5. The Fire Arrows

Ada alasan mengapa orang-orang selalu memandangku sebelah mata, menganggapku pemberontak, dan gadis yatim piatu yang sulit diatur. Ibuku melahirkanku tanpa seorang suami. Dia adalah seorang gadis pemburu tangguh dari Mundaneland dan menolak untuk tunduk pada aturan. Menolak sebuah perjodohan dengan seorang tuan tanah muda, ibuku kabur menyelinap pada sebuah kapal dagang milik kaum kurcaci. Mundaneland sudah lama memutuskan hubungan dengan kaum elf, yang katanya selalu licik dan curang, sehingga interaksi bangsa manusia hanya dengan beberapa kaum peri terbatas, salah satunya kurcaci. Setelah menumpang kapal para kurcaci, ibuku tidak pulang selama hampir lima tahun. Menginjak tahun keenam, ibuku pulang dalam keadaan sakit, terluka secara psikis, dan yang terburuk, dalam keadaan hamil. Ibuku yang sejak saat itu menolak berbicara pada akhirnya melahirkan pada bulan ketiga dan mengalami perdarahan hebat hingga nyawanya tak dapat tertolong. Sejak saat itu aku sebatang kara. Hanya Nanny, perempuan tua yang membantu persalinan ibuku yang bersedia merawatku, sementara paman-pamanku yang lain angkat tangan. Kebetulan, ibu adalah satu-satunya perempuan di antara enam saudara laki-laki keparatnya.  Dan, sejak Nanny meninggal sepuluh tahun kemudian, aku resmi tanpa wali.

Namun, sebelum meninggal, Nanny memberiku sepucuk surat dari mendiang ibuku, yang membuatku tak bisa terusir dari rumah dan peternakan yang kini aku beserta keluarga besar paman-paman pekaratku tempati. Selain, surat, Nanny juga memberiku sebuah liontin ajaib peninggalan ibu yang akan berpendar dan terasa hangat jika bahaya mendekat.

Jadi, kalaupun malam ini aku harus mati, lagi-lagi, tidak ada yang akan peduli. Atau justru itulah yang paling diharapkan paman-paman keparatku. Mereka bisa menguasai rumah besar peninggalan keluarga Ares tanpa aku. Akan tetapi, mendiang ibuku jelas-jelas tak rela jika aku harus mati sekarang. Buktinya, kalung perak bermata Ruby itu berpendar, terasa hangat di kulitku.

Aku terlonjak, saat kalung yang melingkari leherku terasa panas. Gelap yang memenuhi benakku, serta-merta terkoyak. Sinar bulan pucat di antara sela ranting dan dedaunan menjadi pemandangan pertama ketika kelopak mataku terbuka. Aku masih di hutan dan yang paling penting, aku masih hidup.

Rasa pusing mencengkeram pelipisku, tetapi tak sekuat panas di leher penanda bahaya. Meski hutan dalam keadaan sunyi senyap, tak terlihat makhluk mengerikan yang membawa Meredith pergi, aku tetap bergegas bangkit dan dengan langkah terseok berjalan menuju pinggir hutan untuk kembali ke rumah. Namun, rasa panas di kulit leherku semakin membakar. Apakah aku menuju arah yang salah?

Selagi aku menimbang untuk kembali berbalik ke tengah hutan, sebuah anak panah berapi melesat ke arahku dan menancap tepat di pohon terdekat. Aku terkesiap. Langkahku terhenti. Anak panah itu jelas-jelas berasal dari pinggir hutan.

Aku berbalik dengan kalut, sementara pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Lalu, anak-anak panah api lain satu persatu menyusul, memelesat ke arahku, seolah aku adalah targetnya.

Kini aku berlari ke tengah hutan, sesekali tersandung dan tergelincir di antara semak belukar. Anak-anak panah itu terus bermunculan ditembakkan dari jalan yang harusnya kutempuh untuk kembali, meski aku tidak dapat melihat si pemanah di tengah belantara yang nyaris pekat.

Siapa yang memburuku? Apakah paman-paman keparatku memburuku agar mati di hutan dan tidak kembali ke rumah, tetapi tidak ada yang mengetahui penyusupan ini selain Jonathan?

Pepohonan kian rapat. Semak belukar serta akar-akar pohon semakin besar dan berlumut.  Begitu pula, udara di sekitarku yang semakin lembab. Aku hampir sampai kembali ke posisi tandu dan kereta pengorbanan Meredith, tempat makhluk mengerikan itu muncul, tetapi anak-anak panah itu tak juga berhenti.

"Sialan! Keluarlah pengecut! Mari berduel denganku dalam jarak dekat!" teriakku marah. Duel dalam jarak dekat adalah keahlianku, meski tanpa senjata. Paman-pamanku tahu itu, begitu pula sebagian besar penduduk Mundaneland yang tinggal di balik benteng istana. Jonathan juga tahu itu.

Alih-alih mendapatkan jawaban, anak-anak panah api justru semakin banyak menargetku sebagai sasaran. Satu anak panah pada akhirnya menancap pada jubah usangku hingga membuat ujungnya terbakar. Aku refleks membuang jubahku seraya menghalau anak panah lain yang terus berdatangan.

Pada akhirnya aku benar-benar kembali ke tempat kereta dan tandu Meredith berada. Satu kereta yang berada di belakang kereta yang kususupi tampak hancur. Bagian atasnya remuk seperti telah dihantam oleh sesuatu yang besar dari ketinggian. Dia rodanya terlepas, sementara kuda-kuda yang menariknya tak terlihat. Baiklah, kereta itu bukan tempat terbaik untuk sembunyi karena beberapa anak panah api lantas menancap pada rongsokannya. Perlahan-lahan percikan api mulai berkobar memakan badan kereta.

Aku terus berlari mengitari kereta itu, memutuskan untuk kembali ke dalam kereta tempatku bersembunyi. Akan tetapi, seseorang berjubah hitam dengan topeng perak menutupi wajah, melompat turun dari kereta yang tiba-tiba menjeblak terbuka. Dua orang bertopeng lainnya muncul belakangan sembari menggotong peti barang-barang berharga keluar dari kereta. Tentu saja, para pencari kesempatan! Ternyata selama itu harta persembahan itu tak pernah sampai kepada si naga iblis.

Sosok bertopeng perak itu mengayunkan bilah pedangnya ke arahku. Dengan gesit, aku mengelak, membiarkan mata pedang yang tajam menebas ranting pohon. Sosok itu berteriak garang, terdengar suara laki-laki yang berat dan kasar. Dia kembali menyasar perutku. Lagi-lagi aku mengelak gesit sembari menghadiahi punggungnya dengan pukulan siku. Lelaki berjubah hitam itu jatuh tersungkur ke arah semak ilalang tinggi di belakangku.

Aku meraih sebilah dahan kayu untuk memberikan sentuhan terakhir kepada keparat bertopeng itu, ketika sebuah cengkeraman mencekik leherku. Kalungku yang sedari tadi berpendar hangat, kini terasa memanas. Fokusku teralih antara menahan sakit cekikan dan rasa panas yang membakar di leher hingga dahan kayu dalam genggamanku terlepas. Aku tersedak saat sosok yang mencekik leher perlahan-lahan mengangkat tubuhku. Dengan panik aku balas mencengkeram cekikannya, sementara kakiku menendang-nendang liar agar dapat kembali menjejak tanah.

Di saat-saat kritis itu, sosok lelaki bertopeng yang baru saja kuhajar hingga tersungkur, kemudian bangkit dan berbalik ke arahku seraya meraung marah. Pedang di genggamannya berkilat-kilat memantulkan cahaya purnama ke-tiga belas. Dia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi seolah bersiap untuk menghabisiku.

Jadi, beginilah akhirnya perjuanganku untuk menyelamatkan Meredith?

Napasku tersendat tinggal satu per satu tarikan lemah, bahkan pandanganku telah memburam, ketika cekikan di leherku mendadak terlepas begitu saja. Tubuhku terhempas  bersamaan dengan Raung kesakitan lelaki bertopeng di belakangku. Dengan gegas, aku berdiri dan menghindar saat kulihat sekilas beberapa panah api menancap di tangan dan punggungnya.

Namun, bahaya sepertinya belum menjauh. Lelaki bertopeng dengan sebilah pedang terhunus kini memburuku dan dia tidak sendirian. Tiga sosok serupa kembali muncul dari kegelapan. Sosok-sosok dengan busur panah di punggung dan sebilah belati di genggaman. Jadi, rupanya merekalah orang-orang yang menghujaniku dengan panah api.

Dengan napas yang belum stabil, rasa panas yang terus membakar kulit leher, aku berlari tersaruk-saruk di antara deretan kereta dan tandu Meredith. Awan hitam perlahan-lahan menaungi bulan pelurnama hingga hutan itu semakin pekat. Suara-suara langkah kaki terus mendekat, memburuku, tetapi kemudian aku tersadar jika aku sudah terpojok.

Langkahku berhenti tepat di perbatasan Hutan Utara yang berkabut. Kabut putih seumpama tirai memenuhi sepanjang sisi hutan. Di belakangku, tawa para pembunuh itu memecah hening hutan. Aku tidak bisa bergerak, sementara sosok-sosok bertopeng perak dan berjubah hitam itu telah membentuk blokade yang mengunci pergerakannya. Pedang-pedang panjang bermata perak teracung mengancam ke arahku. Hanya ada satu jalan keluar atau jalan terdekat menuju kematian mengerikan yang tak terduga, yaitu Hutan Utara yang terkutuk.

Aku siap mati. Aku tidak peduli jika harus mati sekarang. Aku mengulang kata-kata itu dalam hati selagi memasang kuda-kuda. Namun, sebelum mati, aku harus memberikan perlawanan yang mengesankan. Wilhelmina Ares harus mati dengan terhormat.

Aku menarik napas dalam-dalam seraya memasang kuda-kuda terbaik yang pernah kugunakan untuk perkelahian jarak dekat tanpa senjata. Sekilas aku menghitung, setidaknya ada sepuluh sosok bertopeng terlatih dengan pedang terhunus yang menjadi kawanku. Tidak masalah. Benar-benar tidak masalah bagi seorang pembuat onar yang sering berkelahi di bar.

Aku mengepalkan tinju ketika dua sosok bertopeng menyerang terlebih dahulu dari arah berlawanan. Dengan tangkas, aku mengelak hingga membuat kedua penyerang justru menghajar sesamanya. Satu langkah bagus, tetapi kemenangan itu hanya bertahan tak lebih dari satu detik karena penyerang selanjutnya justru datang bertubi-tubi dari berbagai arah.  Aku berhasil menghindari serangan pertama dan kedua, bahkan berhasil meramoas salah satu pedang penyerang, ketika sebuah tusukan tak terduga menyasar perutku.

Serangan itu berhasil melumpuhkanku, membuatku jatuh berlutut. Pedang rampasanku terlepas dari genggaman, sementara aku refleks memegang perut yang terkoyak, menyemburkan darah segar. Bau anyir darah segera saja memenuhi pengiduku, membuat pandenganku mulai memburam.

"Ayo habisi dia!" Salah satu sosok bertopeng perak berteriak parau. Suaranya terdengar jauh, timbul tenggelam.

Seseorang menendang punggungku hingga jatuh tersungkur. Pandanganku kabur dan berputar-putar. Indera-inderaku terasa tumpul. Rasa sakit dan pusing perlahan-lahan menguasaiku. Lalu, sebuah tendangan lagi. Kemudian sebuah tusukkan. Tubuhku terasa bocor, selagi aku merangkak ke sembarang arah untuk menghindar. Rasa sakit mengungkung sekujur tubuhku, tetapi aku tidak boleh menyerah. Aku, Wilhelmina Ares, harus melawan dengan heroik.

Pandanganku semakin kabur, meski aku dapat merasakan samar-samar tubuhku bergerak. Suara-suara para pemburu itu perlahan-lahan menghilang, sementara kabut menutup pandanganku. Cahaya bulan telah menghilang sepenuhnya. Tubuhku menggigil hebat, ketika kesadaranku hilang datang. Lalu, di kejauhan, aku mendengar suara kepak sayap, terlampau nyaring untuk seekor burung, yang disusul gerung lantang. Kelopak mataku perlahan-lahan tertutup. Suara itu masih terdengar, suara gerungan seekor naga!













Pontianak, 14 September 2022 pukul 20.18 WIB
Thank you for reading ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top