Bab 11

Ash telah menjelaskan semuanya ketika mereka memutuskan duduk di atas rerumputan. Mulai dari bagaimana Sahara masuk ke dimensi ini, dan siapa yang menariknya masuk ke dalam tubuh Sahara.

Sahara mampu merasakan angin sepoi-sepoi menggelitik pipinya. Dia menghela napas setelah mendengar penjelasan Aslan. Rupanya karena ada yang membuat sebuah ritual pemanggil jiwa ketika retakan dimensi terjadi. Di saat yang sama, jiwa Clara juga sempat keluar dari tubuhnya. Dan persis di saat yang bersamaan, Sahara yang asli pun merenggang nyawa. Karena semuanya terjadi bersamaan, akhirnya jiwa Clara bisa masuk ke tubuh Sahara.

"Jika jiwaku terlepas dari tubuh, bukankah artinya aku sudah mati?" Sahara berbisik diantara angin yang memainkan anak rambutnya. Dia memeluk lututnya erat.

Ash nampak terdiam menatap wajah sendu gadis itu. Jemarinya bergerak untuk membelai lembut pipi Sahara. Dia sendiri tidak tahu kenapa tubuhnya bergerak seperti ini. Ash bukanlah tipe orang yang gemar dengan sentuhan fisik. Dia akan memaklumi anak-anak karena mereka menggemaskan. Tapi Sahara sudah bukan anak-anak. Dia telah dewasa, dan Ash merasa nyaman dengan menyentuhnya seperti ini.

"Ada dua kemungkinan. Pertama, kamu tak sadarkan diri, mungkin koma." Dia ikut berbisik. "Kedua adalah kemungkinan yang kamu pikirkan."

Sahara menoleh saat merasakan adanya jemari yang mengelus pipinya. Dia sudah biasa dengan sentuhan fisik begini. Tapi dengan pria tampan? Itu lain cerita.

Pipinya sedikit memerah dan dia menoleh ke tempat lain. Berusaha untuk menyembunyikan pipinya yang hangat dari tatapan Ash meski itu tentu saja tidak berguna. Ash masih bisa melihat pipi merahnya.

"Katakan, Sahara. Beritahu aku siapa nama aslimu. Agar jika celah itu terbuka, aku bisa mengadakan ritual dan kamu bisa kembali dengan mudah." Ash akhirnya menarik kembali tangannya. Meski begitu, matanya masih tetap setia untuk melihat sosok Sahara.

Sahara menghela napas lembut untuk menenangkan jantungnya yang sempat terpompa cepat. Meski begitu, dia mengernyit. "Kau bilang dimensi satu dan yang lainnya berjalan bersama, kan? Jika sekarang bulan A, maka di dimensi lain juga bulan A."

Ash mengangguk mantap. Memang begitulah kiranya yang dia ketahui.

"Jika aku kembali sekarang, maka aku akan tiba di waktu yang sama dengan dunia ini. Kalau misalkan...." Gadis itu berhenti sejenak. Dia mengepalkan tangannya sebelum melanjutkan. "Misalkan aku di dunia sebelumnya sudah mati. Apa yang bisa terjadi?"

Ash langsung terdiam. Dia bukannya tidak tahu jawabannya. Tapi dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya agar Sahara tidak merasa sedih mendengarnya.

Sahara menggigit bibir bawahnya kesal. Dia sedikit frustrasi sekarang karena sikap diam Ash yang tiba-tiba. "Apa... Apa aku tidak akan bisa kembali ke tubuhku? Apa aku akan dikirim ke tempat lain? Ketempat jiwa yang telah mati berada?"

Lelaki di sebelahnya menutup mata. Perempuan di depannya ini benar-benar pintar. Dan entah kenapa, itu membuat Ash merasa bangga. Lantas dia menghela napas panjang sebelum membuka mata. Mata emas jernihnya itu menatap lurus pada netra Sahara. "Benar. Kamu akan dikirim ke tempat para jiwa seharusnya berada jika mereka telah mati."

Hening seketika.

Tak ada yang mau bicara. Hanya suara gemercik air terjun yang mengisi keheningan mereka. Sahara spontan menundukkan kepalanya, menatap ke arah rerumputan yang lembab.

Ash menatap perempuan itu. Sedikit menyesal karena mengatakan kalimat terakhir tadi. Tapi Ash juga tidak bisa berbohong. Dia harus mengatakan yang sebenarnya jika Sahara bertanya. Bohong bukanlah perbuatan baik.

"Ayo lakukan." Sahara akhirnya bicara.

Kedua alis Ash terangkat. Apa katanya?

Tak mendapat tanggapan dari Ash, Sahara menoleh lagi. Menatap mata Ash dengan serius. "Ayo kita lakukan. Aku akan kembali ke dunia asalku. Tidak peduli aku yang ada disana sudah mati, atau tidak. Tapi aku ingin kembali!"

Dia sudah bertekad. Gadis itu akan kembali bagaimanapun caranya.

Ash memberinya senyum hangat. Dua lesung pipi menghiasi pipinya. Dia teringat dengan tatapan mata Peter di masa lalu yang ingin menyelamatkan adiknya. Ini cukup menarik karena dia tiba-tiba teringat anak itu. Dan juga, rasanya keduanya sangatlah tidak mirip, tapi memiliki banyak kemiripan. Jarinya tanpa sadar menyisir rambut Sahara ke belakang. Jantungnya yang biasanya berdetak normal, kini berpacu cepat seolah dia tengah lari maraton. Sudah lama dia tidak melihat semangat dari mata manusia yang polos.

"Tapi kita perlu menunggu celah dimensi terbuka. Aku akan menghubungi kenalanku untuk itu." Dia berbisik.

Gadis di sebelah tersenyum lebar. Meski jantungnya kembali berdetak kencang karena tangan Ash yang gemar bergerak tiba-tiba, tapi dia mengabaikannya. Yang penting adalah akhirnya dia punya harapan kembali ke rumahnya sesungguhnya. Oh, sebelum itu. Dia hampir saja lupa.

"Oh iya. Nama asliku adalah Clara."

Netra emas Ash bersirobok dengan netra obsidian Sahara. Lelaki itu bisa melihat adanya semangat pantang menyerah yang berkobar di mata Sahara. Sangat sesuai dengan pribadinya yang berani.

"Baiklah, Clara."

Ash menjentikkan jemarinya. Seketika Sahara mulai limbung. Lelaki emas menarik gadis yang tertidur itu ke pelukannya. "Kurasa ada baiknya kita pulang." Dia berbisik di telinga gadis itu. Terdiam sejenak sembari menatap wajah Sahara.

"Aku penasaran." Bisiknya. "kira-kira bagaimana rupa aslimu." Mata emas itu meneliti dari mata Sahara, bergerak perlahan menuju bibir gadis itu.

Tapi sebelum dia bisa bergerak barang satu inchi, dia mendapati aroma familiar yang terasa sedang marah-marah. Ash menoleh pada sosok pria tua dengan jubah hitam bergambar yang penuh dengan bintang.

"Father of Time."

Lelaki berambut putih di sana menatap dengan datar. Meski tengah marah, dia tak sekalipun menunjukkannya secara gamblang dari ekspresi. "Kau tidak akan menahan jiwa itu kan, Aslan?"

Ash mengernyit. Itu kan sudah pasti. Kenapa Father of Time masih mempertanyakannya? "Kenapa aku harus menahannya? Mengembalikkan sesuatu pada tempatnya adalah tugas kita."

Father of Time mendengus. Seolah dia bisa membaca isi hati Ash, dia nampak tak percaya. Meski begitu, dia mengalihkan wajah.  "Terserah. Oh, iya. Aku kesini bukan untuk itu. Dimana Gerda?"

Ash mengangkat bahu. Tidak tahu menahu kemana murid penjaga waktu itu pergi. "Dia muridmu. Kenapa menanyakannya padaku?"

Father of Time terdiam. Itu terdengar masuk akal. Dia hanya mendengus dan pergi dari sana. Meninggalkan Ash yang kini menggendong Sahara dengan bridal-style.

Meski begitu, dia kembali mengamati wajah Sahara yang tertidur pulas. Senyum simpul terbit di bibirnya. Dia memeluk erat gadis itu sebelum menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sahara. Lantas berteleportasi berteleportasi kembali ke Narnia.

Saat tiba, tatapan tajam Zen adalah yang pertama kali menyambutnya.

"Hai, Zen." Dia menatap Zen dengan senyum hangat seperti biasa.

Harimau itu menggeram, terlihat emosi akan kemunculan Ash. Terlebih dengan putrinya di pelukan lelaki itu.. "Kau bawa kemana putriku, penculik?"

Baru sebentar dia meninggalkan anaknya di rumah mereka karena dia ingin buang air, saat kembali anaknya justru menghilang. Bahkan ada aroma asing yang sangat jarang dia cium berada di sekitar rumahnya. Tentulah Zen kesal.

Sang empu terkekeh. "Maaf. Aku meminjamnya sebentar. Sedikit penasaran dengan putrimu yang akan beranjak dewasa."

Zen mendengus. Meski begitu, wajahnya nampak percaya begitu saja. "Jika kau meminta izin baik-baik, mungkin aku akan mengizinkanmu. Tapi, kau mengambilnya diam-diam saat aku tengah buang air! Kau pikir aku tidak akan panik melihat anakku hilang?"

Ash terkekeh kembali, tidak terlihat takut ataupun gemetar. "Maaf, ya. Ini, aku kembalikan putrimu. Dia kelelahan makanya ketiduran."

"Bawa dia kembali ke tempat sebelum kau mengambilnya. Omong-omong kemana kalian pergi?" Zen melangkah lebih dulu, hendak menuju singgasananya.

Asn mengikut dari belakang, masih menggendong Sahara dengan tenang. "Ke tempat sakral."

Zen langsung tahu maksud Ash. Tempat sakral adalah nama lain dari negeri laut, tempat para pencipta dilahirkan. "Tempat sakral kepalamu. Sahara hanya manusia biasa. Dan makhluk yang bisa kesana hanyalah para pencipta atau jiwa yang sudah terlepas dari tubuhnya."

Kedua makhluk beda jenis itu spontan berhenti melangkah. Ash tersadarkan sesuatu. Tadi dia membawa Sahara ke negeri laut karena dia tidak terpikirkan tempat lain untuk membicarakan soal rahasia jiwa Sahara selain disana. Tapi, menurut peraturan hanya para pencipta atau jiwa yang telah mati yang boleh pergi ke sana.

"Tidak mungkin."

Zen menggeleng. Menepis pikiran mengerikan yang baru saja muncul. Tidak mungkin putrinya sudah mati. "Ash, putriku masih hidup, kan?"

Lain dengan Zen, Ash justru berpikir kalau tubuh Sahara telah mati di dimensi asalnya. Tapi itu hanya hipotesis tak berdasar. Jadi lelaki itu menggelengkan kepalanya.

"Sahara masih bernapas." Itulah yang dia katakan untuk menjawab pertanyaan penuh kekhawatiran Zen.

Zen hanya bisa mengangguk. Keduanya melanjutkan perjalanan dalam diam.

***

Peter mengernyit saat mendapati laporan dari bawahannya. Susan dan Edmund pergi dan tidak kembali sejak siang tadi.

Tadinya Peter tengah makan camilan dengan Lucy di ruang istirahat. Tapi tiba-tiba seekor Centaur datang dan menginterupsi istirahat kecil mereka. Katanya Susan dan Edmund menghilang. Tentu itu mengundang tanda tanya di kepala Peter. Dia sudah hapal sekali kalau Susan bukan orang yang akan lari dari tanggung jawab. Dan Edmund? Oh, jangan bilang. Dia pria yang selalu menyelesaikan pekerjaannya sebaik dan secepat mungkin.

Peter tidak mendapat ide lain selain kalau kedua adiknya itu diculik. Karena Susan tidak akan mungkin tersesat. Dia bersama Edmund, pembuat peta mereka. Lelaki itu menghapal setiap seluk-beluk Narnia. Bahkan dia tahu dimana letak batu-batu khusus. Tidak mungkin Susan yang bersama dengan anak itu malah tersesat.

Lelaki itu menumpu dagu dan menatap tajam centaur yang datang melapor. "Kemana mereka sebelum menghilang?"

Centaur itu, Carolus membungkuk dalam. "Mereka menaiki perahu dan pergi ke arah sebuah gua di bibir danau. Kami sudah menelusuri gua itu. Tapi tidak ada satupun yang bisa masuk ke dalamnya. Seolah ada yang menghalangi kami, Yang Mulia." Dia menjawab dengan jujur.

Peter mengetuk jarinya di atas lengan sofa. Matanya melirik ke arah jendela besar yang menampilkan laut. "Bagaimana menurutmu, Lucy?"

Lucy yang sejak tadi menyimak itu menatap Peter dengan serius. "Bukankah kita perlu menelusuri ulang gua itu? Kupikir mereka memang terjebak disana."

Peter berdehem agak panjang sebelum melirik ke arah Mr. Tumnus. Matanya penuh dengan perhitungan. Seolah-olah dia tahu dengan jelas kalau Mr. Tumnus adalah kunci dari semua ini. "Entahlah. Kurasa kau sudah menemukan jawabannya, kan, Mr. Tumnus?"

Mr. Tumnus terkekeh kecil. Tak menyangka anak kecil beberapa tahun lalu telah tumbuh jadi setajam ini. "Anda benar, Rajaku. Saya berhasil menemukan beberapa perkamen yang mencatat tentang WildArea. Beberapa wilayah memang memiliki jalur rahasia menuju ke sana. Tapi semuanya telah ditutup dan hanya tersisa gua itu. Gua yang dimasuki Yang Mulia Ratu Agung dan Raja Muda."

Peter mengangguk. "Lalu?" Dia meminta Mr. Tumnus melanjutkan kalimatnya.

"Saya menduga beliau berdua mungkin ditahan sejenak. Meski begitu tidak menutup kemungkinan mereka disekap." Mr. Tumnus mengatakannya dengan suara tenang.

Carolus spontan panik. "Lantas? Bagaimana dengan nasib mereka, Yang Mulia?! Para makhluk WildArea, sesuai nama mereka, mereka semuanya liar! Kejam dan tak berperasaan!"

Peter mengangkat tangannya, memberikan gestur agar centaur itu diam sejenak. "Lanjutkan, Mr. Tumnus."

"Saya menyarankan agar anda memberi waktu sehari sebelum kita menyerbu masuk. Mungkin saja Yang Mulia berdua tengah di jamu alih-alih di sekap. Karena sekejam-kejamnya mereka, masih ada harimau Zen yang masih waras dan tidak pernah membunuh manusia."

Peter mengangguk. Sepertinya begitulah keputusannya. Menunggu sehari dulu sebelum menyerbu jika Susan dan Edmund tidak pulang dalam jangka waktu itu.

"Tunggu saja dulu sehari. Tapi tetap jaga di bagian luar gua itu kalau-kalau mereka kembali lewat sana." Peter memutuskan. Bukannya dia tidak khawatir pada adik-adiknya. Hanya saja, dia percaya penuh pada kekuatan pedang Edmund dan kecerdasan Susan. Jika mereka sudah bersama, tidak mungkin ada hal yang tidak bisa mereka selesaikan.



TBC~

______________________________________

30 Agustus 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top