4. Fullmoon The 13th
Pada malam purnama ke-tiga belas, sentinel dari Kerajaan akan membawa iring-iringan tandu berisi kurban lengkap dengan berbagai gaun indah beserta perhiasan yang dianggap sebagai hadiah pernikahan. Bagaimanapun, kurban yang ditetapkan untuk digiring ke pinggir hutan Utara dianggap sebagai mempelai untuk si iblis naga. Namun, jika iring-iringan pada pernikahan yang sesungguhnya disertai oleh alunan musik, nyanyian, dan tetabuhan suka cita, maka iring-iringan kurban ini harus berjalan dalam senyap, selain ratapan pilu si gadis kurban di dalam tandu. Demikian pula halnya dengan Meredith.
Dari dalam kotak perhiasan yang seukuran peti mati manusia, aku dapat mendengar Isak tangis Meredith. Sepanjang perjalanan yang membuat tubuhku terbanting ke berbagai sisi, tangis Meredith seolah tak berbeda.
Sedikit banyak, aku bisa memahami perasaan Meredith, meski ia termasuk gadis yang dangkal, menurutku. Di usianya yang akan menginjak delapan belas tahun, Meredith hanya bercita-cita untuk menjadi istri Sevan, anak peternak yang tinggal di samping rumahnya. Namun, Stevan terlalu miskin untuk melamar Meredith dengan beberapa keping koin emas. Alhasil, Ratu Putih yang lebih dahulu melamar Meredith untuk naga dongengnya. Selain miskin, Stevan juga lemah dan tolol, dia bahkan tidak memiliki rencana untuk menyelamatkan kekasihnya.
Aku mengumpat samar, lalu sadar jika aku sedang bersembunyi. Sebuah giwang menusuk lengan atasku ketika tandu bergoyang keras. Lalu, bunyi sesuatu yang besar dihempaskan dengan sangat kuat menyadarkanku jika tandu yang kutempati telah berhenti bergerak. Suara Meredith juga mendadak hilang, berganti hening yang meresahkan.
"Cepat letakkan di sini!" titah seseorang, barangkali salah satu sentinel yang berada dalam iring-iringan tandu Meredith. Apakah kami sudah sampai di perbatasan Hutan Utara?
Aku menarik seuntai kalung mutiara yang entah bagaimana telah membelit ketat leherku, hadiah pernikahan sialan Meredith dan si iblis naga, lalu menajamkan pendengaran dengan menempelkan telingaku pada salah satu sisi peti yang kosong. Suara-suara itu terdengar begitu jauh dan tak jelas, sementara suara Meredith pun bahkan tidak terdengar lagi. Barangkali, sepupuku itu sedang melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan; menguping dengan waspada. Atau, apakah sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?
Aku mendadak panik. Berdiam diri dan mencoba mendengar suara samar-samar dari luar adalah hal bodoh yang akan kusesali setelah ini jika sesuatu yang buruk terjadi pada Meredith. Untuk itu, aku harus segera keluar dari peti ini. Aku menggeliat pelan, merasakan setiap inci tubuhku yang bersentuhan dengan sudut-sudut benda-benda yang ada di dalam peti seraya memastikan jika pergerakanku tidak menimbulkan suara yang dapat menarik perhatian. Kemudian, dalam kegelapan peti, aku meraba kalung di leher, sebilah pisau lipat yang telah kupersiapkan untuk keluar dari peti menggantung di sana, gagangnya terasa dingin ketika bersentuhan dengan kulitku. Sebelum, masuk di dalam peti ini, aku telah melonggarkan engselnya, sehingga satu tendangan ringan atau cungkilan saja, tutupnya akan terbuka dengan mudah.
Setelah menggenggam belati di tangan, aku menendang bagian atas peti dengan ringan hingga tutup atas peti menimbulkan celah yang menandakan jika benda itu telah terbuka. Perlahan-lahan, aku bangkit, sementara sebelah tangan yang tak memegang belati menggeser tutup peti. Suara-suara samar masih terdengar di luar tandu sehingga aku yakin jika yang kulakukan tidak akan menimbulkan bunyi kentara. Suasana di dalam tandu remang-remang, hanya sedikit cahaya yang menerobos dari tirai jendela yang sedikit tersingkap. Selain, peti perhiasan yang kutempati, setidaknya terdapat tiga peti panjang lain dan dua peti yang mirip kotak harta karun yang sering ditemukan orang-orang yang baru saja pulang menjelajah lautan Faeseafic.
Dengan mengendap-endap, aku mengintip ke luar jendela, melalui tirinya yang sedikit tersibak. Bukan purnama ke-tiga belas yang terang-terangan memberikan pemandangan jelas mengenai dua tandu yang berhenti di depan tandu yang tengah kutempati. Bayangan hitam dedaunan yang tertiup angin memberikan refleksi yang bergerak-gerak menutupi bagian atas tandu seumpama tangan raksasa yang turun dari langit kelam perbatasan Hutan Utara. Sementara, suara langkah kaki bergerak pelan di sekitar tandu, aku menangkap samar-samar suara rangis tertahan di kejauhan.
"Bawa gadis itu keluar, ikat di batang pohon sebelah sana. Lalu, setelah itu kita bisa pergi." Suara parau nan berat terdengar dari suatu tempat di sekitar tanduku berada. Tidak seperti ketika berada di dalam peti, suara kali ini terdengar begitu jelas hingga membuatku sedikit was-was.
Jadi, kami sudah tiba di perbatasan Hutan Utara, tempat paling angker di Mundaneland? Dan, mereka sebentar lagi akan meninggalkan kami di tempat terkutuk ini?
Aku bergerak ke arah pintu kereta, duduk dalam diam sembari menempelkan telinga pada permukaan pintu yang berukir. Suara langkah kaki yang semula sibuk berangsur-angsur menghilang dalam hening hutan, hanya menyisakan suara isak tangis Meredith yang teredam di tandu sebelah. Setelah suara langkah kaki sepenuhnya menghilang, dengan hati-hati, aku mendorong pintu kereta.
Udara dingin Perbatasan Hutan Utara seketika menyergap kulitku. Aku bergidik sesaat ketika menyadari jika tunik usang tebal dan rompi kulit yang kukenakan sama sekali tak bisa menghalau dingin. Namun, jelas satu hal yang tak akan surut, meski aku harus membeku sekalipun, yaitu tekadku untuk berhadapan dengan si naga iblis dan menyelamatkan Meredith. Walaupun aku harus mati malam ini, aku akan mati dengan bahagia ketimbang hidup dengan rasa was-was di bawah bayang-bayang teror legenda naga dari kastel Utara. Setelah mengeluarkan sebilah belati berukuran sedang dari balik sepatu kulitku, aku bergegas melompat keluar dari tandu.
Suasana di luar telah hening sama sekali. Para sentinel pengecut pembawa tandu itu pastilah sudah lari tunggang langgang menyelamatkan diri sendiri. Dengan pandangan awas menyisir hutan dan langkah tegap waspada, aku mendekati kereta Meredith. Tangis gadis itu telah lama berhenti. Berbagai asumsi bermunculan dalam benakku, sementara dadaku berdentum kencang ketika mendorong pintu tandu Meredith hingga terbuka.
Kosong! Mataku membola. "Meredith!" bisikku panik. Gadis itu tidak ada di dalam. Jubah hangatnya yang bersulam benang emas teronggok begitu saja. Dengan panik, aku berbalik mundur, lalu pandanganku menemukan siluet gadis semampai bergaun sutra berdiri di bawah pohon, tepat di garis batas. Rambut gelapnya yang bergelombang dibelai angin malam. "Meredith, apa yang kau lakukan di sana? Ayo, kita pergi dari sini."
Gadis itu berbalik, menatapku tak percaya. Mata besarnya berair, pipinya sembab. Begitu melihatku, senyum kelegaan terulas di bibir ranumnya yang telah dipoles pemerah bibir. Meredith berlari ke arahku dengan langkah goyah, sesekali tersandung sesuatu yang tertutup kabut tebal di atas permukaan tanah hutan.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tangisnya pecah, selagi Meredith memelukku.
"Tidak ada waktu untuk bercerita. Kita harus pergi sekarang!"
Aku buru-buru melepaskan dekapan Meredith dan menggandeng pergelangan tangan gadis itu, menyeretnya pergi menerobos gelap dan kabut. Gadis itu menurutiku tanpa bicara, sementara tangisnya masih belum reda.
Malam di Mundaneland sebetulnya tidak terlalu gelap, sama seperti malam-malam di semesta Fairyverse pada umumnya, terlebih dengan purnama ke tiga-belas yang bersinar terang di puncak langit. Akan tetapi, malam itu, kabut tebal berwarna putih menyelimuti nyaris seluruh permukaan hutan, sejauh mata memandang, kabut yang berasal dari Hutan Utara yang terlarang. Ratu Putih seringkali mengatakan jika kabut itu memang berasal dari Hutan Utara pada malam purnama ke tiga-belas, tepat sebelum para naga keluar dari persemayaman.
Selagi aku menyeret Meredith menuju tepi hutan yang lebih aman, tiba-tiba suara gerungan terdengar samar-samar. Kelebat banyangkan hitam yang seolah mengitari hutan mendadak menutup cahaya bulan purnama yang benderang di balik kabut. Aku menoleh, setelah menuntun Meredith berlari di depanku terlebih dulu agar aku dapat menghalau apa pun yang membahayakan kami dengan sebilah pedang pendeng yang tergenggam di tangan. Namun, kabut dan rating pepohonan yang rimbun atau mungkin temaram hutan membuatku kepayahan untuk memastikan makhluk apa yang baru saja menggerung. Bayang-bayang hitam besarnya menyatu dengan bayang pepohonan.
"Wilhelmina!" Jeritan Meredith memecah atensiku. "Wil ... Tolong aku!"
Bayangan hitam bergerak mendekat, meredupkan pandanganku yang kini teralih ke Meredith. Gadis yang berjarak tak lebih dari dua meter di hadapanku itu rupanya telah terangkat di udara. Kaki-kakinya yang menggantung menerjang liar selagi ia meneriakkan namaku.
"Tolong, Wil!"
"Meredith!"
Aku menyeret kakiku, memaksakan berlari lebih cepat meski beberapa kali nyaris terjatuh karena tersandung akar-akar besar yang tertutup kabut. Dadaku berdentam keras, sementara keringat mulai mengalir di pelipisku dalam udara hutan yang nyaris membekukan. Pada detik-detik sebelum tubuh Meredith hampir tak terjangkau, aku berhasil meraih sebelah pergelangan kakinya.
"Wil!"
Suara gerungan samar kembali terdengar di kejauhan. Akan tetapi, jika gerungan nagalah yang memecah sunyi hutan kini, berarti makhluk itu berapa pada posisi yang jauh. Jadi, makhluk apakah yang kini menyeret Meredith dan aku di atas ketinggian?
Aku mendongak sementara kakiku terus bergerak mencari dahan yang dapat kukait agar kami tidak terus terbang menjauh dari hutan. Namun, aku tak dapat melihat apapun, selain Meredith, rimbun dedaunan, dan kabut putih yang kini mulai menyelimuti nyaris seluruh penjuru hutan.
Meredith terus menjerit, melaungkan namaku, tetapi jeritan itu kian lemah. Pada sebatang pohon Oak tua akhirnya aku berhasil mengaitkan sebelah kakiku, membuat makhluk apapun yang membawa kami kini menggeram marah. Tidak, makhluk itu tidak menggerung seperti suara yang terdengar di kejauhan, tetapi makhluk itu menggeram dengan nyaring.
Dari balik kabut putih, sepasang mata merah menyorot marah padaku, rambut putihnya berkibar di sela-sela kabut putih yang sedikit tersibak, menampakkan kemarahannya. Sebuah lengan bercakar yang menyatu dengan sayap bergerak cepat ke arahku, membenamkan kuku-kukunya pada sebelah bahuku hingga genggaman tanganku pada pergelangan tangan Meredith terlepas. Sebelum tubuhku jatuh menghantam susunan ranting pohon, seraut wajah muncul dari balik kabut, setelah menarik Meredith ke sisinya. Detik itu juga, aku mengenali siapa yang telah merenggut Meredith dariku. Dan, makhluk itu bukanlah si naga iblis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top