Bab 13

Ayu memandangi buku Persona di tangannya. Buku yang telah ditandatangani Juna khusus untuknya. Terdengar konyol, tetapi lembar pertama tempat Juna menggoreskan tinta penanya itu seolah seperti Juna telah menorehkan namanya di hati Ayu. Sesuatu yang nyata dan tak terpungkiri, tetapi begitu sulit untuk dinikmati. Kondisi Juna tentu saja menjadi salah satu penyebabnya. Meski hal itu sama sekali tak menjadi masalah untuk Ayu, penerimaan yang berbeda jelas terasa dari Wayan dan Sekar. Membuat mereka dengan tegas mengambil langkah yang menghadang impian Ayu untuk bersama Juna. Memaksakan pertunangannya dengan Lintang.

Masa bodoh. Ayu merasa sudah cukup menjadi anak penurut. Seharusnya orangtuanya pun mengerti. Ada beberapa hal dalam hidup yang bisa Ayu putuskan sendiri, sepatuh apa pun ia sebagai seorang anak. Dan, memilih Juna adalah salah satunya.

Lintang adalah sahabat Ayu. Dia lelaki yang tampan, mapan dan mengenal baik keluarga Ayu. Namun, Juna juga memiliki semua itu. Bukan bermaksud membandingkan, tetapi di mata Ayu, Juna bahkan memiliki kepribadian yang lebih menarik dibanding banyak lelaki tampan yang pernah ia temui. Juna rupawan dengan caranya sendiri. Dia memang tak memiliki wajah yang tampan, tetapi cara berpikirnya begitu mempesona.

Ayu mengembuskan napas panjang. Gundah menyerang gadis itu. Memikirkan setiap hal tentang Juna, sekecil apa pun itu justru membuat rasa rindunya semakin bertambah. Terlebih pertemuan terakhir mereka begitu singkat.

Teringat bahwa ia dan Juna sempat bertukar alamat e-mail sebelumnya, Ayu pun berinisiatif untuk menghubungi lelaki itu. Diletakkannya buku Persona ke atas meja, lalu ia berpindah tempat menuju meja kerja tempat laptopnya berada. Ia menyalakan benda tersebut, tak sabar menunggu tampilan akun e-mail-nya terbuka. Begitu telah muncul sepenuhnya, dengan perasaan rindu yang meluap-luap ia mengetik pesan ke alamat surel Juna.

From : [email protected]
To : [email protected] 
Juna, aku rindu padamu.

Terlalu terus terang. Ayu sadar itu. Hanya saja, keinginan untuk segera bertemu dengan Juna meski hanya lewat jalinan kata membuat Ayu mengesampingkan fakta tersebut. Toh, Juna pun tahu bagaimana perasaannya pada lelaki itu.

Hal yang tak menyenangkan dari berkirim pesan lewat email adalah Ayu tidak tahu kapan akan mendapat balasan. Fakta itu sedikit mengganggunya, tetapi ia meyakinkan diri jika Juna pun merasakan rindu yang sama. Beranggapan jika lelaki itu juga tengah menghadap layar yang menampilkan alamat email Ayu dan tengah kebingungan akan mengirim pesan atau tidak. Lalu, Juna akan terkejut karena Ayu yang pertama mengambil inisiatif itu, mengiriminya pesan terlebih dulu. 

From : [email protected]
To : [email protected]
Aku juga rindu padamu.

Sungguh harapan yang menjadi nyata. Tak sampai lima menit, pesan Ayu telah mendapatkan balasan. Sebuah kalimat yang serupa dengan keinginannya. Senyum terukir di bibir Ayu ketika membaca kalimat tersebut untuk kedua kali. Namun, pesan kedua yang menyusul melenyapkan senyum itu.

From : [email protected]
To : [email protected]
Tapi, aku tidak berhak merindukanmu, Ayu. Kita bukanlah siapa-siapa. Aku takut aku salah menempatkan perasaan ini.

Kalimat dari pesan terakhir sama sekali bukan kalimat yang Ayu harapkan. Bahkan, ia ingin rentetan kata itu tak pernah ada. Bergegas, ia mengetik pesan balasan. 

From : [email protected]
To : [email protected]
Juna, tidak ada yang salah dengan perasaan kita. Dan, jika menurutmu kita bukan siapa-siapa, itu benar. Tapi itu dulu, saat kita belum menyadari perasaan masing-masing. Sekarang, kalimat itu sama sekali tidak cocok untuk menyatakan hubungan di antara kita.

Pertama kalinya Ayu begitu gamblang mengungkapkan yang terlintas dalam benaknya. Tak ada keengganan untuk menyuarakan isi hati. Tak ada rasa sungkan dan ketakutan menyakiti hati orang lain yang dalam hal ini orangtuanya. Ayu hanya ingin menyuarakan perasaannya pada lelaki yang ia cintai.

From : [email protected]
To : [email protected]
Maafkan aku, Ayu. Tapi kita harus sadar, keadaan tidak semudah itu. Semua akan lebih baik jika kita tetap menjadi diri kita sendiri tanpa bersinggungan satu sama lain.

Ayu menggeleng tak percaya membaca jawaban Juna yang datang begitu cepat. Ia hendak mengetik pesan balasan ketika satu email kembali datang menyusul. 

From : [email protected]
To : [email protected]
Aku mohon kamu mengerti, Yu. Ini yang terbaik untuk kita semua.

Omong kosong, batin Ayu. Ia yakin yang terbaik bagi mereka adalah menjalani hidup bersama. Berdampingan. Ia sedikit kecewa karena Juna terkesan tak mau berusaha lebih jauh untuk memperjuangkan mereka. Dengan emosi yang perlahan naik, ia lanjut mengetikkan balasan untuk Juna. Pesan berisi kalimat-kalimat panjang yang seperti curahan hati. Juga sedikit kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan terus menerus. Pesan yang ia kirimkan lebih dari satu. Berharap dengan begitu Juna akan lebih memahami keinginannya akan kelanjutan kisah mereka. Sayangnya, setelah pesan-pesan itu terkirim, tak ada lagi balasan dari Juna. Ayu menunggu dengan tak sabar dan berakhir dengan hasil yang sama setelah bertahan selama mungkin. Tetap tak ada balasan.

Ada kemarahan dalam diri Ayu yang sulit dijelaskan. Namun, dengan susah payah ia menahannya dan memilih untuk mematikan laptop. Ia lalu beranjak menuju tempat tidur, menarik selimut dan memaksa dirinya untuk terpejam.

***

"Tinggal sendiri?" Itulah reaksi pertama Sekar sewaktu mendengar rencana putri tunggalnya pagi itu. Obrolan pagi yang biasanya berisi bahasan tentang berita-berita yang tengah marak atau tentang ide untuk lukisan Ayu mendadak berubah serius. "Kamu itu anak tunggal. Tidak perlu sampai harus tinggal terpisah dari orangtua hanya untuk belajar mandiri. Lagipula kamu sudah mandiri, secara pemikiran maupun finansial."

Ayu tahu ia akan mendapat penolakan. Namun, tak berarti ia akan menyerah begitu saja. "Ma, keputusan Ayu bukan semata karena itu. Ayu sudah bilang, kan, Ayu butuh memperdalam kemampuan melukis. Dan, Ayu nggak akan berkembang dengan hanya diam di sini. Melukis sesuka hati tanpa bimbingan."

"Memangnya di mana kamu akan tinggal?" Wayan yang sedari tadi diam mendengarkan sembari meminum tehnya akhirnya angkat bicara.

"Di asrama Bli Gustika, Pa." Ayu sengaja menyebut nama pelukis lokal idolanya untuk memperkuat alasan. "Di sana Ayu akan belajar lebih banyak. Ayu juga akan lebih fokus melukis."

Sekar memandang wajah Wayan yang tanpa ekspresi. Namun, sesaat kemudian Ayu bisa menangkap ekspresi kedua orangtuanya yang seolah saling memberi isyarat tertentu. Apa pun itu, Ayu hanya berharap kali ini ia mendapat restu. Ia menarik napas dalam dan kembali merangkai beragam kalimat dalam kepalanya. Menyusun berbagai alasan lain yang dapat mendukung keinginannya.

Wayan meletakkan cangkir tehnya lalu menatap Ayu serius. Sementara Sekar memandangnya dengan raut yakin yang menakutkan untuk Ayu. Firasat buruk menghampiri benak Ayu karena merasa keyakinan yang Sekar tunjukkan berseberangan dengan keinginannya.

"Jawaban kami tidak." Wayan kembali bersuara. Ayu hendak membuka mulut untuk melontarkan protes sekaligus alasan lain, tetapi Wayan lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Kamu tidak perlu tinggal di asrama mana pun. Kamu akan tetap di sini."

"Tapi, Pa ...,"

"Kamu bisa melakukan niatmu itu nanti ,Yu. Sekarang, kami rasa ada hal lain yang lebih baik untuk dilakukan lebih dulu," timpal Sekar.

"Apa?" Seperti orang bodoh, Ayu bertanya dengan pikiran kosong karena sama sekali tak terlintas di benaknya jawaban atas ucapan ibunya.

"Kamu dan Lintang harus segera menikah. Setelah itu, kamu bisa melakukan banyak hal yang kamu suka. Termasuk memperdalam keahlianmu melukis. Mama yakin Lintang tidak akan keberatan."

Meski Sekar tersenyum senang mendengar gagasannya sendiri itu, Ayu justru merasa muak. Keinginannya untuk tinggal sendiri adalah niat terselubung untuk menghindari hubungannya dengan Lintang. Dan, sekarang orangtuanya justru ingin menyegerakan pernikahan mereka.

"Ma, kami bahkan baru saja bertunangan." Ayu berujar dengan gusar. Wayan menangkap jelas hal tersebut dan segera mengatakan pendapatnya.

"Ayu, asrama melukis itu hanya alasan, bukan? Kamu hanya ingin mengulur waktu untuk pernikahan kalian. Jangan kira Papa tidak tahu niatmu."

Ayu terdiam. Meskipun yang dikatakan ayahnya benar, ia tidak berniat untuk mengakuinya. "Bukan begitu, Pa. Ayu hanya belum siap. Ayu butuh waktu. Itu saja."

 Bodohnya, Ayu masih merasa harus menjadi anak patuh dengan mengarang alasan lain. Perasaannya mengatakan jika belum waktunya untuk benar-benar memberontak. Ia masih butuh waktu. Dan selama itu, menjadi penurut adalah satu-satunya jalan untuk menghindari perdebatan.

Sekar mengangguk mengerti, meski bagi Ayu perempuan itu sebenarnya tak mengerti sama sekali. "Mama tahu, Yu. Jangan khawatir. Lintang lelaki yang baik. Kamu hanya perlu yakin kalau dia akan bisa membahagiakanmu."

Itulah masalah utamanya. Meski Sekar dan bahkan Lintang sendiri telah meyakinkannya akan hal itu, Ayu tetap percaya jika hanya Juna yang bisa melakukannya. Membahagiakannya. Namun, Ayu hanya mengangguk mengiakan dan berusaha bersikap wajar. "Ayu akan berusaha untuk itu, Ma."

Wayan dan Sekar tersenyum lega. Yakin jika telah berhasil menaklukkan keinginan Ayu. "Mama percaya kamu pasti bisa, Yu." Sekar kembali meyakinkan sang putri.

Obrolan pagi itu pun berakhir setelah Ayu berpamitan untuk kembali ke kamarnya. Berpura-pura menerima keputusan orangtuanya dan menjadi anak penurut. Namun, baik Wayan maupun Sekar tak tahu jika dalam hati Ayu telah tersusun rencana untuk mewujudkan keinginannya. Rencana yang selama hidup gadis itu belum pernah berani ia lakukan. Hal gila yang hanya pernah ia lihat dalam film.

Melarikan diri pada lelaki yang Ayu cintai. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top