Bab 12

Netra Sahara terbuka lebar. Semalam dia habis mimpi indah. Dia bertemu dengan laki-laki tampan yang mengaku bernama Ash. Mereka berpelukan, Sahara dibawa ke tempat antah berantah.

"Mimpi yang aneh." Dia berbisik sambil mengucek matanya.

"Mimpi apa?" Suara bisikan yang terdengar seperti suara lelaki semalam itu membuat Sahara menoleh. Dia mendapati lelaki berambut emas dengan wajah rupawan. Itu adalah laki-laki dalam mimpinya. Kenapa dia bisa ada disini? Bukankah itu artinya... yang semalam itu bukan mimpi?

Sepertinya begitu.

Sahara mendudukkan diri dan mengernyit. Berusaha menyadarkan diri meski di sebelahnya ada Ash yang masih belum puas menatapnya. Lama-lama Sahara jadi jengkel. Dia mendelik pada Ash. Tapi yang didapatinya justru seringai dengan dua taring yang terasa seperti gigi vampir. Ditambah lesung ipit di kedua pipinya. Kesampingkan pakaiannya, jujur sekarang Ash terlihat seperti badboy yang sering muncul di novel bertema sekolah.

Meski Sahara mencoba untuk membuat Ash berhenti bertingkah menyebalkan lewat tatapan mata tajamnya yang setajam silet, tapi Ash tidak terpengaruh sedikitpun. Dia malah merasa Sahara jadi terlihat lucu. Dengan wajah baru bangun tidur dan rambut acak-acakan. Dia terlihat lucu di mata Ash.

"Pagi, Sahara. Ayo bangun dan ikut sarapan." Lelaki itu berbisik sambil menelengkan kepalanya sedikit. Memberikan seringai menggoda pada Sahara.

Tapi Sahara tak beranjak. Netranya jadi menyipit pada lelaki itu. Sahara menepuk dahi Ash yang tertutupi poni. Merasa tak ragu maupun canggung. Seolah mereka memang sudah akrab sejak lama.

"Berhenti menatapku. Itu menjengkelkan." Katanya jengkel

Ash terkekeh. Dia menyisir poninya ke belakang dengan tangan. Menampilkan dahi mulus yang terlihat seperti pantat bayi. "Coba pukul lagi. Yang tadi itu terasa seperti hembusan angin."

Sahara menatapnya tak percaya. Apa-apaan manusia ini? Kenapa dia jadi terasa semakin menjengkelkan begini? Padahal semalam dia bersikap baik pada Sahara. Hari ini dia jadi menyebalkan.

Zen berdehem, menarik atensi mereka. Dia sejak tadi menatap dua orang yang sibuk bertatapan di atas rumput itu. "Ash, Sahara. Main-mainnya silanjut nanti saja. Ayo sarapan."

Sahara semakin mengernyit. Kenapa dia merasa seperti adik bungsu dengan Ash sebagai kakaknya. Lalu Zen adalah ibu mereka yang mempersiapkan sarapan. Menggelikan memang. Tapi itulah yang baru saja Sahara pikirkan.

Ash dengan gemas mengacak rambutnya sebelum. "Menghayalnya nanti saja. Sekarang ayo kita makan."

"Sudah kubilang kan, Zen. Aku dan anakmu itu ... Sangat akrab." Ash mengatakannya saat dia beranjak dan melangkah menuju buah-buahan yang ditaruh di atas daun pisang. Lantas dia mendudukkan diri di sebelah kiri Zen dengan santai.

"Eh? Siapa bilang kita akrab? Kita saja baru bertemu semalam!" Sahara bangkit dan menuju ayahnya, Zen. Dia mendudukkan diri tepat di samping kanan harimau itu. Menatap Ash dengan tatapan jengkel.

Zen menyodorkan Sahara tempurung kelapa yang dibelah setengah. Ada air yang tergenang di dalam tempurung kelapa itu. Tentulah air itu untuk cuci muka Sahara. Sahara tentu saja segera mencuci wajahnya dengan air itu.

Ash mengeluarkan tawa lembut. "Aduh, sedihnya. Bukankah kita sudah menghabiskan malam yang panas semalam?"

Sahara spontan melempar tempurung kelapa yang sudah kosong itu ke kepala Ash. Emosi sekali mendengar kalimat lelaki itu. Apanya menghabiskan malam yang panas? Mereka hanya bicara, tidak lebih. Itu yang ada dalam ingatannya.

Ash dengan sigap menghindari lemparan itu. "Astaga, Sahara. Kamu ingin membuatku terluka?" Dia menatap Sahara dengan wajah sedih. Pura-pura sedih, tepatnya.

Sahara spontan melihatnya jijik. "Jangan percaya dia, ayah. Tidak ada malam panas di antara kami."

Zen hanya diam menanggapi keduanya. Sepertinya lelah karena dua orang ini akan tetap bertengkar meski dilerai. Meski begitu, dia merasa tetap harus melakukan sesuatu. Jadi dia menatap tajam Ash, sebelum menghela napas dan menatap Sahara. "Nak, makan."

Hanya dua kata itu cukup untu membuat Sahara meraih sebuah ap l dan menggigitnya. Ia lantas menoleh ada Zen. "Ayah kenal pirang ini?"

Ash terkikik kecil. "Tentu saja, kita teman lama kan, Zen?"

Zen hanya mengangkat bahu, tidak tertarik untuk menjawab. Dia memilih untuk membelah buah sirsak dengan kukunya dan mulai memakannya.

Hal itu membuat Sahara menjulurkan lidah untuk mengejek lelaki itu. 'Mampus! Tidak diakui sebagai teman oleh Zen!' dia mengejek dalam hati.

Ash hanya mendelik pada Sahara. Membuat Zen cukup kaget akan perubahan Ash. Singa yang agung... Menjadi kekanakan di depan seorang gadis muda.

***

Keadaan pagi ini menuai banyak pertanyaan di kepala Susan dan Edmund yang baru kembali selepas cuci muka di sungai. Mereka menatap Ash yang tiba-tiba muncul disini.

"Ash, bagaimana kamu bisa ..." Susan bahkan tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia terlalu bingung untuk mempertanyakan kenapa bisa ada manusia lain disini? Terlebih dia adalah Ash, pekerja yang datang kemarin untuk menggantikan pekerjaan tikus tanah di Frozen Lake. Mungkinkah dia nekat untuk mengikuti jejak Susan dan Edmund untuk mencari mereka? Mungkinkah dia memang manusia yang seloyal itu?

Ash menoleh dengan senyum lembut. Tapi belum sempat dia menjawab, Zen sudah lebih dulu mengalihkan topik. "Jadi, kapan kalian akan pulang?" Kalimatnya seolah ingin Susan dan Edmund pulang cepat-cepat.

Susan mendudukkan diri di depan Zen. "Jika anda mengizinkan, kami ingin berangkat hari ini juga." Dia mengatakannya tanpa ragu sambil m ngambil sebutir anggur.

Zen mengangguk. "Baguslah. Bosan juga aku melihat wajah kalian. Biarkan para Phoenix mengantar kalian dengan selamat." Dia melanjutkan makannya dengan khidmat.

Sahara menatapnya lama sebelum memanyunkan bibirnya. "Ayah, aku ingin ikut." Katanya merengek.

Zen hanya menoleh sekilas. Setelahnya kembali memakan sirsak tanpa memperdulikan permintaan Sahara. Seolah-olah dia hanya mendengar suara sayap nyamuk terbang alih-alih permintaan Sahara. Tuh, kan. Sahara pasti tidak akan di izinkan.

Sahara jadi memakan apelnya dengan lemah, lesu, lunglai. Persis seperti orang kurang darah. Makannya perlahan, lambat, juga sambil melamun. Ash yang melihat, menampilkan senyum simpul akan sikap Sahara. Dia menoleh pada Zen.

"Izinkan saja, Zen. Aku yang akan menjaganya. Bagaimana?" Dia mengangkat kedua alisnya. Terlihat cukup percaya diri. Menjaga satu orang bukanlah masalah besar untuknya.

Selain itu, perjalanan ini akan terasa bagus karena WildArea penuh dengan mata dan telinga Zen. Akan sulit baginya untuk bicara dengan Sahara tentang celah dimensi. Juga akan sulit jika menghubungi Gerda di sekitar sini. Karena Zen akan langsung tahu. Dan dia paling benci jika sesuatu darinya direnggut. Ada baiknya Sahara pergi ke Narnia. Karena disana, aman dari mata dan telinga Zen. Ash jadi bisa leluasa untuk membahas ini dan itu, mengembalikkan jiwa Clara yang ada di dalam tubuh Sahara itu kembali ke tempat asalnya.

Zen terdiam agak lama. Sebelum matanya menyipit ke arah Ash. "Percaya diri sekali kau. Sahara masih muda dan kau persis seperti pejantan buas di depan betina muda." Dia mendengus.

Edmund yang mendengar spontan menyemburkan air kelapa yang dia minum tepat di wajah Ash. Pejantan buas katanya. Dia menutup mulutnya dengan tangan. Berusaha keras untuk tidak mengeluarkan tawa.

Ash hanya bisa mengelap bekas muncrat di wajahnya. Dia menatap Edmund datar, lantas menghela napas sebelum menatap Zen lagi. "Bagaimana mungkin kamu bisa berpikiran begitu? Sahara kan juga terasa sepeti anakku."

Dia spontan terdiam. Benarkah? Matanya mengerling pada Sahara yang kini menatapnya. Sedetik setelahnya jantung Ash berdetak kencang lagi.

Zen yang melihat hanya bisa mendengus. Susan pun hanya bisa menaruh tangan di depan bibirnya yang terbuka sedikit. Apa ini... Yang disebut benih-benih cinta yang baru tumbuh? Pikirnya.

"Jika anda tidak percaya pada Ash, percayakan saja pada saya. Saya seorang raja yang tidak akan memperlakukan putri penguasa negeri lain sembarangan. Anda juga bisa menjadikan Susan sebagai jaminan." Edmund mengatakannya dengan tulus. Mengingat semalam Susan nampak sangat ingin Sahara ikut, bagaimana jika dia membantu kakak tercintanya ini? Oh, mungkin saja Susan akan mengapresiasinya.

Zen menatap Edmund selama beberapa detik sebelum membuang muka. "Kuserahkan Sahara padamu manusia. Bawa dia sebelum hari kelahirannya."

Ash melebarkan mata saat mendengar itu. "Zen? Kamu lebih mempercayai manusia ketimbang aku, sahabatmu?" Dia tidak terlihat marah. Melainkan tertarik dengan situasi ini. Zen adalah makhluk yang paling membenci manusia disini. Tapi dia berani menyerahkan anak tercintanya pada makhluk yang dia benci?

Zen menghela napas. "Aku hanya berusaha mempercayai keputusan Aslan."

Ash tertegun. Rupanya dia bukan percaya pada Edmund. Melainkan percaya pada Institusi Aslan yang membawa para Pevensie itu kesini.

Tapi... Aku kan Aslan... Bukankah akan lebih baik jika aku yang... Pikir Ash bingung. Meski begitu dia diam saja. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab kebodohan Zen.

Susan memberinya senyuman manis. "Saya akan memastikan Anda tidak menyesal, Zen. Karena pilihan Aslan selalu yang terbaik.

***

Akhirnya tiba di jam keberangkatan mereka. Sahara tak membawa apapun karena kata Phoenix, perjalanan tidak sampai setengah jam dengan kecepatan tinggi. Begitupun Edmund dan Susan yang hanya membawa diri. Ash juga sama.

Disinilah Sahara, didepan ayah harimau tercintanya. Meskipun baru beberapa bulan bersama, tidak bisa Sahara pungkiri bahwa harimau ini merupakan ayah yang begitu baik kepada anaknya. 

"Ayah, aku akan berangkat. Jangan khawatir karena aku akan kembali." Dia memeluk kepala harimau itu.

Sang harimau mengangguk. Nampak sedih dengan kepergian putrinya. Meskipun begitu, dia masih berusaha menahan air matanya.

Sahara hanya bisa memberinya senyum sedih. Semua makhluk mengantar kepergiannya. Mulai dari para Naiad, centaur, draiad, minatour, para hewan berbicara, dan sebagainya. Sahara melambai sedikit sebelum mengambil beberapa langkah mundur. Dia berbalik dan menuju ke arah Poem, si Phoenix. Disana Ash, Edmund, Susan dan beberapa Phoenix menantinya.

"Ayo." Dia mengatakannya pada Poem.

Tapi Ash yang melangkah cepat untuk mengulurkan tangan. "Ayo, aku akan membantumu naik."

Poem memang terlalu besar untuk dinaiki oleh tubuh kecil Sahara meskipun Poem telah menundukkan punggungnya. Ash yang tinggi itu menggendong Sahara dengan mudah dan menempatkannya di punggung burung api itu. Setelahnya barulah Ash naik di belakangnya.

"Sebentar, kenapa kau malah naik di belakangku?" Sahara bertanya sambil meliriknya dari bahu.

Ash memberinya senyum hangat sebelum melingkarkan lengannya di perut Sahara. "Tentu saja untuk membuat Zen emosi. Coba lihat dia."

Sahara menoleh pada Zen yang memang terlihat marah. Harimau itu sudah siap-siap melompat untuk menerkam Ash. Tapi semuanya sia-sia saat Poem melebarkan sayapnya dan mulai terbang menuju langit.

Di belakang mereka, seekor Phoenix besar yang membawa Edmund dan Susan telah terbang. Kedua Phoenix itu melesat cepat membelah awan, menuju ke arah Narnia. 

Sahara tak bisa menahan dirinya agar tidak menarik bulu lembut Phoenix. Rupanya burung api ini memiliki bulu, bukannya murni api saja. Terlebih uniknya apinya tidak membakar siapapun.

Di sisi lain, dia bisa merasa dada Ash menempel di punggungnya. Detak jantung lelaki itu cukup terasa sangat cepat. Dan itu membuat pipi Sahara memanas dan jantungnya juga ikutan memompa dengan cepat.

Perjalanan tiga puluh menit yang terasa seperti selamanya itu akhirnya berhenti setelah Poem dan teman Phoenixnya mendarat di depan Cair Paravel.

Ash turun dengan cepat dan mengulurkan tangan. Membantu Sahara turun dari punggung burung itu. Sahara hanya bisa turun dengan detak jantung kencang dan pipi yang memanas. Meski begitu, dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa malunya.

•••

TBC~

______________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top