9. The Prisoner
Kata-kata tawanan bernada tudingan itu terngiang-ngiang di telingaku, menghantam kepalaku berkali-kali, seperti ada seseorang yang memukulku secara langsung. Sang naga iblis menyebutku tawanan, untuk itukah dia menyelamatkanku? Menjadikanku tawanan? Sepertinya ada yang salah di sini karena aku bukan siapa-siapa, jikalau dia bersikeras menjadikanku tawanan, dia akan menyesalinya karena tidak akan ada yang bersedia menukarku dengan apa pun di Mundaneland. Aku harus menegaskan hal ini padanya, tapi bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dan bicara padanya lagi. Dia harus membebaskanku jika tidak ingin mengalami kerugian.
Selama beberapa waktu sejak para sentinel mengurungku kembali dalam kemewahan, aku hanya memandangi pintu berukir wajah sang pangeran yang menunggang naga dengan lesu. Sebetulnya, aku mungkin bisa saja melumpuhkan kedua sentinel bertopeng besi itu dengan mudah, meski dengan gaun sutra semata kaki sekalipun dan bekas luka yang belum kering, hanya saja masih ada satu hal yang harus kupastikan sebelum kabur atau sebelum membiarkan si naga iblis mengeksekusiku akibat terlalu banyak bertingkah. Sekali lagi, aku harus memastikan keberadaan Meredith di dalam kastel ini. Namun, sepertinya rencana itu tidak akan bisa terlaksana dengan mulus dalam waktu dekat.
Wajah Meredith muncul dalam benakku berganti-ganti dengan wajah rupawan si penguasa kastel. Hal itu membuat berbagai pertanyaan menjejali pikiranku. Namun, satu pertanyaan yang paling menonjol di antara semuanya, mengapa si naga iblis menawanku di sini jika dia memiliki Meredith?
Mungkin aku melamun atau tertidur ketika aku menyadari keadaan sekitarku menjadi lebih helap. Sepotong langit yang terlihat dari balik jendela telah berubah lembayung. Cahaya meredup dan kamar perlahan-lahan temaram. Sebuah ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar yang tertutup. Sejujurnya aku belum terbiasa dengan segala bentuk privasi yang kelewat mewah ini; seperti seseorang yang mengetuk pintu kamar sebelum masuk atau apalah. Bagaimanapun, kehidupanku di Mundaneland jauh lebih buruk daripada menjadi tawanan naga yang bergelimang kemewahan, tetapi tetap saja ada yang salah dengan semua ini. Aku adalah gadis berjiwa bebas dan pengurungan semacam ini membuat sayapku seolah-olah dipatahkan. Setelah hening sesaat, karena aku memilih mendiamkan, sesosok pelayan wanita masuk. Gadis berseragam gaun hitam putih rapu dengan rambut digelung ke atas itu membawa sebuah nampan yang kuduga berisi makan malam. Aroma rempah-rempah yang membalur ayam bakar seketika tercium, membuatku hampir meneteskan air liur dengan tak tahu malu, tetapi naluri primitif itu segera kutahan.
Aku mengamatinya meletakkan nampan itu di meja kecil di sisi pembaringan di mana aku duduk bersandar. Gerakan wanita itu pelan dan begitu terukur. "Apakah kau tahu di mana mereka menyimpan baju lamaku?" tanyaku berusaha memancing percakapan. Tentunya, aku tidak hendak beramah-tamah.
Wanita bermata cokelat itu mengangkat wajah, menatapku sejenak. Parasnya rupawan, tetapi tanpa ekspresi . Namun, alih-alih menjawab, gadis itu kembali menunduk lalu berbalik menuju pintu keluar, meninggalkanku begitu saja, menyelinap ke balik pintu tanpa suara. Jadi, dia juga mengabaikanku hanya karena aku seorang tawanan?
Dengan amarah yang tersulut, aku membanting nampan berisi ayam bakar yang sempat memantik selera makanku. Isinya tumpah ruah ke lantai ubin putih mengilap, beserta rembesan bumbunya yang berwarna dan beraroma pekat. Pecahan piring dan gelas dari kristal pun berserakan, sebagian bahkan mengenai salah satu telapak kakiku yang menjuntai hingga menyentuh lantai. Aku tidak peduli bagaimana lantai ubin mengilap itu kini terlihat, tetapi aku yakin suaranya akan mengundang siapa pun yang mungkin berjaga di depan pintu kamar ini untuk mengecek keadaan.
Dugaanku terbukti benar. Sebelum aku sempat beranjak, seseorang telah mengetuk pintu dari luar, tetapi dengan intonasi yang terlampau tak sabar menanti jawabku. Elian muncul dari balik pintu dan menghampiriku dengan wajah bingung, yang kemudian berubah menjadi ngeri. "Nona Wilhelmina, ada yang bisa Saya bantu?" tanyanya sembari berjalan berjingkat menghindari serpihan pecahan kristal.
Aku menatapnya sengit. "Dia bilang aku tawanannya!" semburku.
Elian terlihat bingung. Sepasang celah muncul di antara alis tebalnya yang bak semut beriring. Aku baru menyadari satu hal, bahwa Elian telah membersihkan jejak cambang liar dan kumis tipis di atas bibirnya sejak terakhir kami bertemu. Kini ia terlihat begitu berbeda, begitu bersih, dan nyaris sesempurna Yang Mulia-nya. Apakah orang-orang di kastel ini dianugerahi genetik yang sempurna?
"Orang yang kau sebut Yang Mulia itu, dia menyebutku tawanan. Jadi dia menyelamatkanku agar aku bisa menjadi tawanannya! Benar-benar tidak bermoral!" cecarku dengan napas memburu. Aku tahu, aku akan terlihat sangat mengerikan jika marah. Rona merah padam akan sangat cepat mewarnai seluruh wajahku yang nyaris tak pernah tersenyum.
Wajah bingung Elian seketika melembut. Seulas senyum simpati formal menyungging di bibirnya, jenis senyum yang akan menenangkan dalam situasi-situasi buruk. "Mohon maaf, Nona Wilhelmina. Yang Mulia Alasdair memang bermulut tajam, tetapi memiliki hati yang lembut dan perasa. Mohon untuk tidak menyimpan setiap ucapannya di dalam hati. Anda fokuslah pada pemulihan kesehatan anda. Luka anda begitu parah dan memerlukan banyak waktu untuk beristirahat," tuturnya lembut seolah yang baru saja kuutarakan bukanlah apa-apa dan entah mengapa hal itu justru membuatku sedikit tersinggung. "Besok, tabib penyembuh kami akan datang berkunjung untuk melihat luka-luka Anda."
Alasdair, jadi itulah namanya? Nama heroik yang rasanya tak sesuai dengan sikapnya terhadap rakyat jelata Mundaneland seperti diriku.
Aku mendengkus keras, berpaling dari wajah tenang Elian. "Aku benar-benar tidak membutuhkan ini," gerutuku.
"Jadi, apa yang anda butuhkan?" Elian menatapku dengan bersungguh-sungguh.
"Aku ingin pulang! Aku harus mencari kakak sepupuku Meredith!" bentakku tanpa sadar.
Elian tercengang sesaat, tetapi segera dapat mengendalikan ekspresinya untuk tetap tenang. "Anda tidak bisa pulang dengan kondisi seperti ini---"
"Bukannya karena aku seorang tawanan, ya jadi aku tidak bisa pulang?!" Lagi-lagi aku gagal menahan diri untuk tidak menghardiknya.
'Nona Wilhelmina, tenanglah dan beristirahatlah," tegasnya. Intonasinya sedikit berubah, meski wajahnya masih setenang tadi. Dia sama sekali tidak menggubris rengekanku, membuatku merasa seperti gadis kekanak-kanakan yang manja.
"Aku harus mencari udara segar," gerutuku seraya melangkah hendak menuju pintu, tetapi aku melupakan pecahan kristal yang terserak di lantai dan menginjak beberapa potongan. Bilah tajam yang berkilauan itu menusuk telapak kakiku hingga membuatku meringis. Darah segar menetes, mengotori lantai ubin dan seketika menyebarkan aroma anyir darah.
Elian refleks membungkuk, lalu mencabut dua potongan kristal yang menancap di telapak kakiku dengan hati-hati. Aku meringis, berusaha untuk tidak berteriak. Kemudian, dengan gerakan cepat, ia melingkarkan lengan di pinggangku, meraih dan mengangkat tubuhku dengan mudah.
Aku terkesiap. Tubuhku seolah lumpuh untuk memberontak. Kulitnya yang hangat menyentuh kulitku. Ketika aku baru menyadari keanehan situasi ini, Elian yang menggendongku telah meletakkan di atas tempat tidur empuk yang mereka sediakan. Aku tak berkutik, hanya menatapnya tak percaya.
"Istirahatlah," ucap Elian serupa bisikan sebelum berlalu meninggalkanku. Bunyi gemerincing kunci dan gembok yang beradu menjadi penanda kepergiannya. Aku kembali terkunci , sendirian, dan kembali tertawan tanpa bisa melawan.
Pontianak, 04 Oktober 2022, pukul 09.58 WIB
TBR 😍🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top