7. Strange Palace
Kamarku di Rumah merupakan peninggalan turun temurun keluarga Ares, yang terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Hanya berupa bilik kecil tanpa perabot, selain dipan keras untuk berbaring dan sebuah lemari tempat semua barang-barang hak milikku berada. Barang-barangku hanya berupa beberapa helai tunik usang, jubah lapuk, dan celana gombrang penuh tambalan, serta sebuah tas lukis berisi gulungan perkamen dongeng Mundaneland. Di pagi hari, kamar tidurku akan menguarkan aroma tanah yang lembab khas pegunungan, yang bagiku lumayan bagus. Sementara di siang hari, baunya akan sedikit menyengat sehingga membuatku tak betah berdiam berlama-lama di dalamnya.
Namun, kini penghiduku dipenuhi aroma lavender tajam, dengan sedikit campuran mint, serta sitrus, lalu ada aroma lainnya yang aku tidak ingat namanya. Seluruh aroma tersebut menciptakan harmoni yang harum dan menenangkan. Jenis aroma yang tidak akan pernah lagi aku cium sejak kematian Nany, karena ibu sambungku itu adalah salah satu peracik rempah dan wewangian terbaik di Mundenland. Dan, kini setelah bertahun-tahun berlalu, aroma serupa yang mengingatkanku pada Nany kembali tercium. Sudah dapat dipastikan aku tidak berada di rumah.
Perlahan-lahan aku membuka kelopak mata dan mendapati sepetak mural pangeran yang indah menaungi tempatku berbaring. Cahaya pagi menyorot dari salah satu jendela lebar yang sepertinya terbuka, lalu suara cicit burung pun terdengar begitu merdu, berbanding terbalik dengan pagi biasa yang kulalui di Mundaneland dengan suara hardikan dan teriakan caci maki.
Untuk beberapa alasan aku sama sekali tidak panik terbangun di tempat asing. Tempat ini begitu indah, bersih, dan aroma lavender itu benar-benar membuatku tenang. Meski, aku tahu persis, jika aku tidak mungkin berada di Mundaneland saat ini. Hanya istana Ratu Putih yang mungkin seindah ini, tetapi aku belum pernah ke sana, selain sel tahanan yang pernah menahanku beberapa malam. Sel tahanan ratu putih jelas-jelas tidak akan menguarkan aroma lavender dan disinari cahaya terang-benderang seperti tempat ini. Jadi, di mana aku sekarang?
Aku menggulirkan pandangan ke sekeliling ruangan yang cukup besar itu dengan takjub. Bilik yang ukurannya lebih mirip aula di rumah keluarga Jonathan itu dicat berwarna krem lembut. Pada setiap tiang penyangga di sudut-sudut ruangan dibentuk ukiran-ukiran malaikat bersayap, dengan jendela-jendela besar yang terbuka hampir di setiap sisi dinding. Jendela-jendela yang dilapisi kaca berukir mural sesosok pangeran dari potongan kaca berwarna-warni dengan paras dan kostum yang sama seperti mural di langit-langit kamar, meski dalam pose-pose berbeda.
Andai aku sekarang berada di sebuah istana, maka pangeran macam apa yang begitu menyukai dirinya sendiri hingga memajang gambarnya di setiap sudut istana? Namun, aku tidak mungkin berada di istana, kan? Karena satu-satunya istana di Mundaneland hanyalah Istana Ratu Putih. Kecuali, jika aku tidak berada di Mundaneland.
Aku mulai dilanda panik. Dengan gerakan tiba-tiba, aku memaksa punggungku menegak hingga merasakan sakit menusuk di bagian perut dan bahu. Aku refleks meringis seraya mengumpat.
"Benar-benar tidak punya sopan santun."
Sebuah suara dingin yang sedikit serak mengaketkanku. Rupanya, seseorang telah mengawasiku, entah sejak kapan, dari ambang pintu besar berukir mural sang pangeran yang tadinya luput dari pengamatanku. Sepasang matanya biru nan dalam dengan sorot tajam, dibingkai sepasang alis tebal yang membuat tatapannya begitu mempesona. Kulit pucatnya seolah tanpa cela begitu kontras dengan rambut gelap cokelatnya yang berkilauan dan terawat. Sekilas sosok itu terlihat begitu tidak manusiawi, karena begitu sempurna dan tanpa cela. Namun, sedetik kemudian, aku menyadari satu hal, wajah rupawan yang begitu familier itu rupanya wajah pangeran yang terpatri pada setiap mural di ruangan ini. Berarti dialah penguasa tempat ini.
Aku berdeham, mencoba mengatur debaran liar jantungku dan mencari sedikit referensi di dalam otakku tentang sopan santun. Namun, sangat sedikit sekali yang dapat kutemukan. "Siapa kau?" balasku dengan nada tak kalah tajam. Di balik selimut bulu yang tebal ini tanganku mengepal garang, siap menghajarnya jika ia kembali menghinaku.
Pemuda itu menelengkan kepalanya, seolah yang kuucapkan barusan benar-benar tidak relevan dengan ekspektasinya. Ya, aku memang tidak pernah relevan dengan ekspektasi siapa pun. Jadi, aku tidak peduli dan memilih diam sembari menatap awas seisi ruangan yang terasa seperti surga itu.
Suara embusan napas kasar terdengar dari ambang pintu. Pemuda itu mendengkus, masih menghunuskan tatapan tajamnya. "Tidak adakah yang pernah mengajarimu sopan santun dan memberitahumu betapa etika itu penting? Apakah semua orang di Mundaneland sekasar dirimu?" omelnya dengan rahang mengeras. Harus kuakui wajahnya terlihat lebih sempurna saat memendam sedikit amarah.
Aku menyugar rambut merahku asal, tetapi kemudian aku dikejutkan dengan kenyataan betapa halusnya tiap helai rambutku. Rambutku terasa bukan seperti rambutku. Lalu, tanganku meraba permukaan kulit wajahku yang terasa berbeda, lebih bersih dan jauh lebih halus. Bahkan kulitku pun terasa bukan seperti kulitku. Rasa panik kembali menerpaku, siapa yang telah melakukan 'sihir' ini padaku? Seumur hidupku di Mundaneland, tak ada satu pun baik kulit maupun rambutku yang teraba halus dan terawat. Pemuda ini pasti telah melakukan sesuatu padaku. Tiba-tiba saja aku rasanya ingin mengamuk. Berapa banyak yang dia sentuh selain tunik dan jubah usangku yang kini telah berganti sehelai gaun sutra tipis?!
Jadi, alih-alih menjawab pertanyaannya, aku justru melemparkan pertanyaan sengit. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?!" Andai saja tubuhku tak terbelenggu rasa sakit, aku mungkin sudah menghajarnya.
Lagi-lagi, pemuda itu mendengkus keras. "Selain tidak punya sopan santun, kau juga sangat tempramental," desisnya pelan. Sebelah tangannya terangkat menyentuh pelipis, seperti orang yang sedang sakit kepala. Samar-samar aku melihat kerut kecil di antara alis tebalnya, tetapi hal itu tak berlangsung lama karena wajahnya kembali tanpa cela saat ekspresinya menenang.
"Yang Mulia, sudah kukatakan, biar aku yang mengurus ini." Langkah kaki seseorang terdengar memasuki ruangan dengan tergesa-gesa. Lantai ubin menciptakan gema ketika beradu dengan sol sepatu kulit. Sosok berambut hitam panjang yang tergerai di belakang jubah perangnya itu terlihat sedikit membungkuk ketika melewati pintu, memberi hormat kepada si pemuda tanpa cela yang baru saja menghinaku. Tunggu dulu, dia menyebutnya 'Yang Mulia'?
"Yah, kau urus saja perempuan tak beretika ini," gerutu si pemuda berparas sempurna sambil berlalu dari ambang pintu. Dia meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh sedikit pun padaku bersama aroma lavender pekat yang melingkupinya, dan entah mengapa sikapnya membuatku sedikit terluka. Pemuda itu jelas-jelas sudah menghinaku sekehendak hatinya dan aku belum bisa membalas perbuatannya.
Sementara, pemuda berbaju zirah tadi kemudian berjalan ke arahku seraya menyunggingkan senyum ramah. "Anda sudah siuman, Nona?" sapanya simpatik. Pemuda ini memang tidak setampan 'yang Mulia' tadi, kulitnya lebih gelap dan wajahnya dipenuhi cambang juga kumis tipis, tetapi sesuatu dalam senyumam cemerlangnya, membuatnya terlihat menyenangkan dan dapat diandalkan. Pun sepasang netra cokelatnya seolah ikut tersenyum ketika dia tersenyum, sedikit mengingatkanku pada Jonathan.
Kemarahan yang semula berkobar di dalam dadaku, perlahan mulai surut. Tidak ada salahnya bersikap sedikit murah hati kepada para penolongku, kan?
Aku mengangguk pelan. "Kalian yang telah menyelamatkanku?" tanyaku dengan suara parau. Aku baru sadar telah lupa untuk membasahi tenggorokan ketika siuman tadi, padahal tenggorokkanku benar-benar terasa kering dan sakit. Aku lantas melirik meja kecil di sisi tempat tidur empuk yang menenggelamkan tubuhku di dalamnya dan mendapati satu kendi air di samping sebuah jambangan berisi bunga mawar merah segar.
Seolah dapat membaca pikiranku, pemuda berambut hitam tadi segera bergerak sigap untuk mengambilkan kendi air itu dan membantuku meminumnya. "Pasti rasanya haus sekali, ya, setelah tiga hari tak sadarkan diri," komentarnya ketika melihat betapa rakusnya aku menelan cairan bening itu. Gaun tidur sutra putih yang kukenakan jadi basah oleh air yang mengalir menuruni daguku.
Setelah menandaskan dahagaku, kuserahkan kembali kendi air itu padanya. Lalu, menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Tiga hari?" ulangku. "Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari?"
"Panggil aku Elian, Nona .....?" tanyanya setelah menyimpan kembali kendi air di tempat semula, lalu duduk di sisi tempat tidurku.
Aku berdeham canggung. "Wil. Wilhelmina Ares."
"Baiklah, Nona Wilhelmina. Anda ditemukan di tepi hutan dalam keadaan sekarat, dengan beberapa luka tusuk, beberapa memar, dan terlihat sangat mengenaskan. Yang Mulia .... merawat luka-luka anda dengan sangat baik sehingga nyawa anda berhasil diselamatkan," tutur Elian dengan nada simpatik. Biasanya, aku begitu membenci orang-orang yang mengasihaniku, tetapi cara bertutur Elian sama sekali tidak mengusik harga diriku. Hanya satu hal yang mengusikku, yaitu fakta bahwa si pangeran sombong maha sempurna tadilah yang telah menyelamatkan nyawaku! Benar-benar tak dapat dipercaya.
"Yang Mulia ...?" Aku tidak salah dengar, 'kan? Dengan paras seperti dewa, pemuda itu memiliki keahlian pengobatan yang lumayan? Dunia sungguh tidak adil!
Elian mengangguk mantap. "Ya, Yang Mulia.... Jugalah yang telah menemukan Anda di hutan, lalu membawa Anda ke kastel ini."
Yang benar saja? Jadi, biar kuulangi, Yang Mulia tidak hanya mengobatiku, tetapi juga menemukanku di hutan dalam keadaan sekarat yang mengenaskan, lalu membawaku ke kastelnya? Dia tidak hanya tampan, tetapi mahir dalam pengobatan, juga pasti memiliki kekuatan karena bisa menyelamatkanku dari hutan dan yang terpenting, memiliki otoritas menempatkanku di kamar indah di dalam kastelnya. Artinya dia jelas-jelas pemguasa di kastel ini. Kemudian, bulu kudukku mendadak meremang, apakah dia juga yang telah mengganti gaunku, membersihkan rambut, serta merawat kulitku?
Lalu seorang pelayan perempuan dengan kepala menunduk, sementara di tangannya senampan penuh roti serta mangkuk yang mengepulkan aroma sup, melangkah masuk dan meletakkan nampan itu di sebelah kendi air minum. Keberadaan pelayan perempuan itu seolah langsung menjawab pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku. Kedua pipiku terasa memanas, tentu saja, pelayan perempuan yang akan melakukan itu. Namun, sedetik kemudian aku menyadari jika Elian masih di sisi tempat tidurku, mengamatiku.
"Jadi, sebenarnya di mana aku sekarang?" tanyaku dengan dada berdegup kencang.
Senyum ramah Elian kembali mengembang. "Anda dan orang-orang Mundaneland biasa menyebut tempat ini dengan Kastel Hitam."
Jawaban Elian sontak membuat jantungku seolah merosot hingga ke telapak kaki.
Telah direvisi di Pontianak, pada 25 September 2022, pukul 23:07 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top