4
"Ada apa kau memuiku lagi? Bukankah kau sibuk? Aku juga sibuk, lebih baik kau kembali ke klinikmu, tau rumah sakit keluargamu atau mungkin ke ...." Dan Feyna menggenggam tangan Candra, lembut dan hangat terasa di tangan Feyna.
"Aku menyukaimu sejak lama Ndra, aku bersyukur kita akhirnya dekat, meski awalnya kau tak menyukaiku tapi lama-lama aku melihat binar hangat di matamu, lalu kau terlihat dingin lagi, aku mohon kita mulai dari awal lagi Ndra, aku janji akan lebih memperhatikanmu," ujar Feyna dan merasakan tangan Candra yang berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Feyna.
"Sulit kayaknya Fey, kau cantik, carilah laki-laki lain yang sangat menyukaimu, aku yakin banyak yang tertarik padamu."
"Tapi aku menyukaimu, memilihmu, kita coba lagi Ndra, ya?"
"Aku tidak yakin akan berhasil."
"Aku yakin jika niat kita baik tetap akan baik juga hasilnya meski jalannya berliku."
"Kau merasa punya niat baik padaku?"
"Yah, aku ingin menikah denganmu, aku tidak mau hanya pacaran, sejak dulu saat melihatmu, aku sudah berpikir tentang pernikahan, bukankah itu niat baik?"
"Yah, bagimu,"
"Dan aku akan terus berusaha mendapatkanmu, aku pergi dulu, aku kadung ada janji sama mama papa, mereka ingin kita lebih serius dan aku setuju, mama papaku akan segera berbicara pada mama dan papamu, bai Candra Sayang."
Feyna bangkit mengecup bibir Candra sekilas. Meski kaget Candra berusaha bersikap biasa, hanya menggeleng pelan saat wanita bertubuh indah itu berlalu dari hadapannya. Suara notif masuk ke ponsel Candra, dari papanya yang mengingatkannya kembali untuk mengunjungi Livia, putri keluarga Ananta yang sepertinya depresi memikirkan masalah pribadinya. Livia hanya butuh teman bicara agar masalahnya menjadi lebih ringan dan Candra akan melakukan itu, meski ia bukan psikolog tapi sedikit banyak sebagai seorang dokter ia bisa melakukan pendekatan secara personal agar pasiennya mau terbuka dan bercerita apa masalah yang membebani pikirannya.
.
.
.
Sesampainya di kediaman keluarga Ananta, Candra disarankan agar langsung ke taman oleh si pemilik rumah, istri Ananta yang mengantarkan Candra ke taman. Ia melihat Livia duduk sendiri menatap kolam ikan yang ada di depannya.
"Pagi Livia."
"Pagi juga."
"Ngapain di sini?"
"Duduk."
"Iya lah tau masa tidur."
Candra melihat senyum mulai tampak di bibir Livia. Permulaan yang bagus meski ia tahu ini agak sulit.
"Itu anakmu yang paggil-panggil mama?"
"Iyah, kau pasti kaget ya seusia aku punya anak seumuran gitu, itu kesalahan aku di masa lalu, Dok."
"Ish, jangan panggil aku si guk guk."
Candra berusaha mengalihkan perhatian Livia agar tak semakin sedih dan Livia kembali tersenyum. Candra sendiri tak menyangka jika ia bisa selancar ini berbicara dan bergurau, mungkin karena merasa nyaman berada di dekat wanita mungil yang selalu berwajah sendu ini. Sejak awal ia melihat matanya yang seolah minta perlindungan, sebagai laki-laki Candra ingin melindungi wanita berwajah sendu dan bermata sayu ini.
Keduanya semakin asik bicara, senyum Livia semakin sering terlihat, dua jam kemudian Candra pamit pulang dan berjanji pada Livia akan kembali lagi.
"Makasih, Dok."
"Guk," sahut Candra dan Livia tersenyum lebar.
"Bukan Dog itu, Dokter maksudnya," ujar Livia.
"Nggak mau, panggil Candra saja."
"Baiklah."
"Ok, aku pulang, jaga kesehatan dan jangan lupa makan."
"Makasih Ndra."
"Sama-sama."
.
.
.
Feyna mengamati mobil pacarnya ke luar dari rumah megah itu. Ia mengerutkan kening, rumah siapa? Dan ada apa dia ke sini? Ia mengikuti sejak awal Candra ke luar dari klinik orang tuanya, menuju rumah megah itu dan dua jam kemudian baru ke luar.
Feyna terus mengikuti ke mana arah mobil Candra, yang ternyata kembali ke klinik orang tuanya. Feyna merasa harus mencari cara agar secepatnya ia menikah dengan Candra, ia akan mengatakan semuanya pada kedua orang tuanya dan tak lupa mama Candra yang sejak awal sangat menginginkan dirinya menjadi menantu.
Hingga suatu saat, kali kesekian Candra mengunjungi rumah megah itu lagi. Feyna mengikuti Candra dari jarak yang ia jaga, saat mobil Candra masuk ke rumah besar itu Feyna Segera menepikan mobilnya dan memasuki sebuah cafe yang berada tak jauh dari rumah megah itu, dari cafe itu Feyna bisa melihat siapa saja yang datang dan pergi.
Feyna kaget saat ponselnya berbunyi nyaring. Ia buka tas kecilnya dan melihat mama Candra yang meneleponnya.
Ya Tante
Kami sudah bicara, Tante dan dan mamamu, secepatnya kalian akan bertunangan
Makasih Tante tapi apa Candranya mau?
Dia harus mau dan pasti mau, anak-anak Tante nggak ada yang berani melawan pada Tante
Makasih Tante, makasih
Feyna menutup pembicaraan dengan calon mertuanya, bibirnya menyunggingkan senyum, ia bahagia dan akan membuat Candra jatuh cinta padanya.
.
.
.
"Nggak ma, aku nggak mau, siapa yang mau tunangan sama Fey?"
"Kamu, masa mama? Kamu ini benar-benar gak tahu terima kasih, mama carikan kamu wanita cantik, berkelas, berprofesi sama sepertimu, dari keluarga yang hartanya nggak akan habis kamu makan berdua dengan Feyna."
"Aku cari wanita bukan karena itu semua Ma, aku ingin wanita yang bisa membuat aku nyaman dan tenang saat aku pulang ke rumah karena lelah telah bekerja seharian."
"Omong kosong apa kamu, mama nggak mau tahu, pokoknya sebulan lagi aku mau kalian bertunangan, titik nggak ada bantahan."
Palupi ke luar dari rumah kerja Candra dan Candra mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia pejamkan matanya, bayangan wajah Livia berkelebat, entah mengapa Candra merasa aneh jika dekat dengan wanita itu, ia jadi banyak bicara dan waktu jadi terasa cepat berlalu saat mereka ngobrol berdua.
.
.
.
Pagi itu kembali Feyna mengikuti Candra, saat mobil Candra masuk melalui gerbang besar itu, Feyna turun dari mobilnya dan berdiri di depan pagar yang menjulang itu. Feyna kaget saat ada yang menyapanya. Adam teman saat SMA dulu.
"Fey, ngapain kamu berdiri di sini, masuk yuk nyari siapa?" tanya Adam.
"Ini rumahmu, kayaknya bukan deh?" tanya Feyna.
"Rumah tunanganku, ayo masuk, memang siapa yang manggil kamu ke sini, perasaan nggak ada yang sakit deh, yang kapan hari memang ada dokter yang merawat tunanganku, dokter Candra namanya, lah kamu kan masih melanjutkan ke spesialis kan ya Fey?" tanya Adam.
Feyna mengangguk, wajahnya terlihat resah, lalu menarik Adam menuju ke seberang jalan, ke sebuah cafe yang hanya menawarkan minuman.
Setelah keduanya duduk, Feyna menatap Adam dengan perasaan campur aduk.
"Candra itu calonku Dam, entah pacar entah apa pokoknya dia milikku, rencananya kami akan segera bertunangan tapi ia tiba-tiba memutuskan menjauh dariku, aku akui memang aku salah, aku terlalu sibuk Dam, di rumah sakit papa dan perkuliahanku yang ambil spesialis anak, aku mengabaikannya karena kesibukanku, aku selidiki ternyata seminggu ini ia ke rumah besar itu, adakah wanita muda di rumah itu selain tunanganmu?" tanya Feyna.
"Tidak ada, hanya Livia tunanganku yang sepuluh hari lebih sakit, memang Candra yang merawatnya," jawab Adam.
"Tolong aku Dam, gimana caranya agar mereka tidak dekat," rengek Feyna. Dan Adam memajukan wajahnya.
"Baik Fey, mari kita saling membantu agar orang yang kita cintai tidak lepas dari pelukan kita, kau mau kan mendengarkan saranku?"
***
5 Juli 2020 (03.34)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top