Bab 5

Langit cerah tanpa awan. Angin lembut berhembus dari selatan, menggoyangkan lembut pepohonan dan semak-semak hijau khas musim panas. Matahari menyengat ke kulit masing-masing yang berdiri di bibir danau Frozen Lake. Jemari lentik Susan mengelap peluh yang menetes dari pelipisnya. Meski angin masih berhembus, tapi saat ini dia berdiri tepat di bawah terik matahari.

Ditengah musim panas, sebagai Ratu Agung dia terpaksa berada di luar ruangan karena urusan pekerjaan. Padahal biasanya dia hanya berada di dalam ruang kerjanya sambil menikmati secangkir teh limun yang menyegarkan. Tapi saat ini dia justru berdiri di bawah terik matahari, mengawasi para pekerja yang sibuk meninjau lokasi.

Napasnya terasa cukup sesak karena panas, ditambah korsetnya yang memang sedikit mencekik. Perempuan muda itu menghela napas untuk ke sekian kalinya. Dia memegang payung biru muda yang menutupi kepalanya dengan cukup erat. Berharap dia bisa bertahan di bawah terik matahari lebih lama lagi.

"Yang Mulia, selagi menunggu kami, bagaimana kalau anda jalan-jalan saja sambil menggunakan perahu?" Truber, seekor faun pengawal memberikan usulan. Sepertinya dia kasihan pada Ratu mereka karena harus berdiri di bawah panas terik matahari alih-alih istirahat di dalam ruangan.

Edmund mengangguk. "Kurasa juga begitu. Bagaimanapun, kau harus istirahat, Su. Terus-terus di bawah panas matahari tidak akan bagus untuk kesehatanmu. Apalagi kepalamu yang gampang panas itu."

Susan menoleh dengan malas. "Apa maksudmu kepalaku yang gampang panas?"

Terlalu lelah untuk berdebat, tapi kalimat Edmund entah kenapa membuatnya emosi. Mungkin karena dia memang berniat untuk mengejek kakak tercinta, atau sesuai katanya, karena panas matahari yang terlalu menyengat, membuat kepala Susan jadi gampang panas.

Edmund hanya mengangkat bahu. Tak ingin memperpanjang masalah. Tumben sekali dia begini. Mungkin dia sedang dalam mood yang bagus. Mata biru tajam milik Edmund menoleh pada seekor faun, pengawal mereka yang lain, sedang sibuk menggosok-gosok tanah. "Hey, kau. Tolong bawakan kami perahu."

Faun itu menoleh dan mengangguk cepat. Dia pergi mencari sampan yang biasanya di taruh di pinggir danau. Sejak menjabat jadi Raja, Peter lebih dulu mengurus danau Frozen Lake. Dia menyuruh para berang-berang mendesain perahu dan meminta para beruang membuatkannya. Perahu kecil itu disimpan di danau Frozen Lake agar siapapun yang ingin melewati danau besar itu bisa langsung memakainya begitu saja.

Perahu itu tersebar dimana-mana. Jadi mudah bagi siapapun memakai perahu. Terutama Susan dan Edmund.

Edmund melebarkan senyum saat melihat perahu kecil telah berada di dekat mereka. Dia menarik faun yang memegang alat dayung di atas perahu itu. "Awasi para pekerja. Aku dan Ratu Agung akan melihat-lihat area danau."

Faun itu patuh dan langsung menjalankan tugasnya. Meninggalkan Edmund yang memegang alat dayung dan Susan yang tengah bersedekap.

Susan mengernyit. "Kita hanya yang pergi? Berdua?" Dia terlihat cukup bermasalah.

Memang sangat jarang mereka pergi ditemani para pengawal. Bahkan waktu ekspedisi ke wilayah Utara saja Susan pergi berdua dengan Peter. Bayangkan, ditengah badai salju, mereka pergi ke Ettinsmore yang tidak begitu menyukai mereka. Tapi karena keduanya memang cakap di bidang masing-masing, jadi masalah terselesaikan dengan cepat.

Meski begitu, di perjalanan kali ini Susan merasa jadi ingin mencari masalah dengan Edmund. Dia ingin membuat adik kesayangannya emosi entah karena apa. Mungkinkah Susan sedang datang bulan? Entahlah.

Nampak Edmund mengangguk tanpa menoleh. Dirinya masih sibuk mengokohkan tangannya agar berada di posisi yang tepat untuk memegang alat dayung saat dia menjawab. "Anggap saja kita jalan-jalan biasa. Lagipula aku kesatria terhebat di Narnia. Dan kau Ratu Agung dengan kuasa mutlak kedua setelah Peter. Memang siapa yang bisa melukai kita?"

Benar juga. Sejauh ini Narnia pun aman-aman saja. Tidak ada serangan yang diberikan pada para penguasa dari sudut pandang Susan. Yah, meski dari sudut pandang Edmund jelas itu beda. Dia yang paling sering di kirimkan sihir hitam dari para pengikut setia Jadis. Lupakan saja yang terakhir. Itu tidak begitu penting.

Berkat kalimatnya, Susan menghela napas panjang. Kaki berbalut sepatu biru tua itu melangkah dengan lembut menaiki perahu. Dia mendudukkan diri dengan tenang. Matanya melirik kembali ke arah para pekerja yang sibuk bekerja.

"Apa tak masalah meninggalkan mereka begitu saja?" Dia masih cukup ragu.

Tapi Edmund tak menjawab. Terlalu malas rasanya. Dia mulai mendayung. Perahu perlahan-lahan bergerak, menuju tengah danau. Cukup lama keduanya berada di atas perahu. Angin sepoi-sepoi membelai pipi Susan, memainkan rambut hitam berkilaunya.

Edmund tetap mendayung tanpa lelah. Dia memang suka melatih fisik, jadi mendayung perahu seorang diri bukanlah masalah besar melainkan sebuah hiburan untuknya.

"Apa kita pulang saja?" Susan menawarkan. Ia membuka mata sambil melihat-lihat sekeliling seolah masih ingin berada di perahu. Cukup berlawanan dengan apa yang dia katakan.

Edmund terdiam, matanya juga menatap sekeliling. Tapi berhenti untuk melihat sesuatu di ujung sana. Nampak seperti celah besar. "Kita ke sana dulu. Aku tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya."

Susan menoleh. Kalau diperhatikan, itu lebih mirip gua di bibir danau. Karena penasaran, jadi dia hanya mengangguk tanpa protes. Cukup jarang melihat gua di sekitar danau di Narnia. Biasanya ada di bawah gunung, ataupun di pinggir pantai.

Edmund mendayung perahu dengan cekatan. Seolah jadi atlet dayung perahu yang handal, kecepatan perahu mereka meningkat. Susan menikmati setiap hembusan angin yang menggelitik pipinya.

Tanpa sadar, perahu memasuki sebuah celah gua yang rupanya cukup besar. Dalamnya cukup indah. Cahaya matahari yang mengenai air, memantul di langit-langit gua. Bagian depan memang cukup terang. Tapi semakin kedalam, semakin gelap pula gua ini.

"Kita pulang saja, ya." Perasaan Susan mulai tidak enak sekarang. Melihat di kegelapan mutlak di depan sana membuatnya merasa tidak nyaman.

Lain dengan sang kakak, Edmund justru merasa penasaran. Jadi dia menggeleng. "Kita melihat-lihat dulu. Aku cukup penasaran ujungnya apa."

Perahu bergerak dengan cukup lambat, tidak secepat tadi. Karena Edmund ingin berhati-hati dengan apa yang akan menanti mereka.

Suara gemercik air memasuki pendengaran masing-masing. Susan menggeleng menatap saudaranya yang masih menatap ke depan dengan tatapan berbinar. Instingnya kuat untuk bilang agar mereka putar balik saja.

Susan terdiam sejenak saat dia mendengar gemercik air. Perempuan itu menajamkan pendengarannya. "Ed, kau dengar itu?"

Edmund mengernyit. Telinganya hanya mendengar suara air. "Suara air? Iya. Kita kan ada di danau. Wajar ada suara air, kan?"

Sang kakak menggeleng lagi. "Tidak wajar, Ed. Kita di danau yang tenang. Bukan di laut atau sungai yang mengalir. Suara air itu pastilah air terjun."

Seolah bagai orang bodoh, Edmund memiringkan kepalanya. Padahal dia sudah pernah berada di tengah hutan bersama Peter untuk berburu, meneliti suasana sekitar. Tapi dia tidak mengerti dengan maksud Susan. "Lalu? Memang kenapa kalau air terjun?" Edmund mengernyit bingung.

Susan mengepalkan tangan, menahan agar tangannya itu tidak menonjol wajah tampan adik tercinta. "Kita bisa tenggelam kalau air terjunnya mengenai kita, King Edmund The Just! Putar balik perahunya!"

Edmund tetap kekeh menolak perintah sang kakak. Apa yang bisa terjadi? Kalau jatuh dari perahu, ya tinggal berenang. Toh, baik Susan maupun Edmund, keduanya bisa berenang. Apa masalahnya?

"Kurasa tidak ada air terjun, Su. Perahu akan berguncang kalau ada air terjun. Lihatlah perahu kita tenang-tenang saja."

Netra Susan melebar. Gelengan kepalanya tak kunjung berhenti seolah menyetujui perasaan tidak enaknya. "Itu artinya..."

Susan berhenti sejenak untuk menoleh pada kegelapan di belakangnya. Sedangkan Edmund mengangkat alisnya bingung. "Artinya apa?"

"Air terjunnya tidak mengarah ke kita. Tapi mengarah ke bawah sana."

Benar saja. Tepat setelah Susan mengatakan itu, perahu berubah miring dengan drastis. Jemari lentik Susan segera memegang pinggir perahu agar tubuhnya tidak terlempar ke bawah sana. Meski panik dia berusaha untuk mempertahankan tubuhnya agar tetap berada di atas kapal.

"HUAAAAAAAAAAA!"

Ya, itu teriakan Edmund.

Perahu kecil mereka terbanting. Terdengar bunyi bedebum keras. Susan bisa merasakan tubuhnya basah kuyup, terhantam oleh air yang mengenainya. Bahkan dia sampai menelan beberapa teguk air.

Tak jauh beda dengan Susan, Edmund kondisinya juga basah kuyup. Tangan lelaki itu bahkan hampir terlepas dari perahu. Jika saja dia tidak kuat menahannya, dia pastilah sudah tidak ada di atas perahu ini lagi.

Setelah melalui segala macam hantaman air, barulah perahu mereka berhenti bergerak. Air pun tidak lagi mengenai tubuh mereka. Jika saja ada cahaya, Susan pasti sudah bisa melihat ekspresi adiknya yang terbatuk-batuk karena menelan banyak air.

Hanya saja, saat ini mereka berada di kegelapan. Benar-benar gelap tanpa cahaya sama sekali.

Susan memijit pelipisnya. Ingin sekali dia mendelik pada sang adik dan bilang 'Jika saja kamu mengikuti kataku untuk memutar balik perahu, kita tidak akan seperti ini'. Tapi tidak. Dia menahan semua suara itu dan tetap diam sambil memikirkan jalan keluar. Bagaimana mereka bisa keluar dari tempat gelap ini dan kembali ke pinggir Danau?

"Apa mataku yang bermasalah, atau memang ada cahaya di ujung sana?" Suara Edmund terdengar.

Susan berbalik menatap cahaya biru kecil yang nampak jauh sekali. Alisnya mengernyit kesal. "Kita kesini karenamu, jadi kau yang harus cari jalan agar kita bisa pulang." Dia mendesis, emosi sendiri karena sikap Edmund yang sebelumnya cukup keras kepala.

Dia tidak bisa melupakan karena siapa keduanya bisa berada disini. Andai saja Edmund menuruti kalimatnya dan tidak begitu santai sejak awal, keduanya pasti sedang membuat tenda di tempat yang seharusnya. Bukan basah kuyup di tengah kegelapan.

Suara Edmund tak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah gemercik air seolah ada yang tengah mendayung perahu. Sepertinya Edmund sehebat itu sampai masih selamat ditambah dengan dayung yang masih berada di tangannya.

Susan menunggu dengan sabar. Perahu bergerak agak lambat. Meski begitu, berangsur-angsur cahaya di ujung sana kian mendekat.

Setelah tiba, barulah mereka tahu. Cahaya biru itu merupakan dua obor biru yang berdiri kokoh di depan sebuah pintu tanpa daun. Kaki Susan turun dari perahu dan menginjak lantai batu yang menjadi teras luar dari pintu itu. Di sebelah obor, terdapat banyak sekali kayu hitam yang berbentuk seperti obor yang bisa dibawa kemana-mana. Susan mengambilnya dan mengarahkannya ke obor yang berdiri kokoh itu.

Edmund hanya menatap dengan takjub. Apinya berwarna biru, kawan. Siapa yang tidak kaget? Oh, selain Susan tentunya. Entah dia tahu bahwa api biru itu benar-benar ada atau dia memang terlalu pintar dan sudah tahu segalanya.

"Tempat apa ini?" Edmund menatap sang kakak.

Susan hanya mengangkat bahu tak tahu. Tangannya mengambil kayu berbentuk obor dan membakarnya di obor biru. Dia melangkah tanpa ragu memasuki pintu tanpa daun di depan mereka. Tangannya mengarahkan api yang dia pegang ke sekitar ruangan. Alisnya mengernyit setelah menduga-duga tempat apa ini kira-kira. Setelah diam dalam kebingungan selama beberapa detik, dia membuang obor yang dia pegang ke parit di sebelah pintu.

Api dengan cepat menyebar dan mengelilingi ruangan.

Netra keduanya melebar. Ruangan ini terlampau besar. Ada banyak sekali kursi batu panjang yang berjejer, lebih seperti dalam gereja. Di depan sana ada sebuah altar. Tapi entah kenapa altar itu begitu familiar di mata Susan.

"Meja Batu."

Gadis itu melangkah tanpa ragu. Menaiki altar batu dan meraba Meja Batu yang dia ingat sekali sebagai tempat Aslan mempersembahkan dirinya. Tapi meja batu ini tidak retak, berbeda dengan meja batu yang itu.

"Kau tahu tempat apa ini?" Edmund ragu. Dia mengedarkan pandangan dan mendapati gambar singa di langit-langit ruangan.

"Entahlah. Tapi mungkin ini merupakan salah satu tempat rakyat Narnia berlindung dulu." Susan menatap ke depan sana. Di dinding, ada ukiran harimau dan banyak hewan buas lain. Posisinya persis dengan buku yang pernah dia baca.

Selagi Susan sibuk dengan ukiran di dinding, Edmund justru salah fokus dengan salah satu pintu tanpa daun lain di depannya. Dia berlari kecil dan keluar untuk mengambil obor tangan lalu menyalakan apinya. Lantas melangkah ke pintu tanpa daun yang dia amati tadi.

Rupanya itu adalah lorong panjang. Entah kemana ujungnya, sepertinya itu merupakan satu-satunya tempat keluar di sini. "Susan, kurasa kita harus lewat sini. Tidak ada jalan lain."

Susan dengan segera menoleh. Dia mengangguk dan mengikuti adiknya dari belakang.

Dalam keadaan basah, keduanya melangkah dengan harapan, semoga mereka bisa keluar dari tempat gelap ini.



TBC~

Btw maaf, karena lebaran aku jadi lupa buat post ini.(⁠人⁠*⁠´^`⁠)

Seperti biasa, kalau ada typo, bilang ya.

______________________________________

5 Juli, 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top