Bab 6

Tak ada yang berubah sejak para Phoenix datang. Kehidupan Sahara tetap terbatas, hanya seputar hutan, sungai, dan hutan lagi. Selain itu, temannya pun cuma Phoenix, naiad dan draiad. Yang lain enggan mengajaknya bicara karena merasa segan, mengingat di adalah putri dari Harimau paling berkuasa di setengah bagian WildArea, Zen.

Dan jujur, ini sangat membosankan. Setidaknya begitulah bagi Sahara yang kehidupan sebelumnya sibuk berkutat dengan ponsel dan internet. Tinggal di hutan tanpa adanya sosial media itu benar-benar membosankan. mungkin karena Sahara yang mainnya kurang jauh.

"Sahara, ayo main."

Datang sudah. Naiad paling imut, Ferr. Dialah yang paling rajin mengajak Sahara main. Ah, mungkin lebih tepat kalau di bilang mengajak Sahara berenang. Pasalnya naiad satu itu hanya mau main air di sungai.

"Aku malas, Ferr. Lain kali saja." Sahara yang tengah santai duduk di atas batu besar itu menjawab tanpa menoleh. Matanya sibuk menatap langit

Ferr tak menyerah. Dia menghadap langsung ke depan Sahara. "Aku menemukan gua keren saat jalan-jalan tadi."

Sahara memutar bola matanya. Paling hanya gua biasa. Pikirnya malas.

"Ada batu bercahaya di dalamnya, Sahara. Ayo ikut aku."

Spontan kepala Sahara menoleh. Dia menatap naiad imut dengan pipi chubby dan rambut biru bergelombang selutut itu dengan ekspresi kaget. "Yang benar? Memang benda begitu ada disini?"

Ferr mengangguk cepat.dia menarik lembut lengan Sahara. "Ada. Aku tidak salah lihat. Makanya ikut aku."

Dengan enggan tapi penuh rasa penasaran, Sahara beranjak dari duduk santainya. Dia berjalan cepat mengikuti naiad imut ini. Mereka melewati cukup banyak pepohonan dan berakhir di depan batu raksasa. Mungkin sekitar lima meter.

"Mana guanya?" Sahara tak sabaran. Dia menoleh kesana-kemari untuk melihat dimanakah bibir gua itu. Tapi nihil. Batu penuh lumut dan tanaman merambat ini nampak seperti batu biasa. Bukan gua.

Ferr terkikik riang. "Ini bagian kerennya, Sahara. Lihat ini"

Naiad itu berjongkok dan menarik tanaman merambat yang ada di tanah. Nampak celah yang cukup besar, sepertinya bisa untuk dilewati laki-laki dewasa jika dia merangkak.

Sahara memiringkan kepala kala melihat Ferr yang berubah jadi air lalu langsung mengalir masuk ke sana. Serius di sini ada kristal?

Gadis berkulit Tan itu mengacak rambutnya sejenak. Terserah deh. Ayo masuk dulu lalu kita lihat apa isinya.

Jadilah Sahara merangkak masuk kesana. Tapi tidak seperti yang dikatakan Ferr. Tidak ada batu bercahaya. Justru disini adalah gua yang gelap gulita.

Sahara mengedarkan pandangan. Semuanya hitam total. Dia seperti buta begitu saja.

"Mana batu cahaya yang kau katakan Ferr?" Dia bertanya dengan malas. Enggan ingin percaya pada Ferr lagi di masa mendatang.

"Ini, loh Sahara. Coba lihat ini."

Setelah suara itu terdengar, muncul sebuah batu biru kecil tak jauh darinya. Setelah itu, terdengar bunyi dentingan kaca juga kecipak air. Alis Sahara mengernyit sekitar tiga detik. Kala dia melihat pemandangan luar biasa di depan matanya, gadis itu tidak bisa menahan mulutnya yang menganga. Mata hitamnya melebar dengan penuh rasa kagum.

Cahaya dari batu berwarna-warni berangsur-angsur bergerak dari tengah, memenuhi seluruh gua. Termasuk langit-langitnya. Bentuk dari benda-benda yang menunjukkan cahaya itu bermacam-macam dan abstrak. Tapi jelas bahwa itu adalah batu kristal.

Sayangnya, baru dua menit bersinar, cahaya itu redup dan menghilang kembali. Sahara hanya bisa menganga dengan heran. Kenapa cepat sekali menghilang?

Gadis itu melangkah dan menyentuh sisa kristal yang masih memancarkan cahaya meski redup. Tapi tak terjadi apapun. "Bagaimana bisa bercahaya seperti tadi, Ferr?"

Hening. Tak ada suara yang menjawab kalimat Sahara selain gema dari suaranya tadi. Apa ini? Kenapa suasananya jadi terasa tidak mengenakkan?

Sahara mengedarkan pandangan. Meski begitu, apa yang bisa kau dapatkan di ruangan gelap gulita tanpa cahaya? Yah, hanya warna hitam.

Tak begitu lama, terdengar suara tapak kaki sepatu di atas batu. Sahara memfokuskan telinganya. Dalam keadaan gelap gulita begini, yang bisa dia gunakan hanyalah telinga dan Indra peraba.

"Cepat, Su! Aku lihat cahayanya dari sini."

Suara berat itu milik seorang lelaki, diikuti dengan derap langkah yang terdengar makin dekat.

"Sabar, Ed! Kalau kau lupa, aku menggunakan gaun! Dan gaunku basah!"

Netra Sahara menatap lurus ke depan. Secercah cahaya biru nampak agak jauh di sana. Hal itu membuat Sahara waspada. Sepertinya manusia ini yang membuat Ferr diam sejak tadi. Yah, naiad di wilayah WildArea sangat membenci manusia. Jadi setiap melihat manusia selain Sahara, mereka akan diam dan bertingkah seolah tidak ada. Bukan karena takut. Tapi karena mereka tidak ingin menghabisi manusia-manusia itu disebabkan perjanjian antara leluhur mereka dengan Raja Narnia pertama. Setidaknya itu yang Sahara dengar dari Mel.

Gadis itu berjongkok. Menanti makhluk yang sepertinya adalah manusia. Harapnya begitu.

Tak begitu lama, cahaya yang mendekat itu menampilkan dua kepala manusia, tentu dengan badannya.

Sahara melihat dua kepala hitam, jauh di depan sana. Yang satunya berambut panjang, satunya berambut pendek dan lebih tinggi. Wajah mereka agak tidak jelas karena minimnya cahaya dan jauhnya jarak mereka. Meski kedua manusia itu membawa obor, tapi tetap saja Sahara kesulitan melihat wajah mereka.

"Loh? Kenapa gelap?" Si pria nampak terdiam. Alisnya mengernyit ragu apakah yang tadi dia lihat hanyalah halusinasi semata ataukah memang sungguh ada cahaya.

"Katanya kamu melihat jalan keluar. Mana, Ed?" Perempuan di belakangnya terengah-engah. Lelah berlari dan memilih untuk duduk di tanah begitu saja. Mengabaikan tata Krama dan martabat yang menunjukkan kebangsawanan. Paling tidak kebangsawanannya masih nampak dari pakaiannya yang terbuat dari sutra.

Lelaki yang dipanggil Ed itu berdecak. "Aku juga tidak tahu kemana cahayanya, Susan. Tadi jelas-jelas ada cahaya dari sini. Aku yakin sekali."

Sang gadis yang dimaksud menggelengkan kepala. "Kau pasti habis halusinasi, Edmund. Terkurung terlalu lama di ruangan gelap membuatmu menghayal berlebihan. Sudahlah, aku lelah. Biarkan aku istirahat beberapa menit."

Sahara yang mengamati di balik kegelapan itu hanya bisa meneliti dari jauh. Dia memandang pakaian laki-laki yang begitu mewah itu. Baju dengan kerah emas dan pedang yang bahkan bersinar keperakan kala cahaya obor mengenainya meski sedikit.

Orang ini pastilah orang kaya. Mungkin bangsawan kelas atas. Eh, tapi tadi nama mereka siapa? Edmund? Susan?

Kenapa rasanya seperti familiar?

Edmund, Susan, bukankah itu nama Raja dan Ratu Narnia? Kenapa mereka datang ke sini?

"Narnia?" Lirihnya menduga. Kalau ini dunia Narnia, itu akan cukup menjelaskan kenapa ada dua manusia bernama Edmund dan Susan.

Gadis itu kini menengadah. Gawat. Suaranya yang sangat kecil itu bergema di gua hening ini. Hal itu membuat Edmund di depan sana menyodorkan obor.

"Siapa disana?"

Sahara berdecak. Hilang sudah kesempatan pulang diam-diam. Gadis itu berdiri dan mengangkat kedua tangan, sejejer dengan kepalanya.

"Ya ampun. Kenapa tegang sekali? Aku kan tidak berbahaya." Gadis berambut hitam gelombang itu menatap ekspresi Edmund yang nampak semakin waspada.

Sahara santai saja. Setelah diperhatikan, dua manusia ini sepertinya masih remaja. Mungkin yang laki-laki baru berumur lima belas tahun.

"Kalian mau keluar, kan?" Sahara tersenyum kecil. Meski wajahnya tak akan begitu terlihat karena jarak obor yang jauh.

Edmund menoleh pada saudaranya yang telah berdiri di sebelahnya. Susan yang tadi masih duduk santai itu, kini berdiri menatap Sahara dengan serius. Dia sekarang tengah menunjukkan martabat dari para bangsawan yang biasanya Sahara lihat di film-film barat.

"Bolehkah kami mengetahui siapa kau, wahai nona?" Suara perempuan itu terdengar lembut dan sopan.

Sahara mengangkat bahu. "Bukankah kalian yang harus memperkenalkan diri kalian sebelum mempertanyakan aku siapa?"

Belum sempat ada yang menjawab kalimatnya, Sahara kembali bicara. "Oh, ataukah karena kalian terbiasa orang-orang memperkenalkan diri lebih dulu karena kalian adalah Raja dan Ratu Narnia?"

Senyum kecil tadi berubah menjadi seringai kala Edmund kini menatap Sahara dengan beringas. Seolah dia akan mencabik-cabik Sahara jika dia bersuara sekali lagi. Tapi di mata Sahara justru jadi terlihat menggemaskan karena Edmund rasanya seperti anak kucing yang bertemu orang asing.

"Kalau sudah mengenal kami, kenapa masih memerpertanyakan siapa kami?" Suara Edmund terdengar berat, jelas sekali dia emosi karena sikap Sahara yang seperti meremehkan mereka.

Susan maju selangkah dan menahan Edmund dengan tangannya. Dia meminta sang adik untuk diam dengan tatapan melalui ekor mata. Perempuan itu masih mempertahankan raut tenangnya. Dengan senyum lembut dia membungkuk sedikit pada Sahara, hendak memperkenalkan diri. "Aku Susan. Ratu Agung dari Narnia. Di sebelahku adalah Edmund, Saudaraku sekaligus Raja Narnia."

Sahara mengangguk. Tak mempermasalahkan sikap Edmund yang kasar tadi.

"Aku Sahara. Putri dari Zen. Kalau boleh tahu, kenapa Raja dan Ratu Narnia datang kesini?"

Kalau dilihat dari sisi Edmund, memang sudah sepatutnya Sahara memperkenalkan diri dan bersikap sopan ada Raja dan Ratu Narnia ini. Tapi sayangnya, tidak begitu dari sudut pandang Sahara.

Dia adalah putri Zen. Harimau yang menguasai setengah bagian Wildarea. Karena dia putri Zen, otomatis dia merupakan calon penguasa berikutnya. Lalu, semua makhluk di Wildarea yang berada di bawah kekuasaan Zen sangat menurutinya. Bisa dibilang Sahara adalah penguasa kecil disini.

Dan Wildarea tidak tunduk pada Narnia. Mereka melakukan perjanjian damai untuk tidak terlibat satu sama lain. Otomatis, kedudukan Sahara sebenarnya sama rata dengan Raja dan Ratu Narnia. Jadi tidak ada masalah jika dia yang memperkenalkan diri lebih dulu, ataupun Raja dan ratu Narnia lebih dulu. Toh, status mereka sama.

"Aku dan Edmund tadi menaiki sampan untuk melihat-lihat keadaan danau. Saat mendayung cukup lama, kami menemukan gua di depan sana. Alhasil kami masuk ke sini dan berakhir disini. Kami tidak bisa kembali ke depan sana karena lupa dengan jalan yang bercabang." Susan menjelaskan.

Sahara mengangguk saja. Tak begitu peduli sebetulnya kenapa dua orang ini kesini. Dia bicara pun hanya karena basa-basi. "Jadi kalian mencari jalan keluar. Baiklah. Ikuti aku. Kita akan keluar lewat jalanku."



TBC~

Maaf agak telat... Soalnya aku sibuk banget sebulan terakhirಥ⁠‿⁠ಥ

______________________________________

31 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top