7

"Alah, kamu nggak usah ngaco, terlalu singkat pertemanan kita kalau kamu tiba-tiba bilang cinta, Ndraaa, Ndra, aku kasi tahu ya, carilah wanita yang sesuai dengan kedudukan kamu, keluarga kamu, apa kata orang jika kamu menikah dengan wanita sepertiku, kamu akan menjatuhkan martabat keluarga kamu, lagi pula, aku hanya menganggapmu teman, tak lebih Ndra, kamu teman yang asik, aku yang sulit tersenyum kalau ada kamu jadi bisa tertawa malah, ah sudahlah, sana sanaaa gombal aja kamu Ndraaa," ujar Livia, Candra menatap Livia.

"Kau kan tahu bahwa cinta tak bisa dilogika, kita tidak bisa mengukur sejauh mana waktu yang dibutuhkan untuk mencintai seseorang, makanya sampai ada istilah love at he first sight, aku tahu kamu tak akan percaya dan akan menolakku, tapi setidaknya aku sudah mengungkapkannya padamu, aku tinggal dulu Livia,"

Candra ke luar dari kamar Livia dan tak lama pintu terbuka lagi.

"Bundaaa?" ujar Livia

Ternyata yang muncul wanita paruh baya namun terlihat cantik dan elegan, jas putihnya menutupi dress berwana ungu.

Livia menatap wanita cantik di depannya dan ia merasa aneh karena dokter itu tak pernah sekalipun visit ke kamarnya sejak ia masuk rumah sakit.

"Terima kasih kau menolak anakku," ujarnya sambil tersenyum, kini Livia mengerti siapa wanita dihadapannya.

"Dia anak bungsuku, yang entah apa sebabnya dia putus dengan calon istrinya yang rencananya akan segera bertunangan, awalnya aku menuduh ada wanita lain yang masuk dalam kehidupannya tapi saat aku mendengar pembicaraan kalian tadi kini aku tahu jawabannya ah terima kasih kau menolaknya, aku mengenal baik ayah dan bundamu, aku juga tahu kisah hidupmu, bukan kau tak layak untuk anakku bukan, tapi aku ingin yang mendampinginya adalah wanita yang sepadan dengannya, kakak-kakaknya juga menikah dengan teman sejawatnya sesama dokter, jadi aku ingin Candra pun demikian," ujar wanita itu.

Livia hanya tersenyum samar-samar.

"Sejak Candra hadir di rumah sampai saat ini, saya hanya menganggapnya teman dan tak lebih, saya sadar siapa saya, saya tidak akan pernah masuk dalam lingkaran hidupnya, saya merasa sudah sangat nyaman dengan keadaan saya sekarang, nyonya jangan kawatir saya tidak pernah tertarik pada Candra, ia baik sebagai teman," ujar Livia dan terdengar kamarnya terbuka.

"Waaah mbak Palupi apa kabar, makin cantik aja," sapa Devi sambil memeluk dan mencium wanita yang berdiri di sisi Livia.

"Maaf aku baru sempat menengok anakmu dik Devi,"

"Ya aku ngertilah, jadwal operasi yang tiada henti, eh iya, aku segera mantu loh, ini anakku mau nikah, maunya bulan depan ya karena ada kejadian seperti ini, kami tunda dua bulan lagi," ujar Devi dan mata wanita dihadapannya membulat, ia menatap Livia yang berusaha tersenyum.

"Oooh iya iya selamat ya," ujarnya pada Livia.

"Jangan kawatir, Candra akan baik-baik saja Nyonya," ujar Livia perlahan.

"Panggil saja tante sayang," ujar wanita cantik itu dan pamit pada Devi dan Livia.

Setelah mengantar sampai pintu, Devi segera mendekati Livia, menatap matanya dan mulai bertanya.

"Ada apa, apa yang dikatakan wanita itu?"

"Tidak ada bun, hanya memastikan bahwa Candra baik-baik saja," jawab Livia.

"Heeem dia salah satu wanita yang mengejar-ngejar ayahmu, ada beberapa wanita yang sejak awal mengejar ayahmu saat kami terpisah, meski ia sudah menikah dan memiliki anak tapi rasa sukanya pada ayahmu tak bisa ia sembunyikan, kami terlihat baik di luar, tapi ia sesungguhnya benci padaku saat tahu aku kembali dengan ayahmu setelah sempat terpisah bertahun-tahun tanpa kabar berita, hehe mungkin dia berharap aku ditemukan telah menjadi mayat, kadang aku berpikir apa yang membuat wanita-wanita itu menggilai ayahmu?" tanya Devi seolah bertanya pada dirinya sendiri.

"Yang jelas diusiaku yang setengah abad lebih, aku masih terlihat gagah, perutku tidak buncit dan masih ganteng ya Livia?" tiba-tiba Ananta masuk dan berdiri di dekat Devi yang duduk di kursi sambil menngusap lengan Livia yang sedang berbaring.

"Gimana sudah mantap mau menikah dengan Adam?" Ananta melihat Livia mengangguk.

"Baiklah, ingat kata bundamu, segera tempati rumah di Ubud, kelola semua aset kalian bertiga di sana, punya kakak-kakakmu Ejak dan Sena sekalian ayah minta tolong pegang kamu dan Adam, kasihan Sena, ia sering mendelegasikan orang kepercayaannya untuk menghandle toko roti itu," Ananta melihat Livia mengangguk sekali lagi, Ananta mengusap kepala Livia.

"Siapa maksudmu yang masih menyukaiku, tadi aku mendengar sekilas?" tanya Ananta yang melihat Devi meringkuk memejamkan mata di kursi dekat Livia berbaring.

"Siapa lagi kalau bukan dokter cantik itu," ujar Devi. Dan Ananta tertawa.

"Kalau aku mau sejak sebelum mengenalmu aku pacari dia, aku mengenalnya sejak kecil dan aku tak tertarik padanya sama sekali, aku lebih menyukaimu yang sulit aku kejar," Ananta duduk tak jauh dari kursi yang diduduki Devi.

"Kok malah flashback sih ayah bunda, Biru mana kok nggak diajak?" tanya Livia.

"Jangan Livi, sebagus apapun rumah sakit, akan lebih baik jika dia tidak ke sini," ujar Devi.

"Sebentar lagi kami pulang, tapi ya aneh kami naik mobil sendiri-sendiri, ya karena memang kami dari tempat berbeda," ujar Ananta tertawa.

"Ayo sayang, kita pulang, kasihan Biru," ajak Nanta dan keduanya mencium kening Livia.

Baru saja Livia hendak memejamkan mata setelah kedua orang tuanya pulang, pintu terbuka lagi dan terlihat wajah Candra yang dingin.

"Mama menemuimu?" tanyanya.

"Ck ngomong apa kamu, aku mau tidur," Livia memejamkan matanya.

Cup!

Livia melotot kaget saat Candra mencium keningnya.

"Matamu terpejam lagi, bibir kamu yang aku cium, aku belum selesai ngomong," Candra terdengar gusar.

"Kamu apaku, sampai aku harus patuh padamu?" tanya Livia gusar.

"Mama ngomong apa?" tanya Candra lagi.

"Kamu tahu dari siapa jika dia ke sini?" Livia balik bertanya.

"Mama kaget saat ke luar kamarmu dia melihat aku berdiri di depannya," sahut Candra.

"Mamamu adalah mama yang baik, ia hanya ingin kamu dapat pasangan sepadan, itu saja, nggak salah kan?" ujar Livia.

"Selalu begitu, setiap aku dekat dengan wanita manapun mama ikut campur,  aku tidak suka mama seperti itu, makanya aku nemutuskan pacar-pacarku karena ya wanita-wanita itu juga paksaan mama, aku berusaha mencintai tapi tak bisa, saat aku menemukan wanita yang aku suka mama selalu merasa pilihanku tak sepadanlah, memalukan keluarga besarlah, aku capek Livia, apalagi Feyna, dia memang dari keluarga kaya, tapi ya begitu, namanya anak orang kaya aku harus ngalah kan sama dia, nggaklah," ujar Candra akhirnya duduk di kursi yang berada di dekat Livia berbaring.

"Kalian hanya kurang komunikasi, bicaralah padanya, dia pasti mau mengerti, dan yang pasti dia cantikkan? karena jika aku lihat dari cara mamamu menceritakan pacarmu, mamamu sangat menyayangkan kalian putus, terimalah lagi calon istrimu Ndra, aku yakin kamu akan mudah mencintainya," ujar Livia tersenyum melihat wajah Candra yang terlihat lelah.

"Nggak mau, males," jawab Candra dan Livia tertawa pelan.

"Kamu ini aneh, punya pacar cantiknya nggak ketulungan kok nggak mau," ujar Livia lagi.

"Aku maunya sama kamu," sahut Candra menatap wajah Livia dengan kesal karena Livia masih saja tertawa.
"Akunya nggak mau, aku sudah punya mas Adam," sahut Livia menahan tawanya.

"Aku rebut dengan paksa," sahut Candra lagi dan pintu tiba-tiba terbuka, wajah Candra berubah dingin melihat dua orang masuk ke kamar itu. Sedang Livia tersenyum lebar.

***

8 Juli 2020 (10.03)

Yang pernah baca Menggapai Mimpi pasti ingat pas bagian ini 💞💞

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top