Bab 24

Matahari masih terik saat Peter turun dari kudanya. Dia menarik tali kekang kuda itu menuju area perburuan. Matanya menatap awas kalau-kalau muncul musuh secara tiba-tiba. Namun nihil, hutan itu nampak sepi kala dia melewatinya.

Peter melangkah dengan pelan, Almond si kuda juga terdiam sambil melangkah. Keduanya berhenti saat mendapati siluet yang duduk di bawah pohon lebat.

Peter menyipitkan mata, menyadari siluet itu adalah Susan yang nampak seperti tengah memangku sesuatu, dia segera melepas tali Almond. Lupakan kuda, adiknya lebih berharga!

Lagipula Almond punya kecerdasan sendiri, jadi dia akan datang jika dipanggil.

"Susan!" Dia berseru. Meraih lengan Susan dan memeluknya erat. Sedari tadi dia khawatir akan kabar adik-adiknya. Meski tahu mereka akan melewati semuanya dengan baik, tetap saja sebagai kakak tertua dia akan senantiasa khawatir akan keadaan mereka.

Susan menepuk punggung sang kakak pelan. Dia menarik diri dan menatap wajah khawatir Peter. Senyum teduh terbit di bibirnya. Hal itu lebih dari cukup untuk menenangkan Peter.

Lelaki itu memegang pipinya dengan kedua tangan. "Kamu tidak terluka, kan?" Tanyanya khawatir.

Susan menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja. Berkatmu yang membiarkanku pergi, aku bisa tiba disini dengan selamat."

Peter menghela napas lega. Setelah puas mengetahui Susan baik-baik saja, barulah dia menurunkan pandangan. Netranya bertemu dengan wajah pucat Edmund yang berbaring di pangkuan Susan.

"Ed!" Serunya panik. 'Tidak, jangan bilang Edmund meninggal? Itu tidak boleh terjadi!' Batinnya resah. Dia segera menepuk pipi Edmund kasar. "Ed, kau masih hidup, kan?"

Susan segera menghentikan tangannya karena panik. Pasalnya Peter menepuknya seperti menampar pipi Edmund. "Apa yang kau lakukan? Edmund baru saja membaik. Kenapa kau harus memukulnya begitu?"

Lihat saja, kini nampak bekas tangan berwarna merah di pipi putih Edmund. Kasihan kulit mulusnya.

Peter terdiam sejenak. Dia menatap Edmund dari ujung kepala hingga kaki. Ada banyak bekas darah kering, tapi mata Peter terkunci pada lengan Edmund yang tertutupi kain yang dirobek dan digunakan seperti perban. Diantara yang lain, kain itulah yang paling banyak darahnya. Seolah-olah kain itu sudah direndam dalam darah yang masih basah sebelum ditempel di tangan Edmund.

"Apa yang terjadi? Kenapa berdarah begini?" Dengan lembut tangan Peter terulur untuk mengelusnya perlahan. Alisnya mengernyit dengan penuh kekhawatiran. Netranya berhenti di tangah Susan juga yang dihiasi darah kering. "Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada kalian?"

"Aku tidak mati. Dan kami baik-baik saja. Hanya terlibat pertarungan sederhana, jadi jangan menatapku dengan menyedihkan begitu." Edmund bicara. Dia menghela napas panjang dan membuka kelopak matanya. Menampilkan netra biru yang cerah.

Peter terdiam lagi. Saat sadar ini hanyalah akal-akalan adik-adiknya untuk membuatnya panik, senyum lebar terukir di bibirnya. "Dasar bocah nakal!" Katanya sembari mengacak rambut Edmund gemas.

Edmund terkekeh. "Harusnya aku yang bilang begitu. Kau mengganggu tidur siangku." Katanya memutar bola mata malas.

"Harusnya perbannya sudah dilepas sejak tadi. Tapi Edmund menolak dan bilang kita harus menjahili Peter." Lucy datang membawa sekeranjang buah jeruk yang dia petik di dekat sana.

Edmund mengangkat bahu dan mendudukkan diri. Dia melepas perban yang menutupi bekas luka tertembak panah. Ada bekas luka berbentuk lingkaran disana. Tanda tempat itu sempat bolong sejenak.

Peter menatap bekas luka itu dalam diam. Meski tak tahu kejadian sesungguhnya, dia yakin Edmund sudah melakukan hal yang baik. Dia segera mengacak rambut Edmund lagi. "Kau sudah besar. Bekas luka menandakan keberanian. Jadi jangan merasa rendah diri. Kau harus bangga."

Edmund mengangguk pelan. "Lagipula ini bekas luka yang kudapat untuk melindungi orang. Jadi kurasa ini cukup membanggakan."

Suara gedebuk terdengar dari samping. Ash tiba dan melempar seekor Satyr yang terikat oleh sulur tanaman ke hadapan para Pevensie. "Mana Sahara?" Sikapnya seperti seorang penculik yang mau menukar korbannya.

Edmund menatapnya lama dengan kening berkerut. Kenapa dengannya? Dia terlihat jauh berbeda dari kala mereka pertama bertemu. Dulu dia begitu sopan dan tenang. Tapi kemana semua kesopanan itu sekarang? Ash tak ubahnya sosok penjahat di mata Edmund sekarang. Terlebih dengan netra emas yang dingin dan tajam itu.

"Sahara membersihkan diri di danau. Jangan khawatir, dia akan segera kembali." Susan berkata dengan lembut. Meski dia tak yakin apa masalahnya, tapi dia pikir mungkin karena Ash merasa bertanggung jawab menjaga Sahara. Mengingat Zen memintanya untuk menjaga Sahara.

Ash melempar pedang yang penuh dengan darah kering ke sembarang tempat. Dia segera melangkah cepat menuju danau. Belum pergi terlalu jauh, Sahara sudah kembali dengan wajah basah dan berseri. Seperti habis cuci muka dan membersihkan diri sesuai kata Susan. Ada bercak darah di pakaiannya, melihat bercak itu seperti sudah lama kering, nampaknya dia tidak tergores sedikitpun.

Netra kelam gadis itu melebar. Dia berhenti saat melihat Ash yang bersimbah darah. "Ash?" Katanya kaget. Apa itu darahnya? Sebenarnya apa yang dia lakukan selama ini?!

Gadis itu segera berlari menuju Ash. Ash bisa merasakan telinganya berdengung. Dia tidak mendengar suara apapun selain suara Sahara. Angin berhembus pelan memainkan surai emasnya.

Ash tak mampu menahan diri. Dia membuka lebar lengannya, berlari menuju Sahara. Lelaki itu menarik Sahara dan menenggelamkan Sahara dalam pelukannya. Ash tidak pernah merasa setenang ini. Memiliki Sahara disisinya seperti membawanya menaik kereta kuda dengan kecepatan yang tak menentu. Cepat dan lambat, tak beraturan. Kadang khawatir berlebihan, kadang tenang hingga rasanya dia mampu untuk tidur saat itu juga.

Sahara melebarkan mata lagi. Tidak menyangka Ash akan memeluknya seerat ini. Seperti dia tidak ingin melepasnya pergi.

"Syukurlah." Lirih Ash. Lebih dari cukup untuk membuat Sahara dengar.

Gadis itu tersenyum lembut. Sebelumnya dia berpikir Ash mungkin meninggalkannya. Sekarang sepertinya itu hanya kesalahpahamannya sendiri. Tiba-tiba dia merasa malu karena sudah salah paham

"Ash, sudah. Aku baik-baik saja." Sahara menepuk punggung lebar lelaki itu.

Ash dengan tidak rela menjauh sedikit. Meski begitu, dia bahkan masih merangkul kedua tangannya di pinggang Sahara tapi sedikit lebih longgar. Enggan berjauhan. "Kamu tidak tahu sekhawatir apa aku sebelumnya." Lirihnya.

Wajah mereka dekat hingga Sahara mampu merasakan napas hangat pria itu. Entah kenapa Ash seperti tidak ragu berdekatan begini dengan Sahara. Seolah-olah dia sudah terbiasa terutama dengan ekspresi yang tak berubah di wajahnya.

Sahara menatap netra emas yang lembut itu. Dia meneguk ludah pelan sambil berusaha untuk tetap tenang. Berdekatan dengan lelaki tampan seperti ini sungguh tak baik untuk jantungnya. Akan tetapi, dia juga tidak bisa melepaskan Ash mengingat tenaga lelaki itu cukup besar.

"Aku tidak apa-apa. Justru Edmund yang terluka karena melindungiku."

"Itu sudah tugasnya sebagai kesatria." Ash berbisik. Matanya masih sibuk memperhatikan fitur wajah Sahara.

Hanya saja, dari sudut pandang para Pevensie, posisi mereka agak ambigu. Mereka hanya mampu melihat punggung Ash dari sudut ini. Sedangkan Sahara benar-benar tenggelam di balik punggung lebar itu.

Netra Peter melebar. Hatinya seperti baru dihantam dengan palu raksasa. Kata orang cinta pertama tidak selalu indah. Sepertinya itu sangat pas untuk Peter sekarang.

Dia segera mengalihkan pandangan ke samping. Menutupi wajahnya yang nampak begitu kecewa. Baginya, sekarang dia sudah kalah telak. Rupanya begini rasanya dikalahkan oleh orang yang posisinya lebih rendah darimu.

Susan sendiri sulit untuk menerima kenyataan pahit ini. Ayolah, dia bahkan sudah menyiapkan nama untuk anak-anak Sahara dan Peter jika mereka menikah! Apa-apa plot twist untuknya ini? Tidakkah Aslan ingin kakaknya bahagia? Susan menunduk dengan kecewa. Dia menarik satu demi satu benang tipis di bajunya dengan sebal.

Lain hal dengan dua orang itu, pipi Lucy justru memerah. Dia mengulum senyum sambil menutup mata Edmund. "Jangan lihat, Ed. Kau masih kecil." Katanya sambil terkikik.

Edmund dengan malas menghela napas. Lucy benar-benar. Yang lebih muda disini adalah Lucy, tapi dia yang justru bertingkah sebagai kakak. Selain itu, sebenarnya tidak ada yang bisa dilihat. Toh mereka hanya bisa melihat punggung Ash dari sini. Memang apa yang bisa disimpulkan dari itu?

Meski begitu, siapa Edmund jika dia berkomentar? Baginya, asal adiknya bahagia, dia akan bahagia. Biarkan Lucy dengan fantasinya sendiri. "Terserah, Lu." Katanya lembut.

"Ash." Sahara berbisik. Tangannya menyapu pelan pipi lelaki itu.

"Ya?" Ash menekan pipinya di jemari Sahara. Netranya dengan fokus menatap mata kelam Sahara.

"Bagaimana? Apa aku bisa pulang?" Sahara bertanya. Dia ingin sekali duduk tapi Ash seperti tidak mau melepasnya. Karena itu, dia menanyakan sesuatu yang dia harap bisa mendapat jawabannya.

Sontak Ash teringat dengan retakan dimensi itu. Raut wajahnya berubah muram. Dia seharusnya mengatakan kalau retakan dimensi akan terjadi dalam satu dua hari kedepan. Akan tetapi suara itu tak keluar dari tenggorokannya.

Ash membuka mulut. Hanya saja hening yang menyapa mereka. Meski begitu, Sahara menunggu dengan sabar. Entah kenapa dia merasa Ash menghilang karena mencari tahu bagaimana cara Sahara untuk pulang. Karena itu, dia berharap akan ada jawabannya jika Ash sudah disini.

"Sebentar lagi." Lirih Ash. "Bisakah kamu membiarkanku memelukmu dalam waktu yang lebih lama? Nanti akan kuberitahukan segalanya." Katanya pelan. Dia menarik Sahara kembali dalam pelukannya.

Sahara mengalungkan lengannya di leher Ash. Dia menyisir rambut Ash dengan tangan. Tidak tahu kenapa, tapi menurutnya Ash nampak gelisah. Karena itu, dia tidak keberatan meminjamkan bahunya agar Ash bisa merasa lebih tenang.



TBC~

Hai hai~ Akhirnya aku back!! Makasih banyak buat para pembaca tercinta yang masih baca dan sabar menunggu lanjutan book ini. Love you, guys♡⁠(⁠Ӧ⁠v⁠Ӧ⁠。⁠)

Dan seperti biasa, jangan lupa buat kasih tahu kalau ada typo atau kesalahan, ya. Thank you(⁠'⁠∩⁠。⁠•⁠ ⁠ᵕ⁠ ⁠•⁠。⁠∩⁠'⁠)

______________________________________

3 November 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top