10. Escape

Cahaya bulan yang benderang menyorot ke dalam kamar yang sengaja kubiarkan tanpa cahaya. Setelah Elian pergi, seorang pelayang masuk tanpa bicara dan membereskan kekacauan yang kuperbuat. Sama seperti pelayan sebelumnya, dia juga tidak berbicara, bahkan tidak mengangkat wajahnya kepadaku. Sebelum pergi, ia membawakan nampan berisi makanan baru dan menghidupkan beberapa lilin aroma terapi yang menerangi kamar. Setelah kepergiannya, aku mematikan semua lilin dan tidur, tanpa menyentuh makan malamku sama sekali. Namun, kini cahaya rembulan yang tak lagi penuh itu membangunkanku.

Dengan gelisah aku menatap keluar jendela yang tirainya setengah terbuka. Kembali tidur adalah hal yang mustahil, terlebih karena kau adalah tahanan di dalam kamar asing pada sebuah kastel yang legendaris akan kutukannya. Pemandangan bulan separoh membuatku berangan-angan dan mengingat-ingat malam-malam yang kubahiskan dengan berburu atau minum-minum di bar-bar busuk Mundaneland. Bagaimana pun indah dan nyamannya tempat aku berada sekarang, semua ini terasa salah. Aku harus segera keluar dari tempat ini dan menyelamatkan Meredith. Makhluk apa pun yang telah merenggut Meredith tidak akan menunggu lama untuk melaksanakan niat jahatnya. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di dalam benakku.

Aku berpaling pada meja kecil di sebelah ranjang. Makan malamku telah dingin sepenuhnya, daging cincang bertabur lada dengan beberapa keping roti lembut, dan buah beri, tetapi aku sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. Tatapanku terpaku pada sebilah pisau yang berjajar di samping sendok dan garpu. Meski pisau itu terlihat konyol, tetapi benda itulah satu-satunya yang memiliki bilah tajam di sekitar sini. Pisau itu mungkin tidak akan dapat membunuh, tetapi jelas dapat melukai. Dengan tergopoh kuraih gagangnya. Sendok yang tak sengaja beradu dengan bilahnya berdenting membelah kesunyian kamar, membuat dadaku bertalu-talu.

Aku sempat menahan napas, sebelum berhasil menarik pisau roti itu dan menyembunyikannya di antara lipatan kain yang membebat luka di perutku. Bilah pisau itu terasa dingin begitu menyentuh sedikit bagian kulitku, tetapi entah mengapa, seketika menjalarkan rasa aman yang ganjil. Ya, aku dan senjata tajam memang selalu berteman baik.

Ruangan di sekitarku masih sesunyi sebelumnya. Agaknya, bunyi denting tadi teredam dinding kamar mewah yang dipenuhi mural ini.

Setelah yakin, tidak ada siapa pun yang mendengar keriuhan tadi, dengan langkah tertatih akhirnya aku mendekati jendela, menyibak seluruh tirai yang menghalangi kaca tembus pandang. Sejenak aku mengamati tembok tinggi yang menghalangi pemandangan di baliknya sembari memperhitungkan kesempatan yang kumiliki untuk kabur jika aku memanjatinya. Dan, aku tidak boleh melalaikan besi-besi bergerigi yang menancap pada puncak tembok itu yang kini berkilauan diterpa cahaya bulan. Kesempatanku memang tidak banyak, terlebih dengan dua luka yang masih berdenyut nyeri di tubuh, tetapi aku tidak akan menyia-nyiakan peluang ini. Sekarang atau tidak sama sekali.

Perlahan, aku menarik pengait yang mengunci jendela hingga terbuka, lalu mendorong birainya. Bunyi derit pelan engselnya yang membelah hening malam membuat jantungku berdegup kencang. Aku menahan birai jendela itu sesaat sembari mendengarkan bunyi-bunyian yang dapat tertangkap pendengaranku dari luar kamar. Namun, tidak ada suara apapun, segalanya hening, seolah-olah kastel itu tak berpenghuni. Setelah yakin tidak ada yang mendengarkan bunyi derit engsel jendela, aku kembali mendorong birai itu hingga terbuka sempurna. Angin malam yang dingin dan lembab serta-merta menerpa wajahku, membuatku bergidik seketika.

Meski gaun yang kukenakan sangat tidak cocok untuk kegiatan memanjat tembok malam ini, aku tidak peduli. Setelah berhasil keluar dari tempat ini, aku bersumpah akan membuang gaun sialan ini atau bahkan membakarnya. Begitu berhasil membuka jendela dengan sempurna, aku lantas memanjat naik melewati bingkainya menuju jalanan berpaving yang mengisi sedikit ruang di antara jendela kamar dan tembok. Tidak ada apa-apa di sana, sejauh mata memandang, jendela-jendela lain di sebelah kamarku tertutup rapat, sementara pekat mengisi setiap sudut tempat itu sehingga aku yakin tidak ada sepasang mata pun yang dapat memerhatikan pergerakanku.

Hal ini sama sekali tidak baru bagiku. Aku nyaris merasa mahir dalam hal panjat-memanjat dan menyelinap. Tak terhitung berapa kali aku memanjati tembok sebuah toko roti untuk sekadar mencuri satu atau dua tangkup roti agar kehidupanku dapat berlanjut, dengan memanjati tembok yang jauh lebih tinggi dan tentunya rapuh. Rasa lapar, yang nyaris selalu kurasakan, juga kerap kali melemahkanku. Akan tetapi, tekanan di kastel ini dengan keadaan seperti ini terasa lebih kuat. Aku merasakan sesuatu menggelegak di dalam diriku seumpama ombak di laut lepas. Adrenalinku benar-benar terpacu.

Sebelum memanjati tembok batu itu, aku menyentuh permukaannya dengan telapak tangan, merasakan lumut basah tipis yang menyelimuti permukaannya di beberapa bagian, sembari memperhitungkan berapa langkah yang harus kuambil untuk mencapai ketinggian. Sama seperti tembok lainnya yang kupanjat, aku mengenali teksturnya yang kokoh, tetapi sama sekali tidak rapuh. Permukaan tembok itu sama sekali tidak licin meski beberapa bagiannya diselimuti lumut dan relatif tidak sulit untuk dipanjat karena kokoh dan memiliki celah-celah tumpuan. Mungkin seseorang pernah memanjati tembok ini sebelumnya. Pikiranku mulai berkelana, berasumsi tentang manusia-manusia malang yang mungkin saja pernah tertawan di kastel ini, tetapi segera saja kutepiskan. Berpikir di saat seperti ini benar-benar tidak tepat, aku harus bertindak.

Di bawah cahaya kuning rembulan yang tak lagi sempurna, aku memanjat perlahan sembari menahan perih yang berkedut dari luka di tubuh. Aku berusaha melakukannya dengan perlahan dan tenang, meski keringat dingin bercucuran membanjiri pelipis. Angin malam yang dingin justru terasa bagai bara panas yang melecut keinginanku untuk segera berada di luar tembok ini, menghirup udara bebas kembali.

Akan tetapi, di keheningan malam itu rupanya aku tidak sendirian. Samar-samar terdengar suara naga mengaum di kejauhan. Suara itu sontak membuat bulu kudukku meremang dan gigil seketika menyergapku. Sang naga iblis ada di sekitar sini.

Dengan panik aku mempercepat gerakan, sedikit lagi untuk mencapai puncak tembok. Termor menyerangku saat rasa sakit mulai memuncak. Pandanganku tiba-tiba menjadi samar saat pening terasa mencengkeram sebelah pelipisku. Aku lantas mendongak dengan pandangan berkunang-kunang, melihat seberapa jauh lagi aku dari puncak tembok, napasku memburu, hingga bayangan hitam besar yang melintasi langit tepat di atas kepalaku tiba-tiba terlihat. Lalu, suara mengaum marah terdengar begitu dekat.

Dua ekor makhluk besar legendaris terbang dengan sayap mengembang di atas kepalaku, dalam jarak yang begitu dekat sehingga aku dapat menghidu napas aroma belerang panas yang khas dan menyengat.

Dua ekor, kuulangi sekali lagi, ada lebih dari satu naga iblis dan sialnya aku sedang berada di sarang mereka sekarang. Bergelantungan pada dinding-dinding yang mengelilingi kastelnye, seolah siap menantang kematian. Dalam kegelapan dan jarak sedekat ini, sepasang mata merah mereka berkilau di dalam gelap bak batu delima magis. Garis-garis cahaya yang kemilauan menyorot dari mata-mata besar mereka.

Aku mendongak, menantang sepasang mata makhluk kegelapan itu dengan pikiran kosong. Napasku memburu, sementara sesuatu terasa menggumpal di tenggorokan. Kedua makhluk hitam besar itu telah melihatku, lalu terbang berputar-putar di atas kepalaku seakan siap menghabisiku kapan saja.

"Yang Mulia ..." gumamku parau, meski tak yakin makhluk itu mendengarkan. Akan tetapi, aku tidak bermaksud menyerah atau memohon pengampunan. Jika kedua makhluk itu menyerang, maka aku akan siap megerahkan segenap upaya untuk mempertahankan diri.

Kemudian, salah satu dari mereka mengepakkan sayap, mendekat. Sementara, kepanikan melandaku. Bilah pisau roti di balik kain yang membalut lukaku terasa lebih dingin seolah memberi sinyal tanda bahaya. Aku harus meraih benda itu sekarang, tetapi sialnya kedua tanganku tetap berdiam terpaku mencengkeram tempok. Dasar organ pengkhianat!

Seekor naga bermata merah cemerlang pada akhirnya mendarat pada bagian atas tembok tak jauh dari posisiku. Dinding tembok terasa sedikit berguncang dan beberapa serpihan lumut jatuh bagai hujan gerimis menerpa sebagian rambutku.

Apa yang akan dilakukannya? Aku meracau, sementara tubuhku termor. Meski rasa takut menjajahku, aku sama sekali tak ingin mengalihkan pandang. Jika ini adalah mautku, maka saat-saat terakhir seperti ini harus benar-benar kuingat. Dengan tangan gemetar, kuraba gagang pisau roti di balik kain, merasakan suhunya yang dingin menusuk tulang. Sementara, satu tanganku yang mencengkeram tembok mulai goyah

Dalam sebuah letupan singkat yang mengepulkan sejumlah asap abu-abunya pekat, makhluk itu menghilang. Namun, belum sempat mataku mengedip sesosok pemuda familier muncul dari asap yang kemudian menipis secara ajaib.

"Wilhelmina...."

Suara itu mengejutkanku. Dan sebelum kepulan asap abu-abu pekat itu menyingkap sosok di hadapanku dengan jelas, tanganku yang goyah akhirnya kehilangan kendali. Tubuhku melayang bebas setelah terlepas dari tembok, sebelum gelap menarik kesadaranku dengan sempurna.











Pontianak, 30 Oktober 2022, pukul 00.20 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top