Bab 4
Hari perburuan di Narnia dilaksanakan sekitar satu pekan sebelum musim panas berakhir. Untuk itu, Susan dan Edmund akan pergi meninjau lokasi yang akan dijadikan tempat berburu. Mereka akan memastikan kalau lokasi yang mereka pilih tidaklah berbahaya. Meskipun Narnia memang selalu aman karena rakyatnya yang baik dan tidak suka mencari masalah, tapi bencana alam tidak bisa di abaikan.
Susan dan Edmund akan menilai tanah dari lokasi agar jauh dari kata longsor, juga menilai cuaca agar tidak ada badai hingga hari perburuan tiba. Untuk itu, Susan meminta agar makhluk mistis yang bisa membaca cuaca juga hewan berbicara yang bisa menilai tanah berkumpul.
Tapi apa ini? Semua makhluk yang diminta memang sudah datang. Hanya saja, kenapa tikus tanah yang paling ahli di bidangnya justru tidak datang?
"Kemana tikus tanah?" Susan yang berdiri di depan centaur, naiad, draiad, tupai, berang-berang, juga seorang manusia biasa itu mengernyit. Matanya menatap satu persatu rakyat Narnia dengan bingung. Berharap ada satu saja yang mau menjawab.
Tapi nihil. Semuanya saling menatap satu sama lain, berbisik, menanyakan pada yang lain kemana gerangan tikus tanah yang tak pernah absen? Biasanya tikus tanah adalah hewan berbicara yang paling rajin muncul meski dia jarang dipanggil. Biasanya muncul karena salah menggali tanah. Tapi kenapa kali ini mereka menghilang tanpa kabar?
Suara tapak kaki terdengar. Itu berasal dari satu-satunya manusia dari kalangan rakyat biasa disana. Dia melangkah menuju ke arah Susan, berjarak tiga meter dari perempuan itu.
Wajahnya rupawan dengan mata emas nan sayu, hidung mancung, kulit porselen yang agak kemerahan. Bibirnya agak tebal dengan lesung pipi saat dia tersenyum atau berbicara. Perempuan biasa pasti akan tergila-gila padanya. Terima kasih utuk selera Susan yang hanya menyukai pria berambut hitam. Kalau tidak, Susan pasti sudah mempersunting pria ini.
Lelaki itu memberikan senyum terbaiknya, dia menaruh tangan kanan di dada kiri, membungkuk dengan hormat kepada Susan. "Menjawab, Yang Mulia." Suaranya indah, tenang bagaikan air di danau. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
"Para tikus tanah sedang kesulitan mengatasi banjir yang memasuki rumah mereka. Karena itu, saya yang tinggal dipinggiran ini di utus untuk mewakili mereka." Dia menatap ke arah Susan. Matanya jernih tanpa ada niat apapun.
Itu jelas membuat Susan mengangkat alis. Jarang sekali menemukan manusia tulus seperti dia. Hal itu membuat Susan sedikit terperanjat. Tapi dengan segera dia memasang wajah tanpa ekspresi. Membuat dirinya seolah mengeluarkan aura dominasi tinggi, menunjukkan dirinya adalah penguasa di tanah ini.
Entahlah orang ini jujur atau tidak, Susan harus tetap waspada padanya. Siapa yang tahu kalau dia adalah orang jahat? Penyusup mungkin? Itu hanya spekulasi Susan karena terlalu sering mendapat perkamen ajakan perang dari wilayah lain.
Mata biru cerah Susan menatap lelaki itu dengan seksama. Meneliti mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Dia tahu Narnia dan Archenland memiliki hubungan diplomatik yang mengakibatkan beberapa keluarga manusia dari Archenland di izinkan tinggal di Narnia.
Hubungan itu dimulai sejak setahun yang lalu karena Peter ingin adanya hubungan harmonis Narnia dengan negara tetangga. Kalau tidak salah ingat, selama setahun ini sudah ada lima keluarga yang pindah dari Archenland. Mungkinkah laki-laki di depan ini adalah salah satu dari mereka?
"Perkenalkan dirimu." Susan meluruskan punggungnya kala bibirnya mengatakan kalimat itu seperti kalimat perintah.
Lelaki itu terdiam sejenak sebelum menjawab. "Saya Ash, Yang Mulia." Hanya itu yang dia sebutkan. Dengan suara tenang dan senyum rupawan di bibir merah mudanya.
Kalimatnya seolah memberikan kode pada Susan. Seolah dia mengenal Susan entah kapan dan dimana. Mungkin jika dia berhadapan dengan Lucy, adik kecilnya itu pasti akan langsung tahu. Karena Lucy memiliki insting yang kuat untuk mengenali seseorang. Lain hal dengan Susan yang cukup sulit mengenali seseorang.
Carolus, anak laki-laki dari Oreius sang pahlawan dari bangsa centaur menggeram rendah. "Beraninya kau memperkenalkan diri dengan singkat di depan Yang Mulia Ratu Agung!"
Tata krama para rakyat Narnia adalah memperkenalkan siapa mereka, dari mana asal mereka, kalau bisa keluarga juga diperkenalkan. Tapi Ash hanya menjawab singkat. Seolah mengenal Susan dengan sangat akrab.
Nampak yang lain meski tak berisik, timbul tatapan tajam dari mata mereka. Mencemooh Ash mulai dari ujung rambut hingga kaki, meski itu hanya ada di dalam kepala mereka. Tentu tak ada yang seberani bangsa centaur. Jadi mereka hanya bisa menghina di dalam kepala masing-masing.
'Beraninya seorang manusia biasa bertingkah seolah akrab dengan High Queen?'
Begitulah kurang lebih isi kepala mereka semua.
Susan mengangkat tangan, meminta Carolus diam. Matanya masih fokus ke arah Ash yang terasa familiar tapi juga asing di saat yang bersamaan. "Aku seperti mengenalmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Sang empu diam agak lama. Matanya berkedip pelan seolah ikut memproses kalimat Susan dan mengubahnya menjadi sebuah jawaban yang masuk akal. "Saya tidak yakin. Tapi memang benar saya mengenal anda."
Edmund yang berdiri di sebelah Susan menghela napas panjang. Ash terlihat jelas antara tidak bisa menjawab atau tidak tahu jawabannya. Dan itu membuang waktunya. Waktu mereka tepatnya. Edmund tidak suka itu. Membuang-buang waktu adalah satu dari sekian banyak hal yang tidak pernah ingin dia lakukan.
"Hentikan, Su. Bicaralah dengannya setelah pekerjaan kita selesai saja. Kalau kau lupa, aku punya banyak sekali perkamen yang harus digambar. Ada banyak sekali tanah yang belum selesai aku buat peta. Jadi, daripada bicara yang tidak penting tentang asal-muasal Ash, mending kita segera pergi ke Frozen Lake."
Susan dengan ragu mengangguk. Kalau dipikir, memang dia sudah menghabiskan waktu orang-orang di sini. Padahal tujuan mereka adalah memastikan agar lokasi perkemahan tetap aman. Susan malah sibuk ingin mencari tahu siapa Ash ini.
"Yang penting kau bisa bekerja, ikutlah. Kita berangkat sekarang."
***
Bunyi burung mencicit membuat Sahara mengernyit. Sangat jarang mendengar suara burung di tengah hari. Biasanya mereka akan berisik di pagi hari tapi diam di siang hari. Baru kali ini burung-burung itu berisik.
"Ada kejadian apa hari ini?"
Srak.
Kini suara semak-semak yang membuat Sahara menoleh. Sekawanan burung api masuk melewati semak belukar tanpa membakar sedikitpun yang ada di sekitarnya. Mereka tak besar. Hanya seukuran kepalan tangan. Ah, lebih mirip anak ayam, sih.
Semuanya ada sepuluh. Yang paling besar berjalan paling depan. Ada jambul merah di kepalanya. Kalau begini, justru jadi mirip ayam kate.
Sahara menutup mulut karena terlalu gemas. Melarang tenggorokannya mengeluarkan teriakan penuh semangat atas apa yang dia lihat.
Sepertinya mereka adalah para Phoenix yang di maksud Mel. Sungguh di luar dugaan. Sahara pikir mereka akan mirip seperti burung Phoenix milik Albus Dumpurrdore dari film Harry Otter. Rupanya mereka lebih mirip ayam kate versi lebih kecil.
"Halo, Sahara. Lama tak berjumpa."
Berbeda dengan ukurannya yang mini, suara ayam—maksudnya Phoenix ini justru terdengar besar dan berat. Sahara jadi tersadar kalau yang tengah berdiri di depannya ini bukan ayam. Melainkan Phoenix sang burung api.
"Halo, Phoenix."
Sang burung justru nampak sedih. "Aduh. Kamu pasti mengira aku kakek tua itu. Sudah bukan lagi, Sahara."
Angin berhembus kencang, membuat Sahara tanpa sadar menutup wajahnya, menghindari mata dari terpaan angin yang mungkin saja membawa debu. Kalau debu itu masuk ke mata kan bisa bahaya. Jadi harus tutup mata saat angin kencang datang mendadak.
Saat angin kencang mulai memudar, Sahara baru membuka mata. Di depannya kini ada burung api setinggi dirinya. Tapi burung-burung kecil yang mengikutinya tak kunjung berubah. Alis Sahara terangkat sebelah.
"Sahara, ini aku. Poem. Phoenix sudah mati bulan lalu. Dia sedang menjalani masa kebangkitan kembali di sarang. Aku menggantikannya sebagai keturunan yang telah mencapai kedewasaan. Membimbing anak-anak yang berumur sama denganku." Poem si Phoenix menoleh pada anak-anak Phoenix lain yang masih berukuran anak ayam.
Sepertinya pemimpin sesungguhnya bangsa burung api itu bernama 'Phoenix'. Dan bulan lalu dia sudah mati. Tapi burung Phoenix adalah burung abadi, jadi jika mati maka akan terlahir kembali. tapi sepertinya lahir kembali pun membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama. Untuk mengisi kekosongan karena tidak ada yang bisa hari ke hari ulang tahun Sahara nanti, jadi cucunya yang bernama Poem ini datang mewakili kakeknya. Entah kemana ayah dan ibunya. Tapi yang jelas Poem memimpin sembilan burung Phoenix yang seumuran dengannya dari gunung diujung samudera hingga kesini.
Hebat juga Poem.
"Mereka kelelahan terbang dari gunung api di ujung samudera ke sini. Karena itu mereka menggunakan tubuh kecil untuk menghemat energi." Poem lanjut menjelaskan.
"Lalu kenapa kamu bisa berubah jadi sebesar itu?" Sahara menunjuk burung api itu.
Yang dimaksud justru menyeringai. "Itu karena aku pemimpin mereka! Aku lebih kuat dari mereka. Bagaimana, kau iri dengan staminaku, kan? Kau tidak bisa berubah besar seperti aku, kan?"
Ah, ternyata Poem adalah burung yang cukup gemar memamerkan diri. Burung api yang seukuran anak ayam di kakinya pun ikut menyombongkan pemimpin mereka.
"Benar! Poem yang terbaik!"
"Hanya poem yang bisa melakukan ini!"
"Poem luar biasa!"
Oh, sungguh menyakitkan telinga. Sahara tidak iri. Jujur. Dia hanya kesal karena mereka semua berisik. "Iya deh, iya. Lakukan sesukamu. Sekarang istirahatlah."
"Kudengar kamu ingin jalan-jalan. Aku akan menemanimu, Sahara. Kita bisa membangkitkan kembali kejayaan kita di masa muda!" Poem mengangkat sayap kanan kemerahannya. Hidungnya menghembuskan asap panas karena dia terlalu bersemangat.
Sahara menggeleng. "Lupakan itu. Kita lakukan besok saja. Untuk sekarang istirahatlah. Aku tahu kalian semua kelelahan karena perjalanan jauh."
Para burung api itu menatapnya terharu. "Terima kasih!"
•
•
•
TBC~
______________________________________
26 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top