pilihanmu saat kuliah. Ayah akan jadikan kau akuntan di perusahaan Ayah, bukan jadi sekretaris, bagaimana?"
Aku berpikir sejenak. Akuntan memang lebih rendah jabatannya dibanding sekretaris CEO. Ruangannya pun pasti tidak seluas ruangan sekretaris, dan tentu saja tidak bersebelahan dengan ruangan CEO. Tawarannya juga magang, bukan berarti aku mengabdi di perusahaan itu sebagai pegawai tetap.
"Kapan aku mulai magang di sana?" Aku sudah mengambil keputusan saat ini. Aku akan magang di perusahaan itu.
"Besok." Aku mengangguk lalu kembali menyeruput kopi yang sudah hampir dingin.
"Bagaimana kabar Ibu?" tanyaku basa-basi. Sebenarnya aku merindukannya, aku merindukan pelukan hangat Ibu setiap aku tidur. Aku rindu disuapi olehnya. Aku rindu Ibu yang selalu menasehatiku. Dia adalah satu-satunya orang yang menyayangiku dan tentu dia menganggap aku anaknya. Bahkan aku adalah anak kesayangannya, yang lahir dari dalam perutnya 21 tahun yang lalu.
"Dia baik. Sekarang ia sedang menjemput Reza di bandara. Sebentar lagi mereka akan menuju ke sini."
Aku ingin Ibu menemui aku dan ayah sendirian, tidak dengan Kak Reza yang baru pulang dari USA itu. Aku benci melihat wajahnya. Aku benci ucapannya yang selalu menyobongkan diri hanya karena ingin mendapat pujian dari Ayah dan Ibuku.
"Untuk apa Kak Reza pulang?" tanyaku sedikit sinis.
"Dia akan menikah."
"Dengan siapa?"
"Anastasia, putri dari Herlambang."
Aku mengenal nama yang disebutkan Ayah tadi. Ia merupakan partner kerja Ayahku. Pasti Ayah yang menjodohkan Kak Reza dengan putri Om Herlambang. Mereka pasti memanfaatkan Kak Reza untuk keuntungan bisnis mereka. Dalam hati aku tertawa, betapa bodohnya Kak Reza.
Aku melihat ke arah pintu kafe yang terbuka. Kulihat sosok yang aku rindukan itu menghampiri meja yang ditempatiku dan ayah sejak tadi. Aku berdiri lalu membentangkan tanganku, hendak menerima pelukan Ibu.
"Aku merindukanmu, Ibu." Aku memeluk tubuh Ibu dengan erat. Perlahan Ibu mengelus rambutku. Aku sangat nyaman saat ini.
"Ibu juga merindukanmu," Ibu melepaskan pelukannya lalu mencium keningku sekilas.
Aku menoleh ke arah Ayah yang saat ini sedang memeluk Kak Reza. Padahal tadi saat aku bertemu dengannya, ia tak memelukku sama sekali. Kak Reza memang anak kesayangan ayah.
"Nadin, tinggal sama Ibu lagi, ya," ucap Ibu sambil menggenggam tanganku erat. Aku tidak suka ibu memohon padaku, tapi aku tidak bisa pulang ke rumah. Apa lagi sekarang Kak Reza sudah pulang. Akan berakibat buruk nantinya jika aku serumah dengannya. Lagipula aku sudah cukup nyaman tinggal sendirian di apartemen pemberian Ayah. Aku sudah terbiasa dengan kesendirian dan kesunyian.
Lima tahun yang lalu aku memutuskan untuk tinggal sendiri. Perdebatan Ayah dan Ibu yang mempermasalahkan Kak Rezalah penyebab kepergianku. Aku tidak ingin Ibu dipukuli oleh ayah karena ia membelaku. Aku tidak mau kehadiranku menyakiti Ibu. Sudah cukup aku tersakiti di rumah itu karena Kak Reza yang selalu dimanja. Maka dari itu kepergianku akan memperbaiki semuanya.
"Aku nyaman tinggal di apartemen, Bu. Kalau di rumah suka kesepian soalnya Ibu selalu menemani ayah bekerja. Kalau di apartemen aku selalu ditemani Liona." Aku berbohong. Liona temanku saat SMA, dia wisuda lebih dulu dibanding aku. Saat itu aku sempat berhenti sekolah karena sebuah alasan. Alhasil saat ini Liona sudah sukses. Dia juga telah menikah, mana mungkin dia menemaniku.
"Kau memang keras kepala. Jadi bagaimana tawaran Ayahmu? Tidak kau tolak, kan?" Sudah kuduga, ayah pasti dipaksa oleh ibu untuk menggantikannya memimpin perusahaan. Pasti sebelum mengambil keputusan itu, mereka berdebat terlebih dahulu. Karena Ayah pasti akan meminta Kak Reza untuk menggantikannya. Bagaimanapun Ayah tetap menginginkan anak berkelamin laki-laki untuk menjadi pewarisnya, bukan seperti aku.
"Tidak, Ibu." Suara itu berasal dari mulut Ayahku. Pasti ia sudah tahu jawabanku. Ayah juga pasti menutupi kenyataan bahwa aku hanya magang di perusahaannya.
Aku menatap Kak Reza sekilas, sejak tadi ia hanya diam tak bersuara. Ia hanya menyimak pembicaraan aku dan kedua orang tuaku. Atau mungkin dia lelah untuk berdebat denganku? Entahlah aku tak peduli.
"Malam nanti kau datang ya!"
"Ke mana, Bu?"
"Ke rumah. Malam nanti akan ada acara pertunangan kakakmu." Aku tidak memiliki gairah untuk menghadiri acara pertunangan kakak angkatku ini.
"Aku tidak bisa, Ibu." Sepertinya ucapanku telah membuat Ibu kecewa.
"Kau senang membuat Ibumu selalu memohon seperti itu padamu?" Tanya Kak Reza datar disertai tatapannya yang dingin.
"Jika aku tidak hadir dalam acaramu, acara itu tidak akan batal, kan? Lanjutkan saja acara pertunanganmu itu, toh aku tidak penting sama sekali."
"Bisa tidak kau menuruti Ibumu saja, anggap kau sedang membahagiakan dia. Jangan berpikir itu acaraku jadi kau seenaknya menolak undangan Ibumu." Kak Reza sepertinya marah. Aku tahu ia juga menyayangi Ibuku, walaupun kasih sayang Ibu jauh lebih besar untukku. Maka ia marah jika aku memperlakukan Ibu seperti tadi. Aku tidak boleh egois.
"Baiklah demi ibu."
Hening. Setelah itu tidak ada lagi yang membuka suara. Mereka diam dengan pikiran masing-masing. Termasuk aku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top