6. Inside The Forbidden Forest
Malam itu aku memimpikan kabut. Kabut putih yang perlahan-lahan menyelimuti hutan hingga hanya menyisakan beberapa puncak dahan tertinggi sebagai penanda bahwa sesuatu berdiri kokoh di baliknya. Bangunan kokoh yang seharusnya begitu familier, tetapi anehnya terasa asing malam ini. Kabur seolah-olah juga memenuhi benakku. Semula aku mengira ada sekumpulan pohon yang terbakar di salah satu sudut hutan, tetapi aku salah. Tidak ada sebatang pohon pun yang terbakar. Tidak ada bau asap. Udara begitu lembab dan berat. Ini bukan kabut biasa, melainkan halimun. Dan, kabut seperti ini tidak pernah terjadi di hutan mana pun di Mundaneland. Seharusnya aku bisa menebak keberadaanku sekarang.
Hutan di Mundaneland seharusnya diliputi cahaya alih-alih kabut. Beberapa jenis tanaman bunga liar akan memancarkan cahaya dari kelopak-kelopaknya hingga membuat hutan tak begitu kelam. Akan tetapi, sejauh mata memandang, tak satu pun sumber cahaya yang terlihat, selain bulan pucat yang diselimuti kabut dan nyaris ditutupi rimbun ranting dan dedaunan. Bahkan, kunang-kunang, yang biasa kami jebak di dalam gelas-gelas kaca sebagai sumber penerangan di malam hari, tak terlihat di mana pun di hutan ini. Kabut pekat yang tak lazim ini membuat hutan Mundaneland menjadi begitu berbeda, hingga tiba-tiba saja aku meragukan jika kini aku masih berada di Mundaneland.
Dengan kepala berat dan jarak pandang yang terbatas, aku mencoba merangkak. Tubuhku dijejali rasa sakit di sana sini hingga rasanya nyaris mati rasa. Telapak tanganku, satu-satunya yang tak mati rasa, menyentuh permukaan tanah hutan yang dingin dan licin, berselimut lumut tebal yang seolah tak pernah tersentuh. Beberapa kali aku harus jatuh tersungkur tiap kali mencoba bergerak maju.
Beberapa meter di hadapan, pemandangan yang semula putih dan berkabut perlahan-lahan berganti. Halimun putih pekat di hadapanku bergerak seumpama tirai yang tersibak ke kedua sisi, menampilkan sesosok gadis bergaun putih panjang yang menyapu lantai.
"Meredith?"
Gadis itu berdiri di sana, di antara halimun yang mendadak menipis. Wajahnya begitu sedih dan terluka, sementara sebelah tangannya terulur kepadaku. Mulut gadis itu terbuka, mengucapkan sesuatu tanpa suara. Pemandangan itu membuat hatiku remuk redam.
Benarkah itu Meredith? Atau hanya hantu penghuni hutan atau mungkin banshee yang biasa mengganggu orang-orang yang tersesat di tengah hutan. Bagaimana pun juga, Mundaneland adalah tanah para peri pada sejarah awalnya, sebelum sekumpulan manusia yang tak bisa kembali ke dunianya mengambil alih. Jadi, peri jahat seperti banshee mungkin saja masih bersembunyi dalam kegelapan dan sesekali muncul di tempat-tempat seperti hutan. Akan tetapi, banshee tidak akan menatapmu dengan ekspresi sesedih itu. Jadi, dia pasti Meredith.
Napasku serta-merta terasa sesak. Aku tahu persis apa yang Meredith ucapkan. Namun, hatiku terasa sakit karena tak mampu mengabulkan permintaannya. Meski tanpa suara, gadis itu menggerakkan bibir, membentuk kata 'tolong' yang bergaung begitu jelas dalam benakku.
Kenangan masa kecil kami di Mundaneland seketika mengemuka, begitu jelas memenuhi kepalaku, mengusir kabut yang semula membungkus benakku. Dalam keluarga besar paman-paman keparatku, banya satu orang yang memperlakukanku selayaknya manusia, yaitu Meredith. Sejak kecil, kami selalu berteman, meski secara sembunyi-sembunyi karena ayahnya jelas-jelas melarang Meredith untuk dekat-dekat denganku. Meredith, dengan segenap kemurnian hatinya, menjadi alasanku untuk tetapi tinggal di rumah besar keluarga Ares, setidaknya sampai Ratu Putih memilihnya sebagai korban. Sejak saat itu, aku tidak punya siapa-siapa lagi, pun tidak punya alasan untuk bertahan di Mundaneland. Dan, demi apapun aku tidak akan membiarkan Meredith terluka.
Aku harus menyelamatkannya. Aku harus menolong Meredith!
Dengan menyeret tubuh susah payah pada tanah hutan lembab yang berselimut kabut putih pekat sembari menanggung rasa sakit yang teramat sangat dan kepala yang berat, aku terus bergerak. Meski kabut memenuhi seisi hutan, pasti ada jalan keluar dari tempat keparat ini. Apakah sekarang aku sekarat? Beginikah rasanya berada di ambang kematian?
Akan tetapi, tiba-tiba bayangan Meredith menghilang. Kabut asap yang seolah tersibak kembali menutup tirainya, terlihat semakin putih pekat. Lalu, suara auman naga kembali terdengar. Kali ini terdengar jauh lebih dekat, seolah makhluk itu tengah bergerak dan mengintai di salah satu sudut hitam di balik pekatnya hutan. Atau jangan-jangan makhluk itu hanya berjarak selapis kabut tebal denganku.
Aku bergidik, tetapi kusadari kemudian napasku melemah. Meredith tidak terlihat di mana pun lagi, sejauh mata memandang hanya gumpalan kabut. Segalanya terlihat nyaris putih pekat, sementara kepalaku terasa semakin berat. Aku jatuh menelungkup di tanah berlumut, merasakan cairan hangat di bawah tubuhku yang membentuk genangan di satu sisi, beraroma anyir kuat. Darahku, aku berenang dalam darahku sendiri. Lalu, suara naga itu kembali terdengar, semakin dekat, diiringi langkah kaki yang menghantam keras dan bunyi kerosak dedaunan serta ranting yang patah.
Dadaku berdentum keras, tetapi aku sama sekali tak mampu menggerakkan tubuhku barang seinci pun. Rasa sakit benar-benar menguasaiku hingga segala kehendak untuk berlari menghindar sirnah. Aku hanya bisa memejamkan mata sembari mengepalkan tangan keras-keras, sementara telingaku mengawasi gerakan naga melalui dentum langkahnya yang mengguncang bumi, semakin mendekat. Langkah demi langkah. Auman demi auman datang silih berganti. Pun demikian dengan kesadaranku yang berkedip-kedip seumpama nyala lilin tertiup angin.
Dengusan napas panas dan berbau khas seperti logam tiba-tiba menerpa satu sisi wajahku. Bulu romaku sontak meremang. Naga itu telah datang, menghampiriku, dan akan membunuhku sebentar lagi. Aku refleks menahan napas ketika sebuah sentakan keras menarik tubuhku. Sisik keras nan kasar bersentuhan dengan kulitku yang terbuka. Sang naga telah mendapatkanku dan mungkin sebentar lagi kematian mungkin akan merengkuhku.
"Na-naga keparat ...."
***
Pontianak, 24 September 2022, pukul 23.59 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top