Bab 16
Di sisi lain, Edmund yang tengah bergulat dengan Peter itu membanting tubuh kakaknya ke pasir. Dia mengambil segenggam pasir basah dan mengusapkannya ada wajah Peter. Remaja itu terengah-engah sejenak saat dia berdiri. Matanya mengerjap beberapa kali, lantas tertawa terbahak-bahak saat melihat wajah Peter yang penuh pasir. "Wah, kau kacau sekali."
Peter mengusap wajah pasirnya dan terbatuk kecil. "Dasar bocah." Gumamnya cukup kesal. Lantas dia terkekeh saat matanya menatap sang adik. "Boleh juga kau. Kupikir tanganmu hanya bisa digunakan untuk pedang. Siapa sangka kau bisa membantingku begini."
Edmund mengangkat bahu bangga. "Yah, terimalah kekalahanmu, Raja Agung. Sekarang aku yang akan memakan dessert-mu sepekan penuh." Lantas dia tertawa layaknya antagonis di film-film.
Mereka memang mempertaruhkan dessert masing-masing selama sepekan penuh sebelum bergulat. Karena Peter yakin dia memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dari Edmund, dia pikir dia akan menang kali ini.
"Sepertinya untuk hal semacam tanding olahraga denganmu, aku pasti akan kalah." Lelaki itu bangkit dan melangkah menuju pantai sebelum mencuci wajahnya dengan air laut. Meski begitu dia tidak terlihat kecewa. Malah justru dia menikmatinya.
Edmund hanya membalasnya dengan kekehan. Dia berhenti saat menatap sesuatu yang menarik di ujung sana. Sahara dan Ash terlihat sangat akrab.
"Menurutmu apa mereka akan jadi pasangan?" Suara agak cempreng dan manis itu membuat Edmund menoleh.
Itu Lucy, si bungsu sekaligus Ratu kedua Narnia.
Rambut emas sepunggungnya menari terbawa angin laut saat mata biru cerahnya berbinar-binar melihat romansa di depan mata. Dia memang seorang ratu yang mencintai buku romansa dengan happy ending.
Edmund mengangkat bahu tak yakin. Matanya justru melirik ke arah Peter. Sang kakak pertama itu menatap dengan dingin tanpa berkedip ke arah Sahara. Jelas sekali dia kenapa. Apa lagi? Tentu saja cemburu.
"Disana kita melihat sesuatu yang manis. Disini ada yang sedang kepanasan." Sarkasnya.
Peter spontan menoleh. Tatapan dinginnya berubah sekejap menjadi nampak heran. "Kau kepanasan, Ed?" Dia bertanya bingung.
Entahlah kakak pertama mereka itu sungguhan atau hanya pura-pura bingung. Edmund tak yakin. Karena itu, dia menatap Lucy. "Lu, kau mau happy ending?"
Lucy spontan mengangguk. Matanya melirik ke arah sang kakak ketiga. "Memang siapa yang tidak suka happy ending?" Meski begitu, ada kilatan ragu dimatanya.
"Aku harap, tokoh antagonis tidak ada di cerita kali ini." Lirihnya saat matanya bergerak menatap Peter.
Edmund mengangguk. "Sudah kuduga. Merekalah tokoh utamanya." Gumamnya.
Tokoh utama tak perlu seorang Raja juga Ratu. Terkadang seorang rakyat biasa dengan putri penguasa pun bisa menjadi tokoh utama. Paling tidak begitulah dari sudut pandang Edmund dan Lucy.
Tapi tidak dari sudut pandang Susan. Seperti Lucy, Susan juga menyukai kisah romansa dengan happy ending. Tapi bagi Susan, Peter dan Sahara merupakan tokoh utamanya. Penguasa harus bersama dengan penguasa. Masing-masing pihak harus setara agar bisa menjadi tokoh utama. Layaknya seorang putri dan pangeran di dongeng-dongeng.
Karena itu bagi Susan, tidak ada yang lebih sempurna menjadi pasangan Sahara selain kakak pertamanya, Peter. Dan dia harus mewujudkannya.
Susan mengambil kerang besar yang dia lihat secara acak. Lantas berlari menghampiri kedua orang itu.
"SAHARA! AKU MENDAPATKAN KERANG! KERANGNYA BESAR!"
Hal itu membuat Ash spontan menarik diri dan berbalik. Wajahnya hampir semerah tomat saat dia menutupnya dengan punggung tangan. Sedangkan Sahara yang tidak tahu apa-apa, menoleh pada Susan. Netra kelamnya berkilau mendengar kata 'kerang'.
"Sungguh?!" Dia langsung menghampiri Susan. Meninggalkan Ash yang masih berusaha menenangkan jantungnya yang terasa seperti akan melompat dari dadanya itu. Tangan senggang lelaki itu dia taruh di dada kirinya, merasakan betapa cepat jantungnya berdetak. Ini hal baru bagi Ash, alias Aslan.
Ash tidak pernah merasa semalu ini seumur hidupnya. Ini pertama kalinya dia merasakan perasaan malu sekaligus senang di saat yang bersamaan. Dia adalah Aslan The Lion, salah satu pencipta dunia. Dia merupakan makhluk immortal yang diciptakan sebelum kejadian Big Bang.
Aslan telah melihat banyaknya makhluk indah juga dunia yang berbeda-beda. Dia tumbuh dengan melihat makhluk mortal hidup, lalu mati. Dia tidak pernah memiliki perasaan apapun selain menganggap mereka semua sebagai makhluk yang akan pergi begitu saja setelah hidup mereka selesai. Intinya dia tidak pernah benar-benar senang, tidak pernah benar-benar sedih. Semuanya datar begitu saja meski dia bisa tertawa dan menangis. Toh, perasaan itu semua pasti akan menghilang sedetik setelah dia merasakannya.
Karena itu, perasaan yang dia rasakan saat ini terasa begitu asing karena dia selalu hidup seorang diri, menjaga suatu dunia selama ribuan tahun. Setelah waktu yang ditentukan, dunia yang dia ciptakan akan hancur dan dia akan pergi ke tempat lain untuk membuat dunia lain. Mungkin ada kalanya dia bertemu pencipta yang lain atau ciptaannya sendiri. Tapi, tidak ada satupun pencipta yang mampu membuat seorang Aslan seperti ini.
Biasanya Aslan hanya akan menyapa para pencipta lain, berbincang sejenak tentang permasalahan mereka. Lalu selesai tanpa adanya perasaan apapun.
Tapi Sahara...
Dia berbeda.
Berdiri di sekitarnya saja mampu membuatnya senang. Seperti ada puluhan kupu-kupu yang menggelitik perutnya.
Ash mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha untuk menghilangkan wajah Sahara dari kepala. Tapi bukannya hilang, justru wajah manis nan tenang itu justru jadi semakin membekas.
Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di kepalanya.
Bagaimana jika tadi .... Dia benar-benar mencium Sahara?
Tangan Ash spontan menampar pipinya sendiri. Bagaimana bisa dia berpikir begitu?
"Omong kosong."
Sepertinya dia sudah gila.
***
Peter benar-benar menjamu tamunya dengan baik. Makan malam yang disediakan pun jauh lebih mewah ketimbang makan siang. Rombongan Sahara menikmati jamuan makan mereka dengan nikmat.
Selepas makan malam, semuanya pergi menuju tempat yang akan mereka tuju, tentulah itu tidak jauh dari ruang istirahat, kamar dan lain sebagainya. Lain hal dengan Ash yang memilih untuk pergi keluar. Dia melangkahkan kakinya ke taman.
Kepalanya terasa kosong, tapi dia ingin sekali berpikir.
Ini aneh.
Sikapnya kepada Sahara benar-benar aneh. Setiap kali berdekatan dengan manusia satu itu, Ash jadi selalu bingung harus bertingkah bagaimana. Terlebih jantungnya yang selalu berdetak tidak karuan saat mereka bersama.
Terutama sore tadi. Saat dia hampir saja mencium Sahara.
Lelaki itu melangkah gontai menuju taman yang luas dan agak gelap. Pikirannya kacau tak karuan hanya karena satu makhluk. Sahara.
"Kau terlihat kacau."
Ash menatap lelaki di depan. Lentera yang dia pegang menampilkan rambut hitam dan mata biru. Wajah rupawan aristokratnya nampak sedikit lembut ketimbang biasanya. Benar, dia Edmund.
Edmund menghela napas. "Kenapa denganmu? Masalah cinta?"
Meskipun Ash yakin ini bukan masalah cinta, tapi entah kenapa kalimatnya terasa seperti menohok hatinya. Lelaki itu menggeleng kecil. Mengelak kalimat yang terasa seperti kebenaran itu. "Mana mungkin masalah cinta."
Edmund mengangkat bahu saat dia menaruh lentera di atas meja taman. "Kau terlihat seperti anak remaja yang jatuh cinta pertama kali."
Ash bisa merasakan pipinya memanas seperti terbakar. Apa-apaan? Masa dia yang seperti ini jatuh cinta?! Omong kosong macam apa itu?
Bersyukurlah Ash karena disini cukup gelap dan hanya ada lentera Edmund yang menerangi. Dia pun tak begitu dekat dengan lentera itu, membuat wajah merahnya tidak terlihat oleh Edmund.
"Jatuh cinta? Mana mungkin." Ash berusaha membuat suaranya agar tidak bergetar karena rasa gugup yang tiba-tiba muncul. "Memangnya kau tahu darimana soal hal seperti itu? Seolah-olah kau sudah berpengalaman."
"Para Lady yang mengincar kakakku selalu seperti itu. Terlihat kuyu, tapi langsung bersemangat beberapa detik kemudian. Tingkah yang berubah setiap sekian detik yang sangat aneh." Edmund mengerling pada lelaki bermata emas. Seringai menggoda terbit di bibirnya. "Omong-omong, aku melihatmu saat ingin mencium Sahara, loh."
Wajah Ash spontan semakin panas saat dia tertawa seperti robot. Kalimat Edmund jelas sekali membuatnya gugup. "Oh, itu..." Dia bahkan tidak tahu harus berkata apa untuk membalas kalimatnya.
Mata Edmund kini beralih ke arah bulan yang tertutup awan. "Jangan gugup. Hal seperti itu sangatlah normal meskipun terasa asing."
Akhirnya Ash merasa sedikit tenang setelah mendengarnya. "Kau... Terdengar seperti pernah merasakannya."
Edmund menggeleng. "Tidak pernah." Dia menoleh lagi ke arah Ash. "Lucy yang bilang begitu."
Alis Ash terangkat tak percaya. "Dan kau percaya begitu saja?"
Edmund mengangguk mantap. "Bagaimana, ya? Lucy itu punya kepekaan soal perasaan orang. Dia bisa dengan mudah mengetahui bagaimana perasaan orang hanya dengan melihat gestur dan ekspresi mereka. Dan kebanyakan semuanya benar. Makanya untuk semacam perasaan, aku selalu meminta Lucy yang menilainya. Dan sejak saat itu aku jadi sedikit lebih peka." Jelasnya.
Ash hanya bisa mengangguk paham. Tak dia sangka anak kecil yang dia bawa untuk menyelamatkan Narnia kala itu telah tumbuh sebesar ini. Jadi lebih mudah memahami situasi di sekitar, lebih lembut juga lebih ramah. Edmund telah tumbuh dewasa meski umurnya masihlah remaja.
"Kata Lucy, sesuatu yang semacam perasaan seperti itu, kita harus panda-pandai menilai sikap yang diberikan oleh orang yang kita sukai. Jika gerakannya seperti mendorong kita mundur, maka harus bergerak perlahan. Jika dia terlihat seperti menerima kita, maka kau boleh-boleh saja langsung sat set sat set." Edmund menjelaskan setelah dia duduk di kursi taman.
"Apaan sat set sat set?" Ash menelengkan kepalanya. Apa itu?
"Maksudnya kau boleh menyatakan cinta." Lelaki berambut hitam kini menumpu dagu. Menatap Ash dengan mata birunya yang terkena sinar lentera. "Masalahnya adalah ... Apa kau percaya diri?"
Ash nampak tertegun sejenak. "Percaya diri?" Bisiknya. Keheningan di tengah taman malam itu membuat bisikan Ash terdengar jelas.
Edmund mengangguk. "Percuma kau punya perasaan seperti itu tapi kau sendiri ragu dengan rasa yang menjalar di hatimu sekarang. Mending kau lupakan saja dia."
Alis Ash mengernyit. "Tidak bisa."
Seringai kembali muncul di bibir Edmund. "Kenapa tidak bisa?"
"Karena wajah Sahara sudah menempel di kepalaku."
***
Ruangan besar dan megah, tempat tidur dengan tipe king-size, meja besar yang penuh ukiran, lemari empat pintu yang mewah, juga meja rias yang indah. Tak lupa, pintu balkon dengan kaca yang berwarna-warni juga gorden yang disulam dengan sutra. Kamar ini adalah ruangan termewah yang pernah Sahara tinggali seumur hidupnya.
"Kamu bisa menginap disini. Besok kita semua akan pergi ke lokasi berburu. Tidak masalah, kan?" Susan-lah yang menunjukkan ruangan ini.
Sahara mengangguk. "Baiklah. Omong-omong, terima kasih. Kalian baik sekali karena mau menjamu kami."
Susan terkikik lembut sambil memegang tangan Sahara. "Jangan bilang begitu. Pada dasarnya aku yang sangat ingin mengajakmu kesini. Jadi aku harus memperlakukan kalian sebaik itu." Dia mengatakannya dengan lembut sebelum melepas tangan Sahara dan menarik diri. "Pokoknya istirahat, ya."
Sahara hanya mengangguk. Membiarkan Susan berlalu dari sana. Dia kini berjalan ke tempat tidur dan berbaring.
Tok tok.
Baru saja dia hendak menutup mata, tapi suara ketukan dari pintu balkon membuatnya terbangun. Dia berdiri dan menatap kaca balkon. Lelaki jangkung berdiri disana. Beruntungnya Cair Paravel memiliki listrik. Jadi mereka menggunakan lampu untuk menerangi setiap ruangan saat malam. Sahara jadi bisa melihat sosok di balik pintu balkon menggunakan cahaya lampu juga kaca pintu.
Itu Ash. Ada apa dia malam-malam begini?
Sahara melangkah kesana, membuka pintu dan menatap Ash. "Tidak bisakah kamu masuk lewat pintu depan?"
•
•
•
TBC~
______________________________________
20 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top