15. How to Bargain with a Dragon

Belati Jonathan tidak seperti belati pada umumnya. Sekilas, bilah peraknya yang berkilau dengan gerigi tipis yang tajam dan presisi itu memang terlihat mampu mengoyak daging, tetapi aku melupakan aspek magisnya. Belati itu merupakan belati warisan keluarga Jonathan yang merupakan salah satu leluhur Mundaneland, yang konon kabarnya pernah bertarung dengan bangsa peri.

Andaikata Jonathan membawa belati biasa, mungkin pemuda itu bakal hangus hingga ke tulang-tulangnya akibat semburan api sang naga. Akan tetapi, belati ini secara tak kasat mata membentuk perisai besar yang melingkupi sosok Jonathan begitu belatinya teracung menantang lidah api sang naga. Lidah api merah bercampur jingga yang menguarkan hawa panas itu seolah menghantam logam tak kasat mata. Lidah api itu membentuk lengkungan aneh di sekitar belati persis seperti perisai prajurit khusus pasukan ratu putih yang besar dan berat, sehingga tak mampu menjangkau Jonathan.

Aku membelalak. Begitu pula Jonathan. Kami memelototi lidah-lidah api yang coba menjangkau mangsanya itu dengan ngeri, sekaligus takjub. Ngeri membayangkan jika lidah-lidah api itu benar-benar melahap Jonathan. Takjub karena, nyatanya, sesuatu menahan lidah api sang naga. Lorong itu memang terasa panas, tetapi tidak membakar. Kekuatan napas api sang naga yang legendaris itu seolah telah dilumpuhkan secara ajaib hanya oleh sebilah belati.

Sekali lagi, sang naga menyemburkan napas apinya. Kali ini terlihat lebih besar karena sang naga juga mulai berang. Sepasang mata merah sang naga terliat menyala, bahkan lebih terang dari lidah apinya sendiri. Dan, lagi-lagi, belati pusaka itu membuat aku dan Jonathan takjub. lidah api besar sang naga yang menyembur ke arah Jonathan ,sekali lagi, hanya membuat lengkungan yang memenuhi lorong, tak mampu menjilat tubuhnya.

"Kita harus lari!" jertiku pada Jonathan, ketika mulai tersadar dari rasa takjub. Sang naga pasti akan terus menyerang Jonathan tanpa ampun. Meski tidak terbakar oleh lidah api, mungkin saja kami akan mati karena panas yang mendera jika tidak menghindar sejauh mungkin.

Aku menarik salah satu lengan Jonathan yang tidak menggenggam belati. Satu-satunya yang kupikirkan adalah jalan keluar lain, yaitu tembok di belakang bilikku, yang pernah kupanjat beberapa waktu yang lalu. Dengan langkah mundur, sementara Jonathan tetap mengacungkan belatinya, aku menyeret Jonathan berlari kembali ke arah bilik. Sang naga melolong marah, lidah-lidah api masih menyembur dari mulutnya, sementara kepalanya menjulur masuk ke dalam lorong. Beruntung, tubuh besar sang naga tak mampu melewati ambang pintu, sehingga kami dapat meloloskan diri dengan mudah. Namun, aku tahu, sang naga tidak akan menyerah begitu saja. Makhluk itu bahkan mungkin tak akan ragu jika harus merobohkan istanannya sendiri.

"Kau beruntung memiliki belati itu," ucapku di sela-sela napas yang terengah. Jonathan dan aku telah berlari menyusuri sisi lain kastel. Hawa panas napas naga telah jauh tertinggal di belakang kami, tetapi kami tidak berhenti.

"Pusaka keluarga," sahut Jonathan. Ia telah menyimpan belatinya ke tempat semula, di balik rompinya yang terlihat sedikit gosong. Keringat bercampur noda hitam melumuri wajah tampan Jonathan, tetapi di mataku, saat ini, ia terlihat lebih menarik daripada biasanya. "Naga dan para peri pasti bertekuk lutut jika berhadapan dengan belati ini. Inilah alasan kenapa salah satu bibiku memaksaku untuk membawa pusaka ini. Sihir tidak akan mempan terhadap pemegang belati. Belati ini adalah perisai sihir."

"Bibimu?" Aku mengulanginya, tetapi Jonathan tidak menanggapi. Aku berusaha mengingat-ingat keluarga Jonathan, tetapi ingatanku terasa samar, terlebih dengan kondisi seperti ini.

"Apa rencanamu setelah ini?"

Aku terperangah, lalu mengangguk cepat. Kami telah mencapai ujung lorong tempat bilik penahananku berada. "Kita akan melewati jalan keluar lain."

Jonathan memutar pandangan dengan ekspresi bingung. "Di mana jalan keluarnya?"

"Bilik penahananku!" seruku seraya menunjuk dengan dagu. Pintu bilik itu terbuka, seolah telah menyambut kedatangan kami. "Kita akan keluar dari jendelanya dan memanjat pagar tembok di luar. Aku pernah melakukannya." Meski terengah, tetapi suaraku penuh percaya diri.

Di sebelahku, Jonathan mendengkus. "Ternyata pelarian kita masih panjang," gerutunya.

Aku nyaris tertawa, ketika tiba-tiba sesuatu menghantam sisi samping kepala Jonathan, sehingga tawaku sontak terhenti. Pemuda itu menjerit dan serta-merta roboh ke lantai, sementara kami telah tiba tepat di depan bilik.

Dua pemuda, kaki tangan sang naga ternyata telah menyambut kami, menyambutku. Elian menyeringai ketika kami bertemu pandang, sedangkan Edward berdiri mematung dengan sebilah kayu besar tergenggam di salah satu lengannya dalam posisi menyerang. Dialah yang telah memukul Jonathan hingga hilang kesadaran.

"Keparat kau!" jeritku meradang. Dengan refleks, aku menyerang Edward, mengabaikan kenyataan bahwa aku masih terluka dan tidak bersenjata. Aku mengingat belati Jonathan di balik rompi tuniknya, meski tidak ada waktu untuk mengambil benda itu sekarang. Namun, pemikiran itu menerbitkan sedikit harapan sekaligus menjadi bahan bakar kemarahanku.

Tinjuku melayang, menyasar mata kanan Edward, tetapi gerakannya lebih gesit dari dugaanku. Gesit dan terlatih. Meski lelaki itu awalnya hanya mengaku pelayan sang naga, ralat, yang mulia naga, tetapi nyatanya dia adalah seorang prajurit sekaligus naga iblis. Tangan besarnya yang tak menggenggam kayu menangkis seranganku dengan begitu mudah. Kemudian, membalik keadaan dalam hitungan detik. Edward mencengkeram pergelangan tanganku, memberinya tekanan tanpa ampun, meski ekspresi Edward kelewat tenang.

Aku menjerit menahan sakit dan amarah. Di luar dugaanku, dari sisi lain, Elian mendekatiku dengan persuasif. "Untuk nona ini, tidak perlu ada kekerasan," bisiknya di telingaku, sementara matanya melirik Edward penuh peringatan. Cengkeraman di pergelangan tanganku serta-merta mengendur, tetapi rasa sakitnya masih tertinggal, berdenyut-denyut dan terasa ngilu. Aku bisa saja menampar Edward sebagai balasan, tetapi rasa sakit itu menghalagiku. Lagi pula, kedua naga iblis itu telah mengunciku dengan posisi mereka.

Tiiba-tiba, Elian membekapku dengan secarik kain beraroma menusuk. Tubuhku langsung menegang, kemudian refleks berbalik, memelototi Elian. Hal terakhir yang kulihat adalah senyum miringnya yang cemerlang sekaligus jahil, dengan sepasang mata yang menyiratkan permohonan maaf. Kepalaku mendadak terasa pening, pandanganku berputar, dengan kelopak mata yang terasa berat, hingga akhirnya segala sesuatu di sekitarku menjadi gelap.

***

Sepasang mata merah itu memelototiku dengan marah, sementara aku terperangkap di dalam lorong. Dinding dan langit-langit di sekitar kami sebagiannya telah gosong dan mengepulkan asap tipis. Bau hangus menyengat memerangkapku dengan sang naga, juga dengan sosok Jonathan yang tergeletak di lantai, tak bergerak seperti tak bernyawa.

Jonathan. Aku meneriakkan namanya dengan panik. Pandanganku beralih-alih dari tubuh kaku Jonathan ke arah sepasang mata merah milik sang naga. Makhluk terkutuk itu menggeram penuh ancaman. Namun, sang naga sudah berhenti menguarkan napas apinya, barangkali karena Jonathan sudah mati. Jonathanlah yang diincarnya sejak awal.

Kemudian, aku teringat belati Jonathan.

Jonathan. Dengan tergesa kuhampiri tubuh kaku pemuda itu, kemudian menggeledah rompi dan tuniknya. Ketika akhirnya merasakan bagian keras dan dingin dari gagang belati yang mencuat, segera saja kugenggam benda itu. Aku mendongak memelototi sang naga. Inilah saatnya, pikirku.

Dengan gerakan perlahan, kutarik belati dari balik rompi Jonathan, kemudian menggenggam gagangnya dengan mantap. Setelah susah payah bangkit dari posisi berlutut, aku mengacungkan senjata pamungkas itu dengan gestur mengancam ke arah sang naga. Senjata legendaris yang paling ditakuti para peri, begitu pula para naga iblis.

Meski terlihat kokoh, tetapi tanganku gemetar hebat. Langkahku tersendat, walaupun terus bergerak maju, setapak demi setapak. Aura panas menguarkan kian kentara, seiring tiap langkah yang mengikis jarakku dengan sang naga.

Kini saatnya kau mati, Naga keparat!

Sekilas, aku menangkap ketakutan yang tersirat dari sepasang mata merah besar yang menyala itu. Sang naga mengaum penuh peringatan, barangkali mengancamku untuk mundur. Suaranya menggetarkan dinding-dinding dan langit-langit lorong, menggentarkan hatiku.

Aku mengacungkan belati itu tinggi-tinggi, sembari membayangkan Meredith dan Jonathan di dalam kepalaku. Ini untuk mereka, kataku meyakinkan diri. Belati itu terasa dingin dan mengintimidasi ketika mengenai kulitku. Dan, ini untuk para gadis yang menjadi tumbalmu sebelum Meredith, terlepas apa pun dalihmu. Tidak ada orang bodoh yang akan memercayai pada naga iblis.

Keyakinan-keyakinan itu memberiku kekuatan. Kekuatan yang tak pernah terpikir akan kumiliki selama ini. Kemudian, aku berlari menyongsong sang naga, menyongsong kematianku sendiri. Tanpa keraguan dan rasa takut sedikit pun,  aku membenamkan bilah belati itu ke jantung sang naga dengan seluruh sisa-sisa tenaga yang kumiliki.

Sang naga melolong. Sementara, air mataku menitik di luar kendali. Tiba-tiba, hatiku terasa sakit. Perasaan sakit ketika seseorang mengkhianatiku. Kemudian, imaji-imaji itu meluruh bersama suara lolongan naga yang kian menjauh, ibarat layar yang terkoyak.

Kelopak mataku mendadak terbuka. Napasku memburu. Pemandangan bilik di sekelilingku terlihat goyah, langit-langitnya sedikit berputar. Rupanya, aku hanya bermimpi. Mimpi buruk. Namun, kenyataan terkadang lebih mengerikan dari sekadar mimpi, terutama ketika pandanganku kemudian beradu dengan Alasdair yang berada di sisi tempat tidurku dengan ekspresinya yang beku.

"Kau?!" hardikku dengan suara serak. Sekujur tubuhku refleks menegang. Selimut putih hangat yang membalut sepanjang tungkaiku mendadak terasa tak ada artinya dibandingkan hawa dingin yang seketika menyergap. Hawa dingin rasa takut.

Alasdair berdiri tanpa ekspresi, seolah mengacuhkanku. "Syukurlah kah sudah sadar." Dia bergerak dengan luwes, menjauhi sisi pembaringanku.

Rupanya aku kembali menempati billikku di kastel terkutuk itu. Bilik mewah nan sepi. Bahkan, suara napasku dan Alasdair terdengar bergema di dalam ruang hening yang luas itu. Akan tetapi, semua ini tidak benar. Aku tidak seharusnya berada di sini.

Tiba-tiba sekelebat ingatan tentang Jonathan muncul di benakku. Pelipisku serta merta merasa pening. Harusnya aku sedang bersama Jonathan, menyelinap keluar dari kastel terkutuk ini, bukan malah bersama si naga iblis.

"Di mana Jonathan?" Suaraku parau dan setiap kata yang kuucapkan terasa sangat menyakitkan. Aku perlu air, tetapi terlalu gengsi untuk meminta kepada si naga terkutuk. Dengan susah payah aku menopang tubuhku dan menyandarkannya di sisi tempat tidur.

Alasdair menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menghadapku. "Maksudmu para penyusup itu?"

Aku mendadak berang. "Jonathan bukan--"

"Mereka bertiga. Aku sudah melumpuhkan dua orang. Dan, menahan salah satunya. Orang-orang bodoh itu," katanya memotong ucapanku.

"Siapa? Siapa yang kau lumpuhkan? Di mana Jonathan?" tanyaku nyaris menjerit. Suaraku memantul-mantul di bilik dengan resah, sementara rasa sakit di tenggorokanku kian terasa mencekik.

"Mereka menyerangku di kastelku sendiri. Mereka pantas dihukum." Suara Alasdair tajam, dingin, dan tanpa ampun. Sang pangeran bahkan mengabaikanku sepenuhnya, ketika dia berbalik, menganggap percakapan ini bukan apa-apa.

Aku kian mendidih. Dengan gerakan cepat, aku menghambur turun dari pembaringan, tetapi otot-otot kakiku yang lemah seolah berkhianat. Aku jatuh tersungkur pada lantai ubin yang keras dan dingin dalam posisi seolah-olah mengiba kepada Alasdair. "Lepaskan Jonathan!" lolongku dengan suara parau. Namun, Alasdair telah mencapai ambang pintun bilik.

"Aku tidak percaya jika kau tidak membunuh Meredith dan gadis-gadis tidak berdosa lainnya!" jeritku, tepat ketika sang pangeran akan melewati ambang bilik. Berkat ucapanku, Alasdair menghentikan langkah.Meski ekspresinya sama sekali tak terbaca, dia bergerak kembali untuk menghampiriku, kemudian berjongkok, menyejajarkan pandangan kami.

"Hentikan omong kosong ini. Aku tidak pernah menuntutmu untuk percaya. Aku tidak peduli!" Ucapan Alasdair begitu dingin, tetapi penuh penekanan. Dia menatap mataku, menatap kedalaman jiwaku,dengan keangkuhan yang kentara. Keangkuhan itu membuat darahku semakin mendidih. "Aku muak dengan semua fitnah yang kalian timpakan kepadaku, kepada kami, kepada kastel ini. Kalian sudah ditipu mentah-mentah. Dan, karena kebodohan ini, kalian akan terus kehilangan gadis-gadis lainnya," sambungnya, terdengar seperti sebuah peringatan. Apakah dia mengancam?

Kata-kata Alasdair menohokku. Ada kebenaran tak terbantah dari balik kata-katanya, terlebih setelah aku nyaris mengelilingi seluruh isi kastel dan tak menemukan Meredith atau gadis mana pun. Tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia selama aku mendekam di tempat ini. Akan tetapi, bukan berarti aku bisa memercayai sang naga sepenuhnya. Para naga bukan bangsa kami, mereka adalah peri licik yang kerap menipu manusia. Aku tidak boleh tertipu oleh argumen-argumen Alasdair. Aku tidak akan memercayainya semudah itu. Namun, aku harus mengeluarkan Jonathan dari tempat ini bagaimana pun caranya.

"Kalau begitu, mengapa kau menahanku di sini?" tanyaku dengan suara serak yang gemetaran.

Alasdair bergeming, menatapku sesaat, sebelum berdiri dan nyaris meninggalkanku tanpa jawaban. Bunyi langkah kakinya terdengar tajam dan lebih menghentak dari sebelumnya.

"Apa pun itu alasanmu, aku juga tidak peduli," sambungku. Suaraku semakin goyah, sementara jantungku berdentum-dentum di dalam dada. Aku akan mengajukan sebuah penawaran padanya. "Tetapi, bebaskan Jonathan. Biarkan dia pergi meninggalkan kastel ini tanpa terluka."

Alasdair berhenti di ambang pintu. "Kau tidak berhak mengajukan penawaran," sahutnya ketus, tanpa menoleh.

Aku tidak akan menyerah. "Aku berjanji tidak akan pergi dari tempat ini."

Alasdair tidak menjawab, tetapi aku tahu dia mendengarkan. Kemudian, pintu bilik dibanting dengan keras hingga tertutup.














Pontianak, 25 Mei 2024, pukul 22.42 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top