11. The Savior
Seseorang menepuk pipiku. Kulit tangannya terasa dingin ketika menyentuh kulitku hingga sontak membuat bulu kudukku meremang. Akan tetapi, aku bersyukur karena ini berarti aku masih hidup. Aku masih bertemu dengan manusia lainnya, bukan naga, atau makhluk lainnya dari alam baka.
Ya, naga! Bayangan dua makhluk besar sehitam jelaga, bersisik dengan sepasang mata merah seketika membayang dalam benakku seumpama mimpi buruk, sementara kelopak mataku masih terpejam rapat. Mungkin aku memang sedang bermimpi, tetapi mengapa aku dapat merasakan sentuhan dingin itu?
"Bangunlah." Suara merdu seorang laki-laki kemudian terdengar, menyelinap dalam kesadaranku yang rapuh. Jadi, aku tidak sedang bermimpi rupanya, karena sentuhan itu nyata.
Perlahan-lahan aku membuka kelopak mata yang terasa sangat berat dan seolah ingin berkhianat, sekaligus merasakan pening yang mendesak pelipis saat aroma kuat menyelinap ke dalam penghiduku. Langit gelap dengan taburan bintang menyambut pandangan seketika, bukan para naga. Makhluk mengerikan itu tidak ada di hadapanku sekarang, benar-benar situasi yang melegakan sekaligus membuatku merasa was-was. Ke mana makhluk-makhluk terkutuk yang semula begitu dekat itu?
Rasa ngilu di perutku seketika menyadarkanku bahwa aku masih berada di luar kamar yang hangat atau bahkan mungkin di luar tembok kastel terkutuk itu. Udara malam yang dingin membuat pedih pada bekas lukaku semakin memburuk hingga tanpa sadar aku mengerang pelan.
"Beruntung Yang Mulia tidak sempat melihatmu tadi," cetus suara merdu yang barusan membangunkanku dari tidur.
Aku mendongak refleks tersadar jika aku tidak sendirian di sini. Sepasang netra emas kecokelatan menatapku dengan penasaran ketika aku menoleh ke kiri. Paras rupawan lainnya yang begitu menonjol dengan latar langit gelap yang menaungi sekitar. Pemuda itu mengulas senyum miring di bibir tipisnya yang merah muda. Berbanding terbalik dengan Yang Mulia, pemuda itu memancarkan keramahan tambahan yang menghanyutkan dan penuh pesona, bahkan Elian tidak seramah dirinya karena terlampau formal. Pemuda ini memiliki paras yang sama rupawan dengan si pemilik kastel dengan jenis ketampanan yang sedikit berbeda. Seperti yang sudah kuungkapkan sebelumnya, orang-orang di kastel ini sepertinya memang terlahir dengan genetik sempurna.
"Benar-benar sebuah tindakan yang sangat ceroboh!" gerutu Elian. Suara lembutnya kini terdengar was-was. Entah sejak kapan, pemuda itu berada di sana, beberapa langkah di belakang si pemuda rupawan, tetapi keberadaannya jelas-jelas membuatku merasa sedikit tenang.
Aku menatap Elian dengan setengah mendengkus. "Aku sudah bilang 'kan, aku ingin pergi dari tempat ini," balasku ketus. Aku tahu, seharusnya aku merasa bersalah karena tertangkap basah memanjati tembok, tetapi naluriku justru menitahkan sebaliknya. Tidak perlu merasa bersalah dan tetap menaikkan dagu, terutama pada situasi seperti ini.
Samar-samar, Elian membalas dengkusanku. "Sungguh sangat tidak bijak jika melarikan diri dalam keadaan terluka seperti ini."
"Apa pedulimu? Toh, aku hanyalah seorang tawanan," balasku sinis.
"Wah, seorang gadis yang bersalah tetapi menolak untuk disalahkan, ya? Menarik!" Pemuda tampan yang ternyata membuatku sadar dengan sebotol ramuan berbau aneh menyela sindir-menyindir di antara aku dan Elian. Kata-katanya barusan sontak membuatku dan Elian menghentikan perang kata-kata yang baru saja bermula, mengalihkan ledakan emosiku.
Pemuda rupawan itu tersenyum dan dengan gerakan anggun menutup botol ramuan dalam genggamannya. Bau aneh yang sebelumnya menyelimuti sekitarku menjadi samar. Dan tentu saja, aku merasa jauh lebih baik dengan keputusannya itu.
"Dia Nona Wilhelmina, gadis yang diselamatkan Yang Mulia di perbatasan Hutan Utara." Elian menjelaskan tanpa diminta.
Pemuda itu mengangguk seolah mahfum, tetapi kata-katanya setelah itu membuatku berang. "Oh, gadis tawanan Yang Mulia, rupanya."
"Tawanan katamu?!" Aku menggeram, gigiku gemeletuk, tetapi rasa ngilu pada luka di perut segera memperingatkanku, hingga aku refleks mendekap luka dengan telapak tangan. Luka itu rupanya kembali basah, merembes hangat di permukaan telapak tanganku yang telah lama terpapar di udara dingin. Sembari menahan erangan aku menatap gaun tipisku yang kini bernoda darah. Rasa sakit dari luka yang menganga itu perlahan-lahan menjalar ke bagian lain tubuhku. Sialan!
"Kabur dalam keadaan seperti ini sangatlah tidak bijak. Anda membahayakan diri anda sendiri, Nona Wilhelmina," ucap Elian yang bergegas menghampirku, memeriksa lukaku dengan raut khawatir.
Dengan cekatan, Elian menyingkap gaunku, lalu membebat ulang luka yang kembali menganga itu dengan kain bersih yang telah dibubuhi ramuan obat. Di sisinya pemuda rupawan berambut merah tadi bertindak cekatan sebagai asisten sang penyembuh. Tunggu dulu, mengapa mereka begitu khawatir kepada seorang tawanan yang terluka? Sungguh tidak masuk akal! Namun, gelombang rasa sakit itu menderaku hingga di penghujung kesadaran.
Ketika ramuan obat itu pada akhirnya mengenai lukaku, muncullah sensasi rasa sejuk yang menenangkan. Lukaku memang masih terasa sakit, tetapi sama sekali tidak mengganggu sekarang. Napasku yang semula cepat, kini perlahan menemukan ritme yangseharusnya. "Terima kasih," tuturku parau. Segenap tembok perlawanan yang kubangun sebelum ini, berangsur-angsur runtuh, sehingga aku membiarkan pemuda berambut merah sepunggung itu menuntunku berdiri, setelah menolak secara halus Elian yang kembali ingin menggendongku. Aku tidak akan membiarkan Elian kembali membuatku terlihat lemah, meski kenyataannya aku memang setakberdaya itu sekarang.
Aku berjalan tertatih di belakangnya, sementara si rambut merah menuntunku berjalan melewati jalanan berpaving rapi yang dikelilingi taman sejauh mata memandang. Bahkan, dengan dilatari kegelapan malam, taman itu tetap terlihat istimewa. Pohon-pohonnya rindang terawat, sementara beraneka jenis tanaman berbunga tersusun rapi di tepi jalur yang kulalui, menyebarkan semerbak aroma wangi yang belum pernah kuhidu sebelumnya. Tempat tersembunyi ini benar-benar indah dan ajaib, berbanding terbalik dengan kegelapan yang menyelimutinya dari kejauhan. Akan tetapi, sejauh mata memandang, tidak ada satu pun jalan keluar yang terlihat. Padahal aku telah berada di balik tembok, di luar kamar, tetapi aku sama sekali tidak berada di luar kastel ini. Tembok-tembok batu yang jauh lebih tinggi berdiri mengitari taman indah itu dengan hanya menyisakan sepotong langit sebagai naungan. Alih-alih gelap, taman itu justru terang benderang karena setiap kuntum bunga yang memancarkan sinar aneka warna, sementara kunang-kunang terbang bergerombol pada pepohonan rindang dan semak dedaunan tanpa bunga. Benar-benar pemandangan yang luar biasa indah, sekaligus mengerikan. Lagi-lagi, aku bertanya-tanya, mengapa keindahan serupa ini justru menguarkan aura kelam dan tak tersentuh dari kejauhan?
"Saya harap Nona Wilhelmina dapat mematuhi Yang Mulia kali ini. Tidak berkeliaran di luar kamar, setidaknya sampai Anda benar-benar pulih." Elian berkata tanpa menoleh padaku, tetapi kata-katanya jelas mengandung ketegasan yang tak dapat ditawar. "Edward dan aku akan merahasiakan kejadian malam ini dari Yang Mulia," lanjutnya seraya menghentikan langkah, kemudian menoleh padaku. "Jadi, jangan menyia-nyiakan kebaikan kami, Nona."
Kebaikan katanya? Jelas-jelas ini adalah sebuah ancaman terselubung. Akan tetapi, aku tidak berkata apa-apa lagi, sekuat tenaga kutelan segenap protes yang mendesak ingin kumuntahkan. Elian benar, aku tidak bisa lari sekarang, terlebih dengan kondisi yang masih terluka seperti ini. Jadi, aku akan bersabar menunggu sampai lukaku benar-benar pulih untuk bertindak. Lain kali, kupastikan pelarianku tidak akan berujung kegagalan. Aku mendongak menatap rembulan yang kini disaput awan hitam seraya diam-diam memanjatkan pengharapan dalam hati, semoga Meredith masih bertahan sampai saat itu tiba. Lalu, kami berjalan dalam diam, menyusuri jalur taman yang menuntun kami kembali ke gerbang tembok yang telah kupanjat tanpa berpikir panjang.
Sepasang kubah hitam mengilap terpasang sama tinggi membentuk gerbang masuk. Alih-alih berlumut dan lembab, tembok di sekitar gerbang terdiri dari batu hitam yang mengilap diterpa cahaya terang dari kelopak bunga. Sekilas, batu-batu itu terlihat seperti susunan batu oniks, tetapi jika diamati dari dekat, permukaan hitam batu itu terlukis kepulan asap tipis samar yang nyaris tak terlihat. Meski demikian, sekali saja menatapnya, aku dapat mengenali jika gambar kecil itu adalah siluet naga.
Kami melewati gerbang itu begitu saja. Maksudku, kastel besar nan megah seharusnya memiliki sentinel yang berjaga di tiap gerbangnya. Namun, kastel ini tidak memiliki penjaga. Tentu saja, tidak perlu, karena sihir terkadang bisa jauh lebih kuat dari sepasang senjata. Mereka menguasai sihir artinya mereka memiliki segalanya.
Tiba-tiba aku mengingat dua ekor makhluk mengerikan yang kulihat sebelum kehilangan kesadaran. Dua makhluk hitam besar, bersisik, dan bermata merah. Berarti ada lebih dari satu naga yang bersemayam di kastel ini, tetapi mengapa dongeng yang kami ketahui hanya menyebutkan seekor naga. "Di mana naga-naga iblis itu?" desisku tanpa bisa menyembunyikan kebencian yang meluap-luap di dada. Aku bahkan dapat merasakan kelenjar air liurku yang mengembang dan keinginan untuk meludah, tetapi ketidaksopanan itu semua susah-payah kutahan.
"Naga iblis?" Edward menaikkan alisnya, menatapku dengan senyum tertahan.
"Mengapa Yang Mulia iblis kalian berkeliaran, padahal kami sudah memberikan kurban kepada mereka," imbuhku penuh kebencian. "Apa lagi yang dicari oleh Yang Mulia kalian di luar? mau menakut-nakuti para penghuni Mundaneland?"
Elian menghentikan langkah tegasnya tiba-tiba. Begitu pula Edward dan aku. Wajah Elian kini terlihat seolah-olah akan meledak, merah padam. "Kurban?" Dia menekankan tanya pada kata itu seolah dia atau para penghuni kastel ini berpura-pura tidak pernah memintanya, atau barangkali memang demikianlah adanya. Kedua bola matanya menatapku lekat-lekat seolah memberi peringatan. "Apa pun yang Anda pikirkan, Nona, lebih baik Anda simpan di dalam kepala Anda sendiri. Tuduhan-tuduhan tidak beralasan itu akan membuat Yang Mulia semakin marah," tuturnya cepat. "Anda tidak tahu apa-apa tentang kami. Sekali lagi, Nona, Anda tidak tahu apa-apa. Tutup mulut Anda jika tidak ingin Yang Mulia marah."
Aku tidak tahu apa-apa katanya, hah, sekarang aku benar-benar ingin mengumpat sekaligus meludahi wajah rupawannya. Aku tahu semuanya, nyawa yang mereka minta setiap purnaa ketiga belas, nyawa Meredith malang, yang tentu saja aku segera kutemukan. Akan tetapi, tekanan pada kata-kata terakhir Elian terasa membuat keyakinanku sendiri goyah. Ada yang salah di sini. Ada yang tidak beres, dan aku akan segera mencari tahu.
"Dia marah?!" ulangku ketus, tidak seketus sebelumnya. Alih-alih menatap langsung ke mata Elian, aku lebih memilih melihat jalanan paving di bawah telapak kakiku. "Seharusnya perkataan tawanan sepertiku tidak memberikan pengaruh apa pun kepadanya. Bukankah dia begitu berkuasa, jika dia memang marah padaku, dia bisa saja menghabisiku. Aku hanya---" Tiba-tiba dadaku didera perasaan tidak enak. Wajah Meredith membayang di pelupuk mataku, sementara di sisi lain ucapan Elian terngiang-ngiang seumpama peringatan. Keinginan untuk mengetahui keberadaan sepupuku itu menjadi begitu mendesak dan nyaris tak tertahankan. Apa sebaiknya kutanyakan secara langsung kepada Elian agar aku tidak perlu membiarkan prasangka menggerogoti benakku?
"Hanya apa?" Elian menatapku lekat-lekat seraya melangkah lebih dekat. Jarak di antara kami kian pupus hingga begitu dekat. Aku bahkan dapat membaui napasnya yang beraroma mint. Entah mengapa, keramah-tamahannya sebelum ini seolah menguap tanpa jejak, berganti raut marah.
"Tenanglah Elian." Suara renyah Edward memecah ketegangan pada udara yang merambat di antara kami. Satu lengannya menyentuh bahu Elian sekilas, sementara tangan lainnya masih menggenggam pergelangan tanganku. "Tidakkah sebaiknya kita menempatkan Nona Wilhelmina di kamarnya, sebeum Yang Mulia kembali?"
Elian masih menatapku. Namun, kemudian aku menyadari kejanggalan itu. Jika, sang pangeran belum melihatku memanjati tembok untuk melarikan diri, maka siapa sebenarnya dua ekor naga yang membuatku jatuh dari ketinggian tadi? Apakah aku berhalusinasi?
Tatapan Elian seketika menjadi begitu familier. Aku membayangkan tatapan itu bersinar terang dan berwarna merah, dibingkai kulit bersisik yang hitam. Kemudian, genggaman Edward di pergelangan tanganku terasa kian hangat hingga aku nyaris menarik tanganku. Aku tahu sekarang, siapa mereka, dan dua sosok naga yang membuatku jatuh ketika berusaha kabur. Tubuhku dirayapi rasa dingin yang menakutkan. Katel ini tidak hanya didiami oleh seekor naga, tetapi tiga ekor naga terkutuk berparas rupawan.
Pontianak, 18 November 2022, pukul 16.09 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top