3. The Plan
Derit engsel jeruji besi membangunkanku dari tidur dengan begitu banya mimpi buruk. Saking banyaknya, aku jadi tidak bisa mengingat apa saja yang telah kumimpikan karena semua kengerian itu berputar di kepalaku membentuk pusaran lubang hitam. Kepalaku berdenyut pening ketika memaksa tubuh berdiri dari posisi meringkuk. Rasa pahit dan asam memenuhi mulutku, sementara tenggorokkanku kering dan rasanya sakit bukan main. Ruang kurungan istana Ratu Putih sepenuhnya gelap dan lembab, berbanding terbalik dengan istananya yang nyaris semuanya seputih salju dengan terlalu banyak jendela kaca di sana sini. Bau apak dan bau sesuatu yang basah memenuhi penghiduku hingga membuatku nyaris muntah, tetapi berhasil kutahan.
Setelah penglihatanku bisa menyesuaikan dengan keadaan ruangan penjara yang remang-remang dan rasa sakit di kepalaku sedikit mereda, aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan menyadari jika satu-satunya sumber cahaya hanyalah bias obor kuning dari satu-satunya lorong di luar deretan kurungan, yang jaraknya beberapa kurungan dari tempatku. Tidak ada suara apa pun yang terdengar selain suara napas dan debar jantungku sendiri.
Tiba-tiba aku mengingat Meredith. Samar-samar, wajahnya yang berasal dari mimpiku beralih memenuhi benakku kini. Baru kusadari aku telah memimpikannya berkali-kali dalam tidur. Wajah Meredith yang dipenuhi air mata dan terlihat sangat terluka dalam gaun putih paling indah yang pernah kulihat di Mundaneland, lalu seekor naga bersisik hitam legam menyambarnya cepat dan membawa Meredith pergi menembus langit. Mimpi mengerikan itulah yang membangunkanku. Kini aku ingat betapa menyedihkannya perasaan kehilangan itu, perasaan ketika melihat Meredith disambar sang naga dan aku tak dapat melakukan apa-apa. Aku merasa seolah-olah telah membunuh Meredith, meski hal itu hanya terjadi di dalam mimpi.
Setetes air bening hangat mengalir di pipiku tanpa sadar, ketika cahaya obor di kejauhan bergerak-gerak. Lalu, sebuah bayangan masuk mendekat melewati lorong diiringi langkah sepatu yang menggema pada lantai batu. Aku refleks mengusap air mata, tak ingin terlihat lemah atau terluka di hadapan siapa pun. Hal itu adalah pantangan terbesar bagiku. Seorang sentinel berdiri di depan jeruji seraya membuka gembok dan lilitan rantai perak yang mengunciku di dalamnya.
"Wilhelmina Ares, kau boleh keluar!" Sosok sentinel bersuara cempreng itu berteriak lantang.
Aku mengangguk cepat, meski tak begitu yakin jika ia memerhatikan, terlampau antusias karena seseorang pasti telah menyuap sipir dan menyelamatkanku. Dengan kaki gemetar aku mencoba berdiri, bertopang pada satu lengan yang mencengkeram dinding lembab ruang tahanan. Hawa dingin yang menyelimuti tembok menjalar pelan dari permukaan telapak tanganku hingga membuat lenganku terasa ngilu. Langkahku tertatih ketika menghambur ke arah jeruji yang terbuka.
"Seseorang telah membayar kebebasanmu dengan sekeping emas," sambungnya sambil menyeringai. Gigi-giginya yang menghitam membuatku muak hingga sontak memalingkan wajah.
Aku nyaris meludah, tetapi mengingat rongga mulutku yang begitu kering karena lama tidak minum, aku mengurungkan keinginan itu. Dengan langkah yang tersandung-sandung, aku mengikuti sentinel bertubuh kerempeng itu menyusuri lorong sembari mengintip deretan ruang tahanan menuju arah cahaya penanda jalan keluar yang ternyata kosong. Namun, suara-suara rintihan dan gumaman terdengar samar dari sisi lain lorong yang jauh lebih gelap daripada lorong yang sedang kulewati. Orang-orang pasti sedang disiksa di sana. Entah keslahan seperti apa yang membuat orang-orang malang itu mendapat siksa dan hukuman yang begitu pedih. Bukankah Ratu Putih maha pengampun dan paling bijaksana?
"Wilhelmina." Jonathan muncul dari ujung lorong dan langsung memelukku sekadarnya, mengabaikan sentinel kerempeng yang barangkali tengah memelototi kami.
"Aku baik-baik saja," sahutku ketus seraya melerai pelukannya dengan canggung. Si sentinel kerempeng itu telah pergi meninggalkan kami memasuki lorong lain dan hal itu membuatku sedikit lega. "Terima kasih karena sudah memberinya sekeping emas. Dari pada memberinya, harusnya kau memberikan emas itu padaku."
Jonathan terkekeh. Satu lesung pipi tercetak pada kulitnya yang kemerahan akaibat ditempa matahari. Aku telah mengenal Jonathan seumur hidupku. Kami bersahabat, setidaknya sampai musim dingin tahun lalu ketika dia mulai melamarku. Sejak saat itu, aku merasa ada tabir tak kasat mata yang membatasi kami, membatasiku untuk terbuka padanya. Namun, Jonathan, masih pemuda berambut merah santun yang sama seperti pertama kali aku mengenalnya. "Oh, ya, ampun, Wilhelm. Kenapa kau tidak bilang dari awal, aku bisa memberimu sekeping emas dan kau akan menjadi kaya raya di dalam penjara Ratu Putih," balasnya mengejek.
"Benar-benar sahabat yang baik."
"Aku tahu, terima kasih kembali, Wilhelm. Tapi, jika aku tidak mengeluarkanmu dari tempat ini, aku pastikan kau tidak akan pernah bertemu dengan Meredith lagi." Nada bicara Jonathan berubah serius. Satu alis kecokelatannya terangkat.
Aku sontak menghentikan langkah, lalu berpaling padanya dengan panik baru saja mengingat hal penting ini. "Di mana Meredith sekarang?" tanyaku gusar. Suaraku terdengar serak dan sumbang di telingaku sendiri.
"Di tempat paling layak bagi pahlawan Mundaneland."
Aku mencengkeram kedua lengan Jonathan dengan kasar, nyaris mengguncang tubuhnya andai saja tubuh pemuda itu jauh lebih kecil dan ringkih. "Jonathan?" geramku penuh ancaman, menuntut keseriusannya.
Pemuda berambut merah itu mendengkus, lalu dengan kasar menyentak kedua lengannya hingga cengkeramanku terlepas. "Di kastel Ratu Putih. Sedang menikmati semua pelayanan dan jamuan terbaik. Besok malam dia akan diantar ke Perbatasan Hutan Utara."
Aku menggeleng frustrasi. "Tidak. Tidak ada waktu lagi," gumamku tanpa sadar. Namun, kemudian, sekelebat ide melintas dalam benakku. Ide yang mungkin dapat menyelamatkan Meredith, juga gadis-gadis malang yang akan menjadi tumbal purnama ke tiga-belas selanjutnya. Tanpa memedulikan Jonathan, aku segera berbalik, nyaris berlari saat pemuda itu menarik pergelangan tanganku.
"Jangan bertindak bodoh, Wilhelmina!" tuturnya memperingatkan. Sepasang netra cokelatnya berkilat penuh ancaman. Pemuda itu pasti tahu apa yang mungkin bisa aku lakukan di saat-saat seperti ini. Dia telah mengenalku nyaris seluruh hidupnya. Dia bahkan mungkin bisa membaca isi kepalaku.
"Aku tidak punya pilihan, Jonathan. Meredith akan mati dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi." Mimpi Meredith ditangkap sang naga iblis kembali membayang di benakku. Rasanya begitu mendekati nyata.
"Jika kau tertangkap, aku tidak akan bisa menyelamatkanmu dengan sekeping koin emas kali ini, Wilhelm." Jonathan masih enggan melepasku. Satu hal yang benar-benar tidak kusukai dari Jonathan adalah anggapannya jika hampir segala sesuatu dapat dibayar dengan keping emas, sehingga baginya penyelesaian masalah terbaik adalah logam mulia tersebut. Pemuda itu memang berbeda dariku, Jonathan tidak pernah mengecap kemiskinan atau tidur beralas salju dan berselimut embun. Jonathan juga tidak pernah merasa kekurangan gandum di rumahnya, tidak seperti aku. Jonathan adalah anak petani terkemuka di Mundaneland, yang meski berkasta rendah, mereka punya cukup banyak koin emas untuk menawar sedikit kemewahan.
Aku menggeleng keras, agak jengkel dengan ucapan Jonathan. "Kau berkata seperti itu seolah-olah aku akan gagal."
Wajah Jonathan melunak. "Tidak, bukan seperti itu, Wilhelmina. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."
"Bagaimana dengan Meredith? Bagaimana dengan gadis lain yang akan menjadi tumbal selanjutnya? Bagaimana jika aku adalah korban selanjutnya, Jonathan? Apakah kau tidak merasa khawatir? Nyawa mereka sama sekali tidak bisa diganti dengan kepingan emas, Jonathan," raungku marah. Kemarahan salah tempat yang kulampiaskan pada Jonathan. "Aku tidak bisa diam saja, Jonathan. Aku harus berbuat sesuatu. Aku tidak bisa hidup di bawah bayang-bayang teror semacam ini selamanya!"
Jonathan mendekatkan wajahnya padaku, sementara kedua tangannya bertumpu pada pundakku. Sepasang netra cokelatnya mengunciku lekat-lekat. "Aku tidak bisa menyelamatkan semua gadis di Mundaneland, Wilhelm. Tapi aku bisa menyelamatkanmu." Jonathan menarik napas dalam-dalam, sementara dadaku berdebar kencang menanti lanjutan kalimatnya. Aku nyaris sudah bisa menerkanya, mengingat ucapannya pada musim dingin tahun lalu. "Aku akan melamarmu, Wilhelmina Ares. Setelah kita menikah, kau tidak akan mungkin terpilih lagi menjadi korban," tuturnya hati-hati.
Sudah kuduga! Jonathan Aldric melamarku lagi, setelah kutolak dengan kasar pada musim dingin tahun lalu yang mendadak melanda semesta Fairyverse yang harusnya selalu dinaungi musim semi. Deretan cahaya obor yang menggantung pada dinding-dinding batu kompleks penjara Balthazar Kingdom menciptakan cahaya kuning, yang meski terang mampu menyamarkan rona wajah. Begitu pula rona pada wajah Jonathan saat itu dan mungkin rona pada wajahku sendiri. Aku merasakan pipiku memanas dan dadaku semakin bergemuruh.
Jonathan menautkan jari-jemarinya yang dingin ke sela-sela jariku. Napasnya yang menerpa wajahku terasa hangat hingga tekadku untuk menyelamatkan Meredith nyaris goyah. "Kau juga tidak harus mencintaiku ketika menikah denganku, Wil. Kau tetap bisa sebebas burung jika bersamaku," bisiknya lembut dan lirih.
Aku memejamkan kelopak mataku sesaat, menghindari tatapan cokelat bola mata Jonathan yang terlihat seperti karamel hangat. Tatapan Jonathan bisa saja membuatku berubah pikiran, bukan karena ketampanannya yang terkenal di seantero Mundaneland, tetapi karena dialah satu-satunya sahabat terbaikku sejak dulu. Jonathan adalah seseorang yang benar-benar memahamiku, ketika seluruh semesta selalu menghujat tingkah dan pemikiranku. Jonathan satu-satunya yang tidak meninggalkanku ketika semuanya membiarkan Ratu Putih menyeretku ke penjara seperti saat ini. Bagiku, hanya Jonathanlah alasanku masih hidup di tempat terkutuk ini. Akan tetapi, membayangkan sebuah pernikahan dengan sahabatmu sendiri rasanya sangat tidak masuk akal dari segi manapun. Aku tidak bisa menjadi istri Jonathan dan hidup terkurung di lahan pertaniannya yang luas, meski dia mengatakan aku bisa sebebas burung. Tetap saja, hidup bersama Jonathan tidak termasuk salah satu impianku.
"Wil, maaf jika ada kata-kataku yang mengusikmu. Jangan salah paham. Aku serius ingin menolongmu." Jonathan masih menggenggam jemariku ketika aku diam saja, tak meresponse ucapannya.
"Kalau begitu nikahi saja Meredith, dia Jelas-jelas sedang berada dalam bahaya sekarang," sahutku gusar. Sekuat tenaga aku berusaha meneguhkan tekadku di hadapan Jonathan. Jika aku menerima lamarannya sekarang, maka sama saja aku membiarkan Meredith mati. Pada akhirnya, aku berbalik berusaha mengakhiri konfrontasi dengan pemuda petani itu.
"Wil, tunggu, kau tidak mengerti. Apa pun yang kau rencanakan, lebih baik kau hentikan dari sekarang. Kau tidak akan bisa melawan Ratu Putih."
Dadaku terasa mendidih. Langkah kakiku refleks terhenti. Bara di dalam dadaku mulai menyala, tersulut oleh ucapan Jonathan barusan. Aku berbalik dan menatapnya sengit. Telunjukku mengarah ke dadanya. "Kau laki-laki, Jonathan. Kau tidak akan mengerti sebesar apa ketidakadilan yang terjadi di Mundaneland bagi kami kaum perempuan."
"Tapi, Ratu Putih bisa menyakitimu, Wil, atau mungkin hal yang jauh lebih buruk...." Aku tahu, Jonathan berusaha membuatku memikirkan naga.
"Aku tidak peduli, Jonathan," bantahku. "Dengar, aku lebih baik mati, dari pada hidup berkalang teror. Jadi, aku sama sekali tidak peduli jika besok aku harus mati demi Meredith dan berhadapan dengan si iblis naga. Aku akan mati dengan bahagia!"
Wajah Jonathan terlihat syok. Kulit wajahnya yang dipenuhi bintik-bintik merah terlihat memucat. Mulutnya membuka tanpa sadar seolah ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi, sebelum Jonathan sempat membuka suara lagi, aku telah berbalik dan berlari melewati ambang pintu bangunan penjara. Aku tidak menoleh lagi, meski ia meneriakkan namaku berkali-kali.
Di dalam kepalaku, sebuah rencana telah tersusun untuk menyelamatkan Meredith, termasuk kemungkinan berhadapan langsung dengan si naga iblis. Dan, tentu saja, sebuah lamaran pernikahan dari Jonathan tidak akan bisa menghentikanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top