13. The Intruder

Aku menjauhi jendela, mulanya dengan langkah mundur perlahan, lalu aku ingat jika inilah satu-satunya kesempatan yang kumiliki untuk menggeledah kastel ini. Alasdair bersama prajuritnya jelas-jelas sedang disibukkan dengan sesuatu, sesuatu yang kuharap dapat menahannya agak lama. Aku harus mencari jejak Meredith di kastel ini, memastikan dengan mata kepalaku sendiri mengenai keberadaan sepupuku. Lagi pula, siapa yang memercayai naga iblis Keparat itu, sih? Bisa saja Yang Mulia berbohong karena telah menghabisi Meredith!

Berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk dari kepala, dengan gegas, aku berlari ke arah berlawanan. Tanpa berpikir panjang, kemudian membuka sebuah pintu yang tak terkunci. Meski dari luar terlihat sama dengan pintu bilikku, pintu itu rupanya mengantarkanku ke sebuah lorong yang lebih gelap alih-alih bilik. Matahari pagi tak dapat menyusup ke dalam lorong itu karena letaknya yang jauh dari jangkauan garis-garis cahaya matahari yang menyeruak dari jendela. Akan tetapi, pada dinding-dinding pualam berukir mural sang pangeran, terdapat lilin-lilin kuning yang menggantung dalam wadah-wadah emas dan perak sebagai penerangan. Cahaya samar kuning redupnya menyorotkan aura magis dalam kelengangan yang tak berujung.

Mewah, temaram, tetapi mencekam. Begitulah kesanku ketika melewati lorong panjang itu. Bayang-bayanku terlihat lebih panjang seumpama hantu-hantu yang sering dikisahkan oleh para tetua di Mundaneland, yang berdiam dan mengintai dalam sepi. Embusan napas dan langkah-lankah kakiku menjadi satu-satunya bunyi yang dengan lancang menantang hening mencekam lorong yang sepertinya jarang dijamah manusia. Anehnya, dalam hening mencekam itu kepalaku justru riuh. Cerita-cerita hantu seram dan peri-peri jahat dari masa kecil mendadak keluar dari memori yang nyaris kulupakan, mengiringi tiap dentum jantungku. Hantu dan peri-peri jahat dalam cerita itu, entah bagaimana menjadi lebih menyeramkan dan terasa nyata hingga membuat bulu kudukku meremang. 

Namun, aku tidak berhenti, seberapa besar pun rasa takut mengungkungku. Benakku yang mulai putus asa lantas melaungkan nama Meredith berulang-ulang sebagai sumber kekuatan.

Aku berhenti di depan pintu ruangan pertama yang berlapis emas. Pintunya juga tak terkunci. Kamar itu besar, tetapi jelas-jelas tak berpenghuni. Bau apak bercampur minyak lavender memenuhi udara ketika langkahku memasuki tempat itu. Sebuah kasur besar berlapis sutera putih tulang terlihat begitu rapi tanpa garis-garis lipatan, seolah tak pernah tersentuh selama berabad-abad ketika selesai dibersihkan. Salah satu telapak tanganku menyentuh permukaan lembutnya sekilas, mengusik sejumlah tipis debu di atas permukaannya. Tidak pernah ada siapa-siapa di sini dalam jangka waktu tertentu. Tidak ada jejak manusia yang tertinggal. Tidak  pula jejak Meredith.

Kamar kedua terletak nyaris berseberangan dengan kamar pertama. Aku mendorong pintu bersepuh emas yang sama nyaris tanpa upaya karena lagi-lagi tak tertutup rapat. Kamar itu juga tak berpenghuni dan tak terjamah jika menilik dari selimut debu di tiap permukaan perabot. Aku menduga-duga telah berapa lama ruangan-ruangan itu dibiarkan kosong tak berpenghuni, atau ruangan-ruangan lain sebelum ini? Apakah keterabaian ini telah setua kastel ini atau setua sang naga? Berapa pun itu, Meredith jelas-jelas juga tidak pernah berada di sini.

Dengan langkah cepat, aku keluar dari bilik itu, kembali menyusuri lorong dengan napas memburu dan jantung berdebar-debar. Hantu-hantu dan peri-peri jahat di dalam kepalaku masih menjerit-jerit, menggerogoti keberanianku yang tinggal secuil.

"Meredith!" Tanpa sadar aku meneriakkan namanya. Gema suara serakku seketika memenuhi lorong, memantul-mantul pada dinding yang dipenuhi mural Alasdair. Meski hanya mural, tatapan sang pangeran terlihat begitu tajam dan menusuk, sampai-sampai aku mengira barangkali ia akan keluar dari mural-mural itu dan menyergapku. "Meredith, kau dengar aku, aku Wilhelmina!" ulangku frustrasi. Teriakkanku juga berhasil mengusir hantu dan peri-peri jahat yang menguasai benakku beberapa saat yang lalu.

Kamar-kamar berikutnya kumasuki dengan lebih cepat seraya melaungkan nama Meredith berulang-ulang, tetapi tidak ada siapa-siapa di sepanjang lorong itu. Aku menghitung, setidaknya sepuluh kamar kosong tak terpakai, dengan bau minyak lavender bercampur apak yang sama persis. Perabot yang rapi dan berselimut debu tipis lagi-lagi menunjukkan bahwa kamar-kamar itu tak terjamah selama beberapa waktu. Namun, Meredith tidak ada di sana. Untuk apa para naga memiliki kamar sebanyak itu? Aku bahkan tidak melihat jejak para pelayan. Ralat, memang ada satu atau dua pelayan dan penjaga, tetapi jumlah kamar kosong yang baru saja kulalui benar-benar tidak berimbang.

Lorong temaram itu akhirnya mengantarkanku pada sebuah persimpangan. Cahaya matahari berhasil mencapai penghujung lorong sehingga tempat itu tidak semenyeramkan sebelumnya. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha memutuskan jalan mana yang akan kupilih. Lorong lain di sebelah kanan akan menghantarkanku ke sebuah jendela besar yang memanjang seperti dinding dengan potongan kaca aneka warna, sementara sisi lainnya membawaku pada lorong lain yang terlihat lebih gelap dan tak berujung. Setelah menimbang dengan kalut, akhirnya aku memutuskan untuk berbelok ke kiri. Andai lorong itu membawaku ke muara yang salah, aku tidak akan heran karena pilihanku memang selau hal-hal yang mengandung bahaya. Salah satu pamanku bahkan menjulukiku pengundang bahaya.

Tidak ada nyala lilin-lilin berwadah emas di sepanjang dinding lorong sebagai penerangan seperti lorong sebelumnya. Pun tidak ada mural-mural sang pangeran. Dinding-dinding lorong yang kini kulalui berwarna putih pucat diselingi dengan jendela-jendela kecil bergorden beludru. Namun, seperti kamar-kamar yang tak tersentuh, lorong ini juga terasa minim sentuhan. Gorden-gorden tebal berwarna merah tua menutup rapat jendela-jendela yang terkunci oleh pasak berkarat. Permukaan gorden diselimuti debu yang mengepul bak asap ketika lenganku menyenggolnya secara tak sengaja. Debu itu mengusik penciumanku, membuatku tersedak hebat. Kemudian, di antara cahaya samar dari kisi-kisi jendela yang memantul di penghujung lorong, sekelebat cahaya bergerak.

Cahaya yang bergerak atau sesuatu yang sedang melintas. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, jantungku sontak berdegup lebih kencang.

"Meredith?" panggilku ragu-ragu. Aku mengepal genggaman kuat-kuat seolah tengah menggenggam sebilah belati. Ya, andai saja aku punya belati.

Bayang-bayang samar kembali berkelebat memantul pada dinding lorong di dekatku. Rasanya, aku tidak mungkin salah lihat ataupun salah menerka. Ada seseorang di penghujung lorong ini. Seseorang yang mungkin saja mendengar panggilanku.

Jantungku kembali berdebar kencang. Dengan kewaspadaan yang meningkat dan langkah-langkah setengah berlari, aku berniat menyergap bayangan itu, sebelum siapapun atau apapun yang menghampiriku terlebih dahulu.

***

"Jonathan?!"

Lelaki berambut pirang panjang itu berdiri dengan kuda-kuda paling berbahaya yang pernah dipelajarinya sewaktu remaja dan sebilah parang teracung di genggaman. Namun, seperti biasa, kuda-kudanya goyah dan genggamannya pada senjata tajam itu terlihat canggung. Sepasang matanya menatap nyalang penuh dendam ke arahku, tetapi begitu pandangan kami bertemu, kemarahan dan dendam yang memenuhi pandangannya sontak sirnah.

"Wil!"

Parang panjang di genggaman Jonathan jatuh berkelontang menghantam lantai ubin yang berdebu. Lengkingan suaranya memecah sunyi dan ketegangan yang meliputi lorong di kastel terkutuk itu. Jonathan menghambur ke arahku, setelah mengabaikan senjatanya dan melepas segenap kewaspadaan. Tubuh hangatnya merengkuhku erat. Untuk sesaat, aku merasa kami berada di tengah ladang keluarga kami yang permai, alih-alih kastel sepi terkutuk.

"Jonathan, apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanyaku dengan euforia yang meletup-letup. kegundahan yang selama ini memenuhi benakku sontak menghilang begitu melihat pemuda ini. Seumur kebersamaan kami, aku tidak pernah sedetik pun merindukan Jonathan, tetapi kali ini, pelukannya terasa bagaikan rumah; hangat dan menenangkan. Ketenangan yang dibawanya membuat tangisku pecah tanpa bisa terkendali. Aku membalas pelukannya erat-erat, merasakan kelegaan setelah berhari-hari dikungkung rasa takut dan gusar.

"Wil." Jonathan menyebut namaku sekali lagi. Napas hangatnya membelai tengkukku. "Aku mengira tak akan pernah melihatmu lagi." Suaranya bergetar dan goyah.

Aku melepas pelukan Jonathan, kemudian menatap wajahnya lekat-lekat. Sepasang mata Jonathan terlihat berkaca-kaca. Di mataku, Jonathan seperti bertambah tua dan tak terawat, sejak terakhir kali aku melihatnya. Rambut-rambut halus mulai memenuhi dagu dan rahangnya. Bagitu juga dengan noda-noda debu dan goresan luka. Jalan yang ditempuhnya untuk masuk ke kastel ini pastilah tidak mudah. "Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.

Aku menggeleng pelan. Seharunya aku yang menanyakan hal itu. Dia tidak terlihat lebih baik dariku. Tangisku perlahan mereda. "Meredith ..." Alih-alih menjawab pertanyaanya, aku justru mengucapkan nama sepupuku. Kami berdua sama-sama tahu, jika aku terjebak di tempat ini karena Meredith.

"Dia ... tidak ada di sini," ucap Jonathan hati-hati. Kelegaan sekaligus kesedihan membayang di wajah Jonathan. Suaranya serak seolah ada segumpal tangis tertahan di tenggorokannya. Jadi, dia sudah tahu, dan dia tidak menatapku. Pandangannya menyusuri lantai ubin, lalu ke arah lorong yang baru saja kulewati. "Aku sudah memeriksa tempat ini berkali-kali." Suaranya dipenuhi sesal dan perasaan bersalah.

"Tidak mungkin," desisku. "Jika Meredith tidak di sini, lantas di mana dia berada." Namun, aku tahu, yang Jonathan adalah sebuah kebenaran. Kenyataan itu adalah satu hal yang benar-benar menghantamku, meski aku sudah menduganya. Akan tetapi, keberadaan Jonathan di kastel terkutuk ini sebetulnya lebih mengusikku. Jonathan hanyalah anak petani biasa, yang bahkan mungkin tidak bisa menggunakan cangkul untuk membunuh. Jonathan tidak pernah terlibat perkelahian, demi apapun, meski tubuhnya cukup kuat dan atletis. Dia tidak seperti lelaki kebanyakan. Dan, keberadaannya di sini membuatku bertanya-tanya.

"Setidaknya, kami sudah memastikannya." Jonathan kini menatapku, mengamati jejak luka yang membayang dari balik gaun tidur tipisku. "Apa dia melukaimu?" tanyanya dengan suara parau. Rahang Jonathan terlihat mengetat, sementara binar di matanya seolah membara.

Aku menggeleng cepat. "Aku berusaha melarikan diri dan terluka," sahutku sekenanya.

Jonathan meletakkan tangannya didaguku. Permukaannya jari-jarinya terasa kasar, tetapi hangat.

"Aku akan membunuhnya jika dia menyentuhmu."

Jonathan yang kukenal tidak pernah mengancam. Dia tidak pernah berkata kasar. Namun, nada suaranya saat mengucapkan itu terdengar penuh dendam. Jonathan tidak akan mungkin berani menantang naga iblis penguasa kastel ini, bukan?

Aku bergerak mundur hingga dagu dan wajahku terbebas dari penghakiman Jonathan. Pemuda itu masih terlihat marah, ekspresi yang benar-benar langka. "Kau tidak perlu berhadapan dengannya."

Jonathan mengembuskan napas kasar. "Aku bersungguh-sungguh, Wil. Kau tidak bisa meremehkanku. Aku akan membunuh makhluk terkutuk itu jika dia berani menyentuhmu. Jadi, dia menyekapmu di tempat ini?"

"Jonathan, kita tidak akan menantangnya." Aku memperingatkan.

"Kita? Aku yang akan menghadapinya." Jonathan menghunus sebilah belati bermata ganda dari sabuk yang melingkar di pinggangnya. Jonathan tidak pernah memiliki benda seperti itu sebelumnya. Kemarahan yang kini membakarnya dengan belati terhunus garang membuat Jonathan terlihat berbeda.

"Tidak ada yang akan menantangnya, kau dengar, Jonathan?" bentakku kasar. "Karena kita akan pergi dari tempat ini."

Aku tahu Jonathan menerima tawaranku. Meski masih menggenggam belatinya, Jonathan mengangguk. Seperti biasa, mematuhiku dalam diam.





Pontianak 11 Oktober 2023, pukul 15.53

Hai, I'm back. Cerita ini dan cerita-ceritaku yang lain akan aku update secara berkala. Terima kasih telah mampir.   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top