12. The Confession

Sejak saat itu, aku terus dihantui mimpi tentang naga-naga. Sekilas mereka terlihat sama. Kulit bersisik hitam mengilap dan sepasang mata Semerah darah. Namun, naga-naga itu memiliki sorot mata berbeda, yang terasa tidak asing. Mereka adalah para penghuni Kastel ini. Akan tetapi, satu hal yang terlihat sama, ekspresi mereka. Mereka marah.

Entah karena ketakutan atau memang lukaku yang terinfeksi, setelah kejadian itu aku mengalami demam tinggi. Aku kerap mengigau dan kehilangan kesadaran. Dan, para naga itu, maksudku, Elian dan Edward datang silih berganti untuk merawatku. Meski mereka adalah naga iblis, mereka jelas terlihat khawatir. Namun, Yang Mulia tidak datang, bahkan dalam mimpi sekali pun.

Aku tidak tahu berapa lama aku berada dalam kesakitan. Kamar mewah itu rasanya selalu gelap, sementara aku lebih sering berada di alam mimpi. Barangkali sepanjang malam, tetapi yang kurasakan lebih lama dari itu. Waktu terasa panjang dan penuh siksaan hingga berkali-kali aku berpikir jika kematianku barangkali sudah dekat. Kematian yang akan menyelamatkanku dari rasa bersalah karena tidak berusaha lebih keras untuk Meredith.

Namun, ketika aku mulai menantikan maut di antara rasa sakit yang mendera, suara cicit burung nan samar mengoyak selubung mimpi yang telah melenakanku bersama rasa sakit dan demam selama beberapa waktu. Semilir angin yang mengantar aroma lembut nan segar bebungaan liar dan embun menyusup ke dalam penghiduku. Hawa dingin yang mengiringinya membuatku menarik selimut lebih erat untuk pertama kali. Kesadaranku sepertinya sudah kembali.

"Kau demam sepanjang malam."

Suara itu, suara yang sejujurnya paling kunantikan, pagi ini akhirnya datang mengusikku.

Dengan sigap kubuka kelopak mata. Alasdair, Yang Mulia, berdiri tepat di depan pembaringanku dengan formal dan canggung. Sepasang mata birunya terlihat cemerlang pagi ini, kontras dengan kulit pucatnya yang terlewat sempurna. Yang mulia mengenakan Tunik tipis kuning gading beraksen emas, yang membuat penampilannya terlihat bercahaya dan menyilaukan, terlepas dari kenyataan bahwa dia dapat berubah menjadi naga yang sangat mengerikan di malam hari.

Alih-alih menanggapi ucapannya barusan, pikiranku dipenuhi beragam pertanyaan mengenai pernyataan Elian tentang Meredith sebelum aku tak sadarkan diri. Inilah saatnya, mencari tahu segalanya.

"Apakah Meredith tidak ada di sini?" tanyaku dengan suara serak yang langsung kusesali. Tenggorokaku terasa kering dan perih.

"Minumlah." Alasdair menunjuk dengan dagunya ke arah gelas tembikar di atas nakas di sisi tempat tidur. Ekspresinya tak terbaca. Apakah dia telah mengabaikan ucapanku barusan?

Aku berdeham, tak peduli betapa tenggorokanku memerlukan air itu. Tidak, sebelum dia menjawab pertanyaanku. Dengan wajah memberengut, aku menggeleng tegas. "Meredith. Apakah Meredith ada di kastel in?" ulangku dengan lebih menuntut.

"Benar-benar gadis keras kepala," gerutunya. "Meredith? Seingatku, tidak ada pelayan perempuan bernama Meredith di kastel ini."

Yah, mungkin aku memulai dengan pertanyaan yang salah. Namun, aku tidak akan menyerah. "Kurbanmu untuk purnama ketiga belas, Keparat!" sahutku seraya berusaha keras untuk menahan diri agar tidak meledak. Andai aku tidak sedang terluka dan terbaring lemah di atas ranjang mewahnya, mungkin aku akan langsung menodongkan pisau buah yang tersedia di sisi tempat tidur dan berteriak di depan telinganya. Akan tetapi, keadaan tidak memihakku sekarang.

"Kurban?" Dia mengulangi pertanyaanku, tanpa ekspresi. Dan, tentu saja, tanpa merasa bersalah. Apakah naga iblis bisa berbohong?

"Jangan bilang kalau kau melupakan semua manusia yang kau bunuh setiap purnama ketiga belas?!" Suaraku tiba-tiba meninggi, membentaknya tanpa gentar. Tenggorokanku sakit, tetapi itu bukan apa-apa, karena hatiku jauh lebih sakit. Tubuhku gemetar menahan marah yang mengepul di rongga dada. Kuremas selimut dan seprai yang terjangkau telapak tanganku kuat-kuat tanpa sadar, sementara mataku memelototinya.

Alasdair terlihat memejamkan kelopak matanya sesaat sembari mendengkus keras. Ia melemparkan pandangan pada sepotong langit yang mengintip dari balik jendela kamar mewah ini, menolak melihat mataku, seolah aku tidak hadir di hadapannya. "Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Infeksi lukamu sepertinya telah membuat pikiranmu kacau." Dia hendak berbalik, mengabaikanku sepenuhnya.

Tidak, dia tidak bisa berbuat seperti ini padaku. Dengan susah payah, aku berusaha bangkit dari pembaringan, menyibak selimut putih dengan kasar. Aku harus mengejarnya. Dia tidak boleh pergi begitu saja dengan mengabaikan pertanyaanku. "Tunggu!"

Alasdair tidak berbalik. Benar-benar mengabaikanku. Siluet punggung sempurnanya yang hanya tertutup Tunik tipis menjauh.

"Hei. Tunggu. Berhenti kau. Aku tahu siapa dirimu dan teman-temanmu!"

Alaidair tiba-tiba saja bergeming. Lalu, berbalik dengan kedua tangan terlipat di dada. "Kau dan teman-temanmu adalah naga iblis yang legendaris itu. Naga-naga iblis yang selalu meminta kurban di setiap malam purnama ke tiga belas. Berapa banyak naga iblis yang sebenarnya ada di tempat ini?" Suaraku bergetar, sementara kaki-kakiku terasa lemas. Aku telah mengeluarkan segenap keberanian dan nyali untuk berkonfrontasi dengan sang pangeran naga. Jika setelah ini aku harus mati, aku tidak peduli asalkan dapat mengetahui keadaan Meredith dan menyelamatkannya.

"Tidak bisakah kau bungkam dan menikmati saja semua kebaikan ini?" Dia melotot padaku. Sang pangeran menekankan ucapannya pada kata 'kebaikan' yang membuatku benar-benar jengkel. "Berhentilah menanyakan hal-hal yang tidak akan kau pahami. Satu hal yang harus kau ketahui, selama beberapa dekade, tidak ada satu manusia pun yang pernah menjejakkan kaki di kastelku!"

Aku membelalak. Apa katanya barusan? Tidak ada satu manusia pun yang menjejakkan kaki di kastel terkutuk ini selama beberapa dekade? Omong kosong apa lagi ini?

"Kaulah satu-satunya yang datang ke tempat ini setelah sekian lama," ucapnya pelan. Suaranya tidak sepongah biasanya dan bahunya yang kokoh itu terlihat sedikit bergetar.

Aku mengerjap. Berusaha mencerna kata-katanya, ketika tanpa sadar Alasdair telah melangkah ke arah pintu. Punggung tegapnya yang jangkung menghilang di balik tirai sutera.

Jawaban Alasdair seterang matahari yang mulai merangkak naik ke puncak langit. Aku tidak perlu lagi mengejarnya atau mendesaknya. Sudah jelas sekarang, Meredith tidak ada di sini, jika lelaki naga itu mengatakan kebenaran. Mungkinkah Alasdair berbohong? Atau sebaliknya, mungkinkah Ratu Putih berbohong, mengarang-ngarang keseluruhan dongeng tua yang dipercayai masyarakat Mundaneland secara turun-temurun, tetapi untuk apa?

Pelipisku kembali berdenyut samar. Jika Meredith tidak ada di tempat ini, lantas di mana sepupuku itu berada? Dan, jika bukan salah satu di antara para naga, lantas makhluk terkutuk apa yang telah membawa Meredith pergi malam itu?

Aku semakin dilanda kepanikan. Aku harus segera bergerak untuk menemukan Meredith. Meredith jelas-jelas dalam bahaya, tetapi keberadaannya masih seperti bayang-bayang yang bergentayangan di dalam benakku dan menebar teror.

Dengan sekali sentakan kasar, aku menyingkirkan selimut yang membungkusku. Sutera putih berkilau itu melayang dan berakhir teronggok di lantai porselen. Tubuhku masih terasa kaku dan nyeri berdenyut di sana sini, tetapi aku merasa jauh lebih baik. Setelah berhasil menurunkan kedua tungkaiku dari pembaringan, dengan langkah terseok, aku bergegas keluar bilik.

Alasdair atau yang lainnya tidak lagi mengunciku. Ajaibnya, tidak ada pengawal di ambang pintu atau di sepanjang lorong yang kulalui berikutnya.

Jejak Alasdair telah menghilang sama sekali, seolah dia tidak pernah mengunjungiku beberapa saat lalu. Dengan kelengangan janggal ini, aku mempercepat langkah. Kesempatan ini tidak akan kusia-siakan. Gema langkah kakiku berdentam di sepanjang lorong, memantul pada dinding-dindingnya yang penuh ukiran, sementara jantungku bertalu-talu. Pada setiap sudut, langkahku berhenti, mengawasi sekitar. Namun, lagi-lagi, sejauh mata memandang, lorong-lorong itu kosong seumpama tak berpenghuni.

Aku melangkah ke sisi barat kastel. Kamarku yang terang-benderang bermandikan cahaya matahari pagi kuasumsikan sebagai sisi timur, sehingga aku bergerak berlawanan arah. Tidak ada lagi lilin-lilin antik yang menyala di dinding. Cahaya temaram sepenuhnya berasal dari kaca-kaca buram panjang yang membingkai dinding lorong setiap beberapa meter. Namun, kaca-kaca itu tertutup rapat, sementara di balik kaca buram, tanaman merambat menutupi permukaannya.

Semakin kensisi barat, aku merasa udara semakin menipis. Cahaya semakin redup.l, seiring lorong-lorong yang kian menyempit. Aku telah melewati, setidaknya 7 atau 8 pintu kamar yang serupa hingga kusadari betapa luas dan panjangnya kastel ini. Seiring langkahku semakin kokoh, kewaspadaanku pun semakin meningkat. Melambatkan langkah setiap kali melewati pintu-pintu itu, aku justru dihadapkan dengan kenyataan jika tak sesosok sentinel pun yang berjaga di sepanjang lorong.

Langkahku berhenti di ujung lorong buntu. Dinding tinggi berukuran naga, menjulang tinggi sebagai pembatas hingga gagah ke arah langit-langit kastel yang tinggi. Sebuah jendela panjang berada di sisi kiri, terang-benderang, tanpa tanaman merambat yang tumbuh di permukaannya.

Aku berdiri di hadapan jendela panjang itu, menatap lurus ke arah hamparan rumput hijau di baliknya. Baru kusadari, kamar kastel yang kuhuni sebelum ini berada di lantai atas, meski keseluruhan ornamen dan perabot kamar terlihat sama persis sehingga aku tidak dapat menduga jika mereka telah memindahkanku ke kamar berbeda.

Dari kejauhan dan ketinggian, tembok-tembok penghalang yang mengelilingi kastel terlihat jauh, nyaris seperti garis horizon di lautan. Akan tetapi, pada pertahanan bagian dalam, sebuah tembok lain yang jauh lebih rendah juga dibangun mengelilingi bangunan kastel. Tembok yang ini berdiri begitu dekat dengan bangunan kastel. Tembok yang kupanjat untuk kabur beberapa waktu lalu.

Pada satu titip di bawah sebatang pohon angel pak, pandanganku menangkap pergerakan sekumpulan prajurit. Alaidair, yang paling bercahaya dan rupawan, terlihat begitu menonjol di antara sepasukan berbaju zirah kusam. Wajah-wajah mereka terlihat tegang. Lalu, seseorang berjalan tergesa-gesa ke arah rombongan Alasdair, kemudian membisikkan sesuatu kepada sang pangeran.

Aku mengamati mereka, mengamati Alasdair, nyaris tanpa mengedip, ketika tiba-tiba sang pangeran menghunus pedang perak yang tersampir pada sabuk di pinggangnya. Aku terkesiap, refleks menutup mulut dengan sebelah tangan. Alasdair berlari diikuti rombongan prajuritnya yang juga serempak menghunus pedang. Sesuatu rupanya telah terjadi. Sesuatu yang mungkin saja tengah mengusik pertahanan kastel.










Pontianak, 30 Maret 2023, pukul 21:57 WIB
Akhirnyaaa aku bisa update, mohon maaf untuk yang telah menunggu lama akan kelanjutan kisah Wilhelmina Ares, terima kasih sudah mampir 😍








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top