"Mate," erang serigala tersebut sambil terus mengendus-endus Araya.
Suara tersebut terdengar sangat jelas di telinga Araya. Gadis itu membuka matanya lebar-lebar dan menatap bingung pada serigala di atasnya, yang juga tengah menatapnya.
"Apa kau yang berbicara?" tanya Araya dengan suara gemetar.
Araya yang tadinya takut, kini mata hijaunya menatap penasaran kepada serigala yang masih betah mengungkungnya.
Serigala tersebut menatap raut wajah Araya yang kebingungan. Serigala tersebut seolah tersenyum, yang justru membuat hewan buas itu semakin terlihat mengerikan.
Saat Araya masih berusaha memahami kenapa serigala bisa berbicara, hewan tersebut justru mundur dari posisinya. Mata Araya terus mengikuti gerak-gerik sang serigala yang menatapnya aneh.
"Eh, kok bisa?" tanya Araya, kembali dikejutkan saat serigala besar di hadapannya berubah menjadi seorang pria.
Tubuh pria tersebut terlihat sangat kekar dan mempesona, membuat mata Araya sulit berpaling. Apa Tuhan benar-benar mengirimkan seorang pangeran untukku?
"Bisa apa?" Pria di depannya bertanya sambil terus menatap Araya dengan sorot penuh cinta.
Karena dilihat demikian, semua pertanyaan yang ada di kepala Araya seolah menguap begitu saja.
Perhatian gadis itu terfokus pada wajah bersih tanpa cela. Rambut hitam legam, dan mata hitam yang terus saja menyorotkan kehangatan.
Tidak bisa dipungkiri, semua yang ada pada diri pria di hadapannya sungguh menawan. Mungkin beginilah penampakan dewa-dewa yang selalu diagung-agungkan tanpa celah.
"Aku tau aku tampan. Tapi kalau kau terus membuka mulutmu begitu, aku tidak yakin akan bisa menahan keinginan untuk menandaimu sekarang juga," ucap pria tersebut sambil terkekeh.
Tertangkap basah tengah mengagumi membuat pipi Araya memanas. Gadis itu benar-benar merasa sangat malu. Dia lebih memilih untuk menunduk agar tidak bertemu pandang dengan pria tersebut.
Dasar memalukan! Bisa-bisanya aku tertangkap basah memperhatikannya! makinya dalam hati, Araya yakin pipinya pasti sudah semerah tomat karena malu.
Gadis itu membuang muka, dia tidak berani melihat ke arah pria di depannya lagi. Araya bahkan sepertinya sudah lupa jika dia masih terduduk di tanah.
"Ravel," ucap pria itu sambil berjongkok dan mengulurkan tangan ke Araya.
Gadis itu menatap uluran tangan Ravel sejenak, kemudian dengan ragu dia menjabat tangan pria itu. "Araya."
Araya sempat terpaku melihat senyuman yang terukir di wajah Ravel. Dari jarak dekat seperti ini, wajah Ravel semakin terlihat tanpa cela. Hidung mancung, rahang tegas, dan bibir yang sempurna terlihat sangat menggoda.
Mengetahui apa yang dipikirkan Araya tentang dirinya, membuat Ravel menggeram tertahan. Sisi buas dalam drinya benar-benar sudah berontak ingin menandai Araya saat ini juga.
Mendengar geraman tertahan Ravel, membuat Araya tersadar. Gadis itu langsung menarik tangannya sesegera mungkin.
Pergerakan Araya yang seolah takut membuat Ravel mengembuskan napas kasar. Dia tidak suka saat melihat gadis itu menjauhinya.
"Hei, jangan takut. Aku tidak akan memakanmu. Tenang saja, hewan lemah di hutan ini masih cukup untukku."
"Hah?" Mata hijau gadis itu terbuka lebar menatap Ravel dengan raut terkejut.
"Aku hanya bercanda.” Ravel menjeda ucapannya lalu mengalihkan perhatiannya pada kaki Araya. "Bagaimana keadaan kakimu? Maaf, ya, tadi aku mengejutkanmu."
"Masih sakit. Sepertinya kakiku terkilir.” Araya menjawab dengan suara yang bergetar. Gadis itu menatap Ravel dengan sorot takut dan bingung. “Sebenarnya kau ini apa?"
"Aku werewolf," ucap pria itu terkesan sangat santai. "Dan kau adalah mate-ku, pasangan yang Dewi Bulan takdirkan untukku," sambungnya.
Araya merasakan sensasi hangat yang menjalar di relung hatinya ketika mendengar perkataan Ravel. Bahkan tanpa sadar gadis itu tersenyum.
"Mate? Sepertinya tadi aku juga mendengar kau mengucapkan itu, saat masih menjadi serigala," cicit Araya.
"Ya, benar. Karena kau adalah mate-ku, jadi bisa mendengar suaraku meski dalam kondisi sedang menjadi serigala," jelas Ravel sambil terus memerhatikan wajah Araya yang menunduk, dari samping.
"Mate, mate, mate. Sebenarnya mate itu maksudnya apa? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau ucapkan." Araya merasa sangat jenuh dan semakin bingung karena mendengar kata mate berkali-kali.
"Bukankah aku tadi sudah menjelaskan? Mate itu pasangan yang menjadi takdir bagi para werewolf. Nanti kau juga akan memahaminya," jawab Ravel senyuman yang tak luntur dari wajah tanpa celah miliknya.
Senyumnya …, ucap Araya dalam hati mengagumi ketampanan Ravel yang meningkat berkali lipat saat dia tersenyum.
"Aku mendengar ucapanmu, Araya," goda Ravel seraya terkekeh.
Oh, sial! maki Araya yang masih belum sadar dengan maksud ucapan Ravel.
"Aku juga mendengar umpatanmu itu. Aku bisa mendengar suara hati, bisa tahu apa yang kau pikirkan …,” ucap Ravel menggantung, lalu mendekatkan wajahnya pada telinga Araya. “Bahkan suara detak jantungmu itu terdengar sangat indah."
Awalnya Araya memang takut pada Ravel, tetapi setelah berbincang gadis itu justru lebih sering tersipu malu. Godaan-godaan Ravel membuat detak jantungnya menggila.
Perlakuan-perlakuan manis dan senyum menawan yang Ravel tunjukkan membuat rasa takut Araya menghilang. Gadis itu justru bersyukur karena tidak benar-benar sendirian di dalam hutan yang mengerikan ini.
***
Saat ini, Araya dan Ravel tengah duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Gadis itu terus menatap kakinya yang sedikit memar. Rasa sakit masih terasa menusuk pada bagian yang terlihat membiru itu.
Tiba-tiba saja Ravel sudah memegang kaki Araya dan meletakkannya di pangkuan pria itu.
Ravel menoleh ke arah Araya yang juga sedang memperhatikannya. “Tahan, ya, akan aku sembuhkan sakit di kakimu. Ini hanya sebentar sakitnya.”
"Akh! Sakit …," teriak Araya saat Ravel menekan memar di kakinya.
Sesaat, gadis itu merasakan panas yang menjalar pada kakinya. Setelah itu, memarnya hilang, bahkan rasa sakit pun sudah tidak dirasakan.
Dengan cepat Araya berdiri dan berjalan ke sana ke mari. Gadis itu bahkan sampai melompat-lompat untuk meyakinkan diri bahwa kakinya memang sudah baik-baik saja.
Ravel terkekeh memperhatikan tingkah Araya yang terlihat sangat menggemaskan. Lalu, pria itu berdiri agak sedikit jauh dari Araya.
Suara retakkan tulang terdengar dan menghentikan kegiatan Araya. Ravel kembali berubah menjadi sosok serigala besar.
Araya bersingkut mundur. Gadis itu masih sedikit ngeri melihat wujud serigala Ravel. Namun, saat Araya memperhatikan lebih detail, nyatanya wujud serigala cokelat Ravel terlihat manis. Hanya saja ukuranya yang besar membuat serigala itu terlihat berbeda.
Sebenarnya dia terlihat manis dan menggemaskan. Tapi, apa tidak menggigit? batin Araya.
Mendengar pujian dari Araya membuat Ravel merasa sangat senang. Dia bahkan ingin segera membawa Araya dan mengurungnya di kamar mereka.
"Ayo naik ke punggungku," titah Ravel sambil merendahkan tubuhnya agar Araya bisa naik dengan mudah.
"Kita mau ke mana?" Araya bertanya saat sudah berada di punggung Ravel.
"Ke tempatku. Atau … kau mau tetap di sini, sendirian?"
Ravel merasakan jika jari-jari Araya mencengkeram rambutnya. Dia sebenarnya berniat menggoda mate-nya. Namun, keadaan berbalik. Justru Ravel yang semakin tidak bisa menahan hasratnya.
"Tidak, aku takut di hutan ini sendirian. Baiklah, aku akan ikut. Tapi … apakah menaikimu seperti ini aman? Jujur saja, aku merasa takut," jelas Araya sambil terus mempererat pegangannya pada bulu-bulu Ravel.
"Aku akan pelan-pelan, aku janji. Kau tenang saja, dan tetap berpegangan erat," tegas Ravel berusaha meyakinkan Araya agar gadis itu tidak ketakutan.
Araya mengangguk seraya berkata, “Baiklah. Aku percaya padamu, Ravel.”
Ravel merasa sangat senang. Dia begitu menyukai sensasi geleyar hangat di dada ketika Araya menyebut namanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top