Because Mencinta (lima)
ALI Pov
Aku dan Prilly mengambil resiko terberat dalam hidup yang memang mau tak mau kami ambil. Berpisah dan terasing dari keluarga bahkan tak diakui sebagai bagian dari keluarga kami masing - masing.
Saat ini kami berada disebuah mobil kijang Innova, naik travel perjalanan menuju sebuah kota kecil dimana Om Wendy adik dari Ayahnya Prilly tinggal, yang berjarak empat jam dari kota asal kami. Prilly yang mempunyai ide untuk datang ke Om-nya karna Prilly perlu wali untuk menikah. Ya, kami memutuskan untuk segera menikah dan hidup bersama.
Aku sudah mencari informasi Mengenai syarat wali nikah, wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan . Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
Dan karena satu atau lain alasan jika orang tua, dalam hal ini ayah Prilly , tidak bisa atau tidak mau menjadi wali nikah, maka dimungkinkan untuk meminta kerabat yang lain yang memenuhi syarat untuk menjadi wali nikah. Itulah sebabnya kami mendatangi adik ayahnya yang memenuhi syarat untuk menikahkan Prilly.
Menurut yang kami ketahui juga, karna usia Prilly sudah menginjak 21tahun maka tidak perlu ijin dari orang tua tetapi kami harus mencukupi syarat sah pernikahan yaitu Menurut hukum Islam, seperti diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, untuk melaksanakan perkawinan harus ada;
Calon suami,Calon Istri,Wali Nikah, Dua orang saksi, Ijab dan kabul.
Jadi, menurut hukum Islam, kelima syarat tersebut harus dipenuhi agar perkawinan sah.
Prilly tak membawa apapun kecuali baju yang melekat dibadan. Aku lebih beruntung karna masih membawa handphone dan dompetku yang berisi Lima lembar seratusan, Tiga lembar limapuluhan, dan beberapa ratus ribu uang kecil.
Kami sempat membeli beberapa baju dan underware dipasar, juga sempat menguras kartu Atm-ku sebelum diblokir Papa, beruntung masih ada lima juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah yang bisa aku tarik dari salah satu Atm bersama itupun sebenarnya uang yang disiapkan orang tuaku untuk pembayaran kuliah disemester berikutnya. Yang lainnya deposit yang disiapkan orang tuaku tak bisa ditarik karna deposit sifatnya berjangka dan sudah sempat diblokir Papa.
Kami menaiki travel terakhir jam 4 sore yang kira - kira akan sampai jam 8 malam. Prilly tertidur kelelahan dibahuku dengan sebelah tangannya kugenggam erat. Kucium pelipisnya lembut dan kupandang wajahnya yang kelihatan memerah bekas tamparan.
Menurutnya dia dua kali ditampar Maminya ditempat yang sama. Dia juga bercerita sebab dia ditampar karena mengaku sudah menyerahkan segalanya dengan harapan agar tidak dipisahkan dariku tetapi ternyata bukan restu yang didapat melainkan tanda merah dipipinya yang mulus. Aku mengelus pipinya.
Kasian Prilly. Dia rela berkorban terlalu besar, meninggalkan semua kemewahan dan kemudahan yang selama ini dia miliki. Meninggalkan Mercy hitamnya yang mewah, kamar bermotif doraemonnya yang sejuk ber -AC, menanggalkan tas dan baju bermerknya untuk bisa bersamaku.
Walau aku bernasib sama dengannya meninggalkan kemewahan tetapi aku ini laki - laki, tentu memang sudah tugasku bekerja keras.
"Aku akan membahagiakanmu, Cinta. Walaupun keadaan kita tak seperti saat kita masih bersama orang tua kita."
Aku berbisik ditelinganya yang sedang tertidur sambil mencium puncak kepalanya.
"Hmmm...."
Prilly bergumam menggerakkan tubuhnya, membuka mata dan menatapku yang sedang memandanginya.
"Kenapa?"
Prilly menatapku diantara mata sayunya.
"Gak papa, I love you...."
Aku mengelus pipinya.
"Love you too."
Prilly balas mengelus pipiku.
"Ayo tidur lagi."
Aku melepaskan tanganku dan merengkuh bahunya. Membiarkan kepalanya tenggelam didadaku. Prilly memejamkan matanya lagi. Aku menoleh keluar jendela menatap pepohonan yang dilewati. Masih tak percaya dengan keadaan saat ini yang seperti mimpi.
Aku masih teringat saat mendekatinya yang cukup lama tanpa mendapat respon yang berarti.
Hingga suatu hari kudapati dia dan Mercy-nya mengalami insiden lagi, saat parkir disebuah restoran belakang mobilnya terlalu mundur dan menabrak tembok.
Memang Mobil Mercy-nya dan Motor BMW Support ku begitu berjasa mendekatkan kami. Dengan Deddy Mekanik yang menjadi andalanku, karna kalau dibengkel bukan ditempat Deddy, membetulkan mobil harus antri dulu dan tidak bisa satu hari kalau sedang banyak pelanggan, padahal Prilly ketakutan kalau sampai mobilnya menginap.
"Kalau ketahuan Papi, bisa dicabut SIM gw...."
Prilly berkata dengan stress.
"Sini gw bantuin manggil Deddy, asal gw yang ngomong pasti selesainya cepet."
"Benarkah?"
Waktu itu dia menatap dengan mata berbinar indah. Aku makin terpesona.
"Bener, percaya deh sama gw."
Aku meyakinkannya. Dia tersenyum sumringah mendengarnya dan seketika memelukku kesenangan.
"Makacihh yaaa...."
Pelukan Prilly membuat jantungku berdebar.
"Wow...wow...gw diserang nii kayaknya."
Aku pura - pura protes.
"Eh, sori - sori...gw lagi kesenengan, jangan ge-er lo senyum - senyum gak jelas."
Prilly menatapku dari tatapan menyesal menjadi tatapan galak.
"Idih siapa yang ge-er, lo cewe yang kesekian yang meluk gw tiba - tiba kaya gitu kali."
Aku menolak dikatakan Ge-er, padahal sesungguhnya memang dia yang kesekian tapi dia yang bikin deg-degkan.
"Sok kegantengan banget lo, males gw."
Prilly terlihat cemberut.
"Ya emang gw ganteng."
Aku meliriknya yang tiba - tiba berdiri.
"Sini kunci gw, gw ngurus sendiri aja."
Prilly merebut kuncinya dari tanganku, sejenak aku bingung. Ngambekan banget ni cewe gitu aja tersinggung.
Aku masih terpaku sesaat setelah Prilly merebut kunci mobilnya dari tanganku dan melangkah menyebrang jalan tanpa lihat kiri kanan. Dia tak menyadari sebuah truk dari arah kanannya melaju dengan kencang membuat aku reflek berdiri dan mendorongnya kesebrang sampai kami terjatuh dengan posisi lenganku bergesekan dengan aspal karna memeluknya. Suara decitan ban truk yang di-rem dan teriakan ngeri orang - orang yang melihat kejadian itu membuat suasana menjadi tegang.
"Lo gak papa?"
Kulihat wajah Prilly pucat pasi dan menggeleng.
"Gak papa, Lo yang kenapa - kenapa, liat lengan lo lecet, sini...."
Prilly menarikku menuju mobilnya, mendorongku masuk kedalamnya dan mengambil kotak P3K.
"Shhhhh...."
Aku meringis karna peruh lukaku bergesekan dengan Alkohol.
"Perih? Tahan dulu ya!"
Prilly mengusap lecet dilenganku dengan kapas ber -Alkohol dan memberi obat merah dengan kapas yang lain. Aku menatap wajahnya dari dekat. Aku melihat Pipi yang mulus, hidung yang runcing dengan bibir tipis berwarna pink. Dia Cantik.
"Udah...."
Dia mengangkat wajahnya melihatku yang tak sempat mengalihkan pandangan dari wajahnya. Sesaat kami saling bertatapan.
"Maafin gw ya. Gara - gara gw lo jadi lecet - lecet kaya gini."
Lirih ucapannya dengan hembusan nafas yang menyapu wajahku.
"Lo cerobohnya akut banget sih."
Aku membalasnya juga dengan lirih dengan mata tak lepas menatapnya.
"Iya emang...!"
Suaranya tetap lirih.
"Makasih ya Li, udah nyelamatin gw!"
Prilly melanjutkan kalimatnya.
"Sama - sama, untung gw gak telat, mending gw yang ngelindes lo daripada truk."
Aku menjawabnya menggoda. Dia memukul lenganku yang lecet.
"Auwhhh...shhhh...lo yang obatin, lo juga yang sakitin lagi!"
Aku protes sambil mengelus lenganku.
"Maaf...maaf...
Prilly mengelus lenganku yang dipukulnya tadi. Tangan kami bersentuhan, seperti ada aliran listrik yang menyengat dan Prilly menarik tangannya dan menundukkan kepalanya.
"Lo tadi emangnya nyebrang mau kemana?"
Aku bertanya mengalihkan suasana.
"Gw laper, kan tadi mau makan tapi gara - gara parkirnya ceroboh jadi makannya tertunda...!"
Prilly menjawab dengan lembut mengangkat kepalanya menatapku lagi.
"Pantes aja sensitif, perutnya keroncongan, tapi kenapa nyebrang sih bukannya masuk kedalem, lo parkir didepan restoran ini kan mau makan disini?"
Aku bertanya lagi dengan heran.
"Tadinya...tapi jadi ilang selera, gw mau kesebrang sana pingin bakso yang dipinggiran itu."
Prilly melepas pandangan membenahi kotak P3K.
"Ohhh..."
Aku membulatkan mulutku.
"Lo udah makan?"
Prilly menatapku lagi.
"Ciahhh jadi perhatian, kalau tau gini kelindes truk juga gw rela...!"
Aku mulai keceplosan lagi.
"Hussss...!"
Prilly memukul lenganku yang lecet lagi. Aku meringis lagi dan dia minta maaf lagi sambil mengelusnya lagi. Kami tertawa pelan dengan keadaan yang tiba-tiba canggung.
"Eh, enggak ding kalau kelindes truk, Nauzubillah."
Aku mulai kembali mencairkan suasana.
"Ishh, memang nyeplos lo akut banget sih."
Prilly mulai sewot.
"Ya udah gw temenin lo kesebrang nyari bakso sambil nunggu Deddy ya."
Aku membuka pintu mobil disusul Prilly.
Akhirnya kami menuju kesebrang jalan dimana ada abang bakso jualan dengan rombong dan bangku disampingnya.
"Mau?"
Prilly menawarkan bakso yang sedang dinikmatinya sambil menyodorkan mangkok.
"Suapin..."
Aku minta suapi dengan manja.
"Ishh kenapa lo manja sih? Nihh..."
Prilly mengomel tapi menyodorkan sendok yang terisi pentolan bakso yang sudah dipotong. Aku membuka mulutku dan menyuapnya.
"Ushh...Pedes banget Pril, perutmu bisa sakit kalau kebanyakan makan sambel kaya gitu."
Aku memandang bibirnya yang tambah kemerahan gara - gara bakso yang disantapnya terlalu pedas. Dia hanya menggeleng dan menyuapiku lagi.
"Gw udah, gak tahan pedes...."
Aku mau disuapinya lagi tapi mengingatkan supaya dia jangan nyuapin aku lagi.
"Enggak terlalu kok ini, Li."
Prilly mendesis kepedasan padahal barusan bilang enggak terlalu.
"Engga terlalu apa? Tuhh bibirnya udah merah banget, mendesis begitu bikin gw pingin cium, eh..."
Lagi - lagi aku keceplosan. Prilly tersedak dan matanya melotot. Aku segera mengambilkannya segelas air mineral yang kupegang. Kasian sekarang bukan cuma bibirnya yang merah tapi matanya juga. Aku mengelus - elus punggungnya kuatir. Dia memegang dadanya sambil masih terbatuk lantas memukul bahuku. Aku tertawa mengacak rambutnya.
"Kita kemana nih? Lo kan belum berani pulang kalau mobil lo belum selesai?"
Aku bertanya sambil melangkah kesebrang jalan untuk mengambil motorku yang diparkir direstoran tadi, sedangkan mobil Prilly sudah dibawa Deddy sejak Prilly makan bakso tadi.
"Kita ketaman deket sini aja Li. Disana ada danau biru loh, bagus."
Aku melajukan motorku ketempat dimana yang ditunjuk Prilly, ternyata di taman sedang banyak orang yang melepas lelah karna memang cuaca sedang panas - panasnya sementara ditaman itu sejuk sekali karna banyak pepohonan.
"Yah, gak ada tempat duduk...."
Prilly bergumam kecewa.
"Kesana aja, itu ada ayunan, kita duduk disana ya."
Aku menarik tangannya ketempat dimana dua buah ayunan berseberangan lurus disana dengan jarak 3meter.
"Duduk sini."
Aku menyuruhnya duduk diayunan dan mendorongnya pelan - pelan.
"Lo juga duduk sana, Li."
Aku menuju ayunan disebrangnya dan mulai mengayun dengan kakiku.
Setiap ayunan mengayun ketengah diantara kami, kaki kami bersentuhan dan saling mendorong, dan kami akan tertawa bersamaan karna akan terayun lebih kencang lagi. Seperti anak kecil, tapi senang rasanya. Rasanya sudah lama sekali tidak bermain. Kulihat matanya berbinar cerah sepertinya senang sekali.
Akhirnya suara tawa kami hilang, hanya mata saja yang saling menatap, hanya ada suara ayunan yang melayang, tiba-tiba senyap. Entah apa yang ada dipikirannya, yang jelas dipikiranku adalah dia istimewa, cantik, membuat hatiku menghangat melihat senyumnya, membuat mataku terhipnotis bila melihat binar dimatanya.
Aku lelah mengayunkan kakiku, dan aku melompat dan ternyata dia berbuat hal yang sama, kami berpijak diantara dua ayunan dan bertemu pandang karena tepat berhadapan. Tanganku berada dibahunya kini.
"Kayaknya gw suka sama lo."
Kalimatku memang sungguh - sungguh tak meyakinkan. Aku menyadari rasa gengsiku masih lebih tinggi.
"Kayaknya? Suka?"
Prilly menatap sepertinya kecewa dengan kalimatku.
"Ralat."
Satu kata keluar dari bibirku yang membuat Prilly memiringkan kepalanya.
"Ck."
Dia berdecak kelihatan jengkel.
"Gw suka sama lo."
Aku membetulkan kalimatku.
Matanya melebar menatapku.
"Gw cewe yang keberapa yang lo nyatain suka?"
Kalimatnya bernada menepis.
"Ck. Maksut lo?"
Kini mataku yang melebar.
"Lo selalu bilang gw cewe yang kesekiankan? Gw Cewe yang kesekian naik keboncengan lo, gw cewe yang kesekian yang lo bantuin, gw cewe yang kesekian yang tiba - tiba meluk lo, so ... gw cewe yang kesekian juga yang bikin lo nyatain suka?"
Prilly menatap seperti menusuk kejantungku.
Aku menarik tengkuknya dan mencium bibirnya. Dia seperti terpana dengan mulut sedikit terbuka.
"Lo cewe pertama yang gw cium karna gw suka...."
Aku menatap matanya dalam - dalam. Meminta dia melihat kesungguhan perkataanku.
"Jadi lo pernah cium cewe tapi lo gak suka?"
Prilly membalik kalimatku.
"Kenapa sih lo bolak balik kalimat gw mulu?"
Aku mulai tak suka dengan caranya menepis bicaraku.
"Karna gw gak percaya sama lo."
Prilly menatapku setajam silet.
"Apa yang bisa bikin lo percaya sama gw."
Aku balas menatapnya tak kalah tajam.
"Entahlah...."
Prilly mengangkat kedua bahunya. Aku menghela nafas. Melihat kesekelilingku, masih banyak orang yang duduk didekat danau, dibangku taman, dirumput dan disekeliling taman.
"Woyyyy...semuanyaaaa dengerin gw...gw suka sama cewe ini, tapi dia gak percayaaaa....jadi gw ngomongnya sama kalian semua yang ada disinii aja, denger ya, gw suka sama dia, gw suka sama Prilly, gw mau jadi pacarnyaaa, gw akan...."
Prilly menutup mulutku dengan wajah yang sulit sekali diartikan. Tadinya kulihat dia bengong, lalu pipinya memerah, menutup wajah dengan sebelah tangannya malu baru menutup mulutku dengan panik.
"Kenapa mulut gw ditutup, gw mau bilang sama semua orang disini kalau gw akan berjanji didepan mer...."
Belum sempat aku menyelesaikan omonganku dia sudah langsung memeluk dan mengeratkan tekanan tangannya dipunggungku.
Tanganku mengambang diudara sepersekian detik sebelum membalas pelukannya. Tepukan riuh dan suara suitan bibir orang - orang disekitar kami menyadarkan kami sedang berpelukan ditempat umum.
"Mas, tar dianterin kemana?"
Suara driver travel yang membawa kami memutuskan lamunanku yang sedang mengingat awal status kami yang berubah dari teman yang tidak akrab sekejap menjadi pacar.
"Cinta, bangun, ditanya tu kita tar diantar kemana?"
Aku mengelus pipi Prilly.
"Hmm apa, Cinta?"
Prilly mengerjapkan matanya mengumpulkan kesadaran.
"Alamat rumah Om Wendy dimana?"
Aku berkata lirih ditelinganya.
"DiPerum Polisi, Jalan Akasia 1."
Prilly berkata dan setelahnya menutup mulutnya karna menguap.
Setelah mengantarkan 5penumpang lainnya, barulah kami diantar kealamat rumah yang disebutkan Prilly. Jantungku berdebar ketika mobil travel memasuki perumahan polisi di Jalan Akasia 1 tersebut. Ya, Om Wendy adalah seorang perwira polisi, menjabat kapolsek dikota itu.
"Belok kanan, bang, Akasia 1 nomor 5 Rt.26."
Akhirnya mobil berhenti di sebuah rumah yang didepannya bertuliskan Wendy Erlash Febrian.
Rasanya seperti menyerahkan diri ke polisi saja kalau sudah begini. Bayangkan saja, kami datang kerumah kapolsek karna melarikan diri. Aku benar - benar gugup ketika.Prilly memencet bel rumah Om Wendy.
"Ily."
Seorang wanita yang kelihatannya seusia Mama atau kalaupun lebih muda pasti tak terlalu jauh memandang Prilly kaget. Prilly menghambur dipelukannya. Tentu saja dengan deraian airmata.
"Apa yang terjadi??"
Wanita itu menatapku sambil masih memeluk Prilly. Prilly melepas pelukannya.
"Tante Laura, ini Ali."
Prilly memperkenalkanku pada tantenya yang kuduga adalah isteri dari Om Wendy.
Setelah bersalaman denganku Tante Laura menarik Prilly duduk diruang tamu.
"Ada Apa, Ily?"
Tante Laura mengeryitkan alis memandang Aku dan Prilly bergantian.
"Jangan bilang kalian kabur dan ingin kawin lari, Om bisa penjarakan pria ini."
Suara berat seorang pria mirip papi Prilly, gagah ciri khas polisi yang aku tebak adalah Om Wendy mengagetkanku terlebih dengan kalimatnya yang tanpa basa basi.
"Om, Ily gak kabur tapi Ily diusir, gak diakui anak lagi sama Papi dan Mami karna mereka gak ngerestuin Ily sama Ali, apa Om tega juga mau menjarakan Ali? Om tega juga ngebuat Ily sakit hati??"
#############
Akhirnya part 5 selesai..
Vote dan komennya sangat berarti sbg penyemangat tulisan ini, makasih ya..
Cup..ahh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top