3. Kembali Bersama
Angin kencang yang menerpa wajahnya serta memberikan rasa dingin yang menusuk tulang tidak menyurutkan niat seorang William Claypole untuk tetap berdiri kokoh di tempatnya sembari menatap sederatan burung yang tengah mencari makan di tengan lautan.
Iya, ia berada di atas kapal, kapal yang akan membawanya pada sang belahan jiwanya, Amora Hill.
Tidak mudah bagi William untuk sampai pada tahap ini. Lelah, luka fisik serta beban batin yang di terimanya tidaklah sebanding dengan apa yang akhirnya ia dapatkan.
Amora... keberadaan sang belahan jiwalah yang pada akhirnya membuatnya yakin apa yang terjadi seminggu terakhir bukanlah hal yang berat jika di bandingkan dengan apa yang kini tengah ditujunya.
William masih mengingat bagaimana malam itu, ketika ia dan Catlyn memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka lalu berniat menemui Amora. Malam itu adalah malam yang tidak akan pernah dilupakannya. Malam yang menjungkirbalikkan kehidupannya. Malam yang membuatnya merasa menjadi seorang pria lemah tak berdaya.
Malam itu juga, begitu tersadar dari keterkejutan dan rasa bersalah pada Amora, William berlari keluar dari rumahnya, mengambil kuda dan melajukannya secepat yang ia bisa menuju kediaman orang tua Amora. Jantungnya berdetak begitu kencang, rasa rindu, rasa bersalah dan perasaan haru penuh kebahagiaan bercampur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang berkecamuk dalam hatinya, rasa bersalahlah yang paling mendominasi.
Bukan karena ia tidak bahagia dengan kehamilan Amora, tapi hal itulah yang justru membuatnya merasa bersalah. Salahnya yang melepaskan wanita paling dicintainya.
Semua memang salahnya. Seharusnya ia tidak menceraikan Amora dengan alasan apapun. Seharusnya pernikahan tidak mengenal pamrih. Seharusnya ia bisa bersikap egois memperjuangkan kebahagiaannya sendiri dan bukannya melepaskan satu-satunya sumber kebahagiaannya demi kebahagiaan orang lain. Seharusnya semua tidak seperti ini.
Semua mungkin sudah terlambat, tapi tidak bagi William. Semua belum terlambat. Tidak ada kata terlambat baginya. Selama ia masih bernapas, selama itu juga ia akan mengambil kembali apa yang sudah dilepaskannya. Tidak peduli seberapa terjal dan curam jalan yang akan dilaluinya. Baginya, semua akan dilalui asalkan hasil akhirnya ia bisa bersama Amora kembali maka ia tidak akan mempedulikan segala rintangan yang menghadang di depannya, meskipun hal itu membuatnya terluka dan berdarah.
Sejauh ini sudah terbukti ia berhasil melewati jalanan terjal dan curam itu. Sejauh ini ia sudah berhasi melewati momen dimana ia harus terluka dan berdarah dalam perjalanannya. Tinggal selangkah lagi dan ia berharap belum terlambat untuk mendapatkan Amora kembali.
"My Lord, udara malam tidak baik untuk anda. Sebaiknya anda masuk."
William berbalik, menemukan Catlyn berdiri tidak jauh darinya dengan sosok pria tampan yang berdiri di samping wanita itu.
William tersenyum melihat keduanya. Pria itu adalah kekasih Catlyn, pria dari kalangan rakyat biasa yang Catyln cintai dan pada akhirnya mereka bisa bersama atas bantuan darinya. Catyln yang mencintai Hans, meninggalkan status kebangsawanannya dan memilih berbahagia dengan pria yang dicintainya.
Dan kini ia pun ingin melakukan apa yang dilakukan Catyln, melepaskan semua yang dimilikinya, tidak memikirkan kepentingan orang lain, menjadi egois untuk pertama kalinya demi kebahagiaannya sendiri.
"Kenapa kalian di luar? Udara dingin pun tidak baik untuk kalian berdua."
Catyln melirik Hans, "Hans ingin mengatakan sesuatu padamu, My Lord."
Tatapan William beralih pada Hans. Pria itu terlihat sedikit tidak nyaman. William tahu sebabnya bukan karena Hans tidak menyukainya, tapi karena Hans merasa tidak pantas akibat perbedaan status diantara mereka
"Ada apa Hans? Bicaralah jangan ragu."
Hans menatap Catyln, ketika wanita itu mengangguk barulah Hans kembali menatap William lagi dan mengutarakan apa yang seharusnya ia ucapkan sejak awal ia bertemu dengan William.
"Saya ingin berterima kasih pada anda My Lord. Terima kasih karena telah membantu kami hingga kami bisa bersama."
"Kau salah Hans, seharusnya kau berterima kasih pada Catyln karena dialah yang memperjuangkan cinta kalian. Dan aku juga seharusnya yang berterima kasih pada kalian, karena berkat kalian aku memiliki keberanian untuk memperjuangkan cintaku seperti yang kalian lakukan saat ini."
Hans menatap Catyln penuh tanya dan hal itu tidak luput dari perhatian William.
"Catyln menyadarkan kalau cinta harus diperjuangkan dan itulah yang saat ini tengah kulakukan," ucap William hingga membuat perhatian Hans kembali padanya, "Kau beruntung mendapatkan wanita luar biasa seperti Catyln."
Hans tersenyum, meraih bahu Catyln, memeluknya, "Anda benar, My Lord. Saya adalah pria paling beruntung di dunia karena berhasil mendapatkan wanita luar biasa seperti Catyln dan saya yakin wanita yang anda cintai pun adalah wanita yang sangat luar biasa karena berhasil membuat anda rela meninggalkan apapun demi bersamanya."
"Kau benar. Amora adalah wanita yang luar biasa dan sudah seharusnya aku melepaskan apapun yang kumiliki untuk bersamanya tanpa keraguan sedikit pun seperti yang Catyln lakukan denganmu saat ini."
Catlyn dan Hans tersenyum melihat bagaimana tatapan William ketika membicarakan Amora. Keduanya tahu, apa yang William rasakan sama seperti yang saat ini mereka rasakan.
"Bolehkah aku meminta satu hal lagi padamu, My Lord?" tanya Catyln.
"Tentu, katakan saja."
"Jika nanti kami memiliki anak, maukah kau dan istrimu menjadi ayah dan baptis baginya?"
William terdiam sesaat lalu tertawa ketika menyadari sesuatu, "Tentu aku dan istriku akan dengan senang hati menjadi ayah dan ibu baptis bagi anak kalian. Sekarang sebaiknya kalian masuk. Udara dingin tidak baik untuk wanita hamil."
Wajah Catyln dan Hans sontak memerah, tapi mereka tidak membantah ucapan William dan memilih kembali ke dalam setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi pada William.
Sepeninggal keduanya William kembali menatap lautan dihadapannya sebentar lalu memasuki kabin miliknya. Sebentar lagi ia akan tiba di Prancis dan sebentar lagi ia akan kembali bertemu dengan Amora, wanitanya, pemilik hatinya.
Dan ketika saat itu tiba, ia akan memastikan Amora kembali menjadi miliknya meskipun ia harus berlutut memohon belas kasih agar Amora bersedia menerimanya kembali.
**
"Bukankah seharusnya kiriman dari Papa dan Mama tiba hari ini Marta?" tanya Amora ketika melihat Marta tengah membersihkan meja.
Sejak dua bulan meninggalkan London, orang tuanya di London memang rutin mengirimkan berbagai barang yang sekiranya diperlukan Amora di Prancis. Sebenarnya Amora bisa saja membelinya sendiri, tapi kedua orang tuanya bersikeras mengirimkan semuanya dengan alasan tidak ingin Amora yang tengah hamil beraktifitas terlalu berat. Padahal menurut Amora berbelanja bukanlah aktifitas yang berat.
Meskipun tidak terlalu menyukai kekangan orang tuanya, Amora juga tidak ingin mengambil resiko. Jadi selama tinggal di Prancis ia hanya menghabiskan waktunya di dalam rumah, berjalan di halaman belakang setiap pagi dan sore harinya, dan terkadang keluar ke jalanan di depan rumah bersama Marta yang setia menjaganya.
"Jika mengingat surat yang dikirimkan sebelumnya seharusnya memang seperti itu My Lady, tapi sampai sore hari ini belum ada barang yang tiba. Mungkin kapal dari Inggris ke Prancis sedang mengalami kendala jadi barangnya sedikit terlambat."
"Mungkin memang begitu. Cuaca memang kurang bersahabat akhir-akhir ini. Semoga tidak ada kendala yang berarti bagi kapal-kapal yang berlayar," Amora menatap keluar, melihat sinar matahari yang sudah tidak terlalu menyengat, "Aku akan berjalan-jalan di taman belakang. Tolong bawakan teh untukku setelah kau selesai dengan pekerjaanmu."
"Baik My Lady."
Amora tersenyum, berjalan sembari mengusap perutnya yang mulai membuncit. Tidak terlalu besar memang tapi di kehamilannya yang memasuki tiga bulan ini, perutnya cukup terlihat jelas.
Amora menatap perutnya yang membuncit, kedua tangannya mengusap perutnya bergantian.
Keharuan menyeruak setiap kali mengingat apa yang harus dilaluinya untuk sampai di tahap ini. Kehilangan suami sekaligus ayah dari sang anak membuatnya sedih setiap kali mengingat perpisahannya dengan William. Melahirkan dan merawat seorang anak tanpa kehadiran sosok ayah memang tidak akan mudah, tapi Amora sudah bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi sang buah hati. Ia akan bertindak sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi sang anak, karena mengharapkan kehadiran William tidak akan pernah bisa terwujud.
William saat ini pasti sedang berbahagia dengan istri barunya yang muda dan cantik, dan mungkin saja saat ini mereka tengah bersiap menyambut kehadiran buah hati mereka seperti yang dilakukannya saat ini. Ketidakdatangan William mencarinya adalah bukti konkret dari kenyataan yang saat ini tengah terjadi. William telah melupakannya dan pria itu telah berbahagia dengan istri barunya.
Menyakitkan memang, tapi begitulah kenyataannya. Kehidupan pernikahannya yang bahagia kini hanya menjadi kenangan yang indah sekaligus menyakitkan untuk di kenang. Pernikahannya dengan William menyisakan luka yang mungkin tidak akan pernah bisa disembuhkan.
Amora menghela napas. Dua bulan berpisah dari William, tidak serta merta membuatnya melupakan pria itu. William ada pria yang dicintainya, suaminya. Sayangnya cinta yang dimilikinya ternyata tidak cukup untuk membuat William mempertahankan dirinya. Ia tidak menyalahkan William atas apa yang telah terjadi. Ia tahu William pun sangat mencintai dirinya, tapi keadaanlah yang tidak memungkinkan untuk mereka bersama. Keadaan yang membuat mereka harus berpisah meskipun ada cinta diantara keduanya.
Bukankah takdir begitu kejam? Memang.
Bahkan karena kekejaman takdir itulah terkadang Amora berpikir betapa tidak adilnya sistim kemasyarakatan dimana ia berada saat ini. Dimana status kebangsawanan yang dimiliki membuat seseorang terkadang mengorbankan hidup dan kebahagiaannya demi orang lain.
Tidak ada suami istri di dunia ini yang tidak menginginkan kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka, tapi bukankah memiliki keturunan adalah takdir Tuhan? Jika Tuhan mentakdirkan pasangan itu untuk tidak memiliki keturunan haruskah manusia menyalahkan pasangan itu dan memisahkan keduanya?
Seharusnya tidak, tapi dalam kasusnya tidak ada pilihan lain selain perpisahan. Sekali lagi itu menyakitkan, terlalu menyakitkan untuk diingat kembali.
Kehilangan pria yang sangat dicintainya tidak mudah bagi Amora, ia nyaris putus asa menyalahkan dunia atas takdir kejam yang dijalaninya, tapi semua itu hanya sebentar karena sejak mengetahui dirinya hamil Amora tidak lagi terlalu terpuruk dalam kesedihan. Ia sudah memiliki bagian lain dari William yang akan selalu menemaninya dan semua itu sudah lebih dari cukup.
Tujuan hidup Amora tidak lagi demi kebahagiaan dirinya, melainkan demi sang buah hati. Ia tidak akan bersedih lagi, demi anaknya, demi kehidupan mereka kedepannya.
"Seandainya saja keadaan tidak seperti ini, Papamu adalah orang yang paling berbahagia ketika mengetahui kehadiranmu. Meskipun Papa tidak mencarimu Mama akan selalu menceritakanmu tentang Papa jika nanti kau bertanya."
Amora menghela napas, "Papa menyayangimu dan Mama juga menyayangimu. Tumbuhlah dengan sehat dan kuat agar kau bisa menemani Mama. Kita akan saling menjaga, kau dan Mama, kita akan saling bersama."
Cairan bening hangat membasahi pipi Amora ketika lagi-lagi ia membayangkan ada William yang akan memegang tangannya sembari berjalan. Amora menghapus air matanya, menghela napas beberapa kali menghilangkan perasaan sedih yang tiba-tiba saja kembali dirasakannya dan kembali melanjutkan perjalanan. Sekali lagi mengelilingi halaman belakang sebelum duduk menikmati sore hari sembari minum teh, kebiasaan rutin yang dilakukannya setelah berjalan-jalan.
Amor berjalan sembari mengusap perutnya. Ia memekik ketika tanpa sengaja kakinya menginjak bagian tanah yang licin hingga membuat keseimbangannya goyah. Ia sudah akan terjatuh ketika sebuah tangan kekar dan besar menahan tubuhnya dari belakang. Mengembalikan kembali keseimbangannya yang sempat hilang.
Tubuh Amora berubah tegang. Bukan karena ia hampir terjatuh, tapi karena aroma yang kini mengisi penciumannya. Aroma yang tidak mungkin pernah dilupakannya.
Amora sempat mengira dirinya sedang berhalusinasi, jadi hal itu langsung terpatahkan ketika sosok itu memutar tubuhnya hingga mereka kini berhadapan. Amora bisa melihat dengan jelas, wajah pria yang selalu mengisi relung hatinya. Tidak ada yang berubah, hanya terlihat sedikit kurus dan ada gurat lelah serta kekhawatiran yang begitu kentara dari sorot mata tajam miliknya.
"Kau baik-baik saja?"
Amora hanya mengangguk, masih sulit mempercayai sosok di depannya.
William menghela napas lega. Perlahan raut khawatir yang sebelumnya dilihat Amora menghilang tergantikan dengan sorot mata penuh kerinduan.
A
mora memundurkan tubuhnya hingga rengkuhan tangan besar William di pinggangnya terlepas. Ada ketidakrelaan yang dirasakannya ketika kenyamanan dari tangan besar itu menghilang dari tubuhnya. Tapi apa boleh buat, dirinya dan William bukan lagi suami istri. Pria itu adalah suami wanita lain, bukan dirinya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Menemuimu," jawab William dengan nada tidak suka akibat Amora yang menjauh darinya dan cara wanita itu yang mengeratkan mantel yang dikenakannya untuk menyembunyikan perutnya yang sejak tadi dilihat William ketika Amora mengusapnya.
"Untuk apa? Sebaiknya kita bicara di dalam agar Marta bisa menemani. Sangat tidak baik jika ada yang melihat kita berduaan seperti ini meskipun ini adalah rumahku."
"Tidak!" William menahan tangan Amora ketika wanita itu beranjak pergi, "Kita bicara di sini."
"Apa yang sebenarnya ingin anda bicarakan My Lord?"
William tidak langsung menjawab. Ia memangkup wajah Amora dengan kedua tangan besarnya, "Aku datang untuk menemuimu dan membawamu kembali. Bukan hanya karena kehamilanmu, tapi karena nyatanya aku tidak bisa tanpa dirimu, Amora"
"Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang kau bicarakan saat ini, My Lord. Kau sudah menikah, tidak seharusnya kau berbicara seperti ini padaku."
"Aku sudah membatalkan pernikahan itu," wajah terkejut Amora membuat William kembali melanjutkan ucapannya, "Iya aku membatalkannya di malam yang sama dimana seharusnya menjadi malam pertamaku dengan wanita yang menjadi istriku. Aku membatalkan pernikahan itu, sebelum aku tahu kau mengandung anakku."
"Tapi kenapa? Bagaimana dengan keluargamu dan kenapa kau baru mencariku sekarang?"
"Seperti yang aku bilang sebelumnya padamu, aku tidak bisa tanpa dirimu. Hidupku terasa tidak lagi berarti sejak kehilanganmu. Aku seperti tubuh tanpa jiwa karena separuh jiwaku telah ikut pergi bersamamu. Aku mencarimu malam itu, tapi kau tidak ada. Papamu mengatakan kau sudah pergi dan bersikeras merahasiakan keberadaanmu padaku," William mengusap pipi Amora, "Bukan hal yang mudah untuk membuat ayahmu memberitahuku dimana kau berada, itulah penjelasan kenapa kau harus menunggu begitu lama untuk mendatangimu."
Tidak sulit membayangkan apa yang akan dilakukan ayahnya pada sosok William. Ayahnya terlalu meyayangi dirinya, dan menurutnya William sudah menyakiti putrinya jadi ia bisa membayangkan kerasnya perjuangan yang dilakukan William untuk meluluhkan ayahnya hingga pria itu kini berdiri dihadapannya.
"Aku mencintaimu, kembalilah. Kita mulai semuanya dari awal lagi."
"Apa semua yang kau lakukan saat ini karena aku tengah mengandung?"
"Bukan. Aku membatalkan pernikahanku sebelum aku tahu kau mengandung anakku dan alasanku melakukannya karena aku mencintaimu. Bahkan jikapun kau tidak hamil sekalipun, aku akan tetap kemari dan memohon kesediaanmu untuk kembali padaku. Kali ini saja, aku ingin bersikap egois demi kebahagiaanku sendiri. Aku tidak peduli dengan apapun, alasankan kau bersamaku maka yang lain bukan masalah."
"Will..."
William berlutut, menggenggam erat kedua tangan Amora, "Aku tahu kesalahan yang kubuat dengan melepaskanmu begitu saja menyakitimu tapi percayalah hal itu juga menyakitiku. Kau adalah belahan jiwaku, pemilik hatiku kekasihku, hidupku tidak akan berarti tanpa kehadiranmu. Kembalilah padaku Amora, aku mohon."
Amora mengigit bibirnya. Air matanya mengalir tanpa bisa di cegahnya. Kedatangan William serta apa yang pria itu katakan mengejutkannya. Ia tidak pernah menyangka William akan memilihnya dan rela melepaskan semua yang pria itu miliki demi kebersamaan mereka.
"Bangunlah Will."
"Aku tidak akan bangun sebelum kau memberiku kesempatan."
Amora menatap William. Kesungguhan dan cinta jelas terlihat dari mata indah pria yang dicintainya itu. Ia mencintai William dan hidup tanpa William bukanlah hal yang mudah baginya, jadi apalagi yang harus di pikirkannya? Tidak ada, jawabannya tidak ada. Kembali pada William dan memulai semuanya dari awal adalah pilihan terbaik bagi mereka.
Selama masih ada cinta, maka semua akan mudah.
Amora menghela napas. Ia berlutut di depan William, memangkup wajah pria itu dengan kedua tangan mungilnya, "Aku juga tidak bisa tanpamu Will. Hidupku tidak pernah lagi sama setelah kita berpisah. Jadi, ayo kita mulai semuanya dari awal, kita jalani pernikahan kita dengan penuh cinta seperti yang pernah kita lakukan sebelumnya."
Senyum terkembang di wajah tampan William. Dengan cepat ia meraih Amora ke dalam pelukannya. Membiarkan air matanya mengalir dengan sendirinya. Membiarkan keharuan menguasai dirinya.
Ia mengurai pelukannya, mencium kening Amora lama sebelum mengatakan kalimat yang mewakili betapa bahagianya ia bisa kembali bersama dengan Amora, belahan jiwanya.
"Aku mencintaimu, Amora, sayangku."
"Aku juga mencintaimu, William Claypole, suamiku."
Keduanya tersenyum. William mencium bibir Amora perlahan. Meluapkan segala rasa yang memenuhi hatinya. Mengungkapkan betapa ia mencintai wanita itu melalui penyatuan bibirnya dan Amora.
Ciuman penuh keharuan itu diakhiri William dengan mencium kening Amora lama sebelum beralih pada perut Amora yang membuncit.
"Aku mencintaimu dan aku bersumpah tidak akan pernah melepaskanmu lagi apapun yang terjadi," tangan besar William memangkup wajah Amora, "Kau adalah hidupku, kehilanganmu sama saja dengan kehilangan separuh jiwaku. Aku hancur jika tidak bersamamu. Berjanjilah, apapun yang terjadi kau tidak akan pernah meninggalkanku."
"Aku berjanji karena aku mencintaimu."
Keduanya tersenyum.
William merengkuh Amora ke dalam dekapannya. Memeluk erat wanita yang dicintainya.
Ia tidak akan pernah melepaskan Amora lagi. Ia tidak akan pernah mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Ia bersumpah akan selalu membahagiakan Amora, dan menghiasi hidup wanita itu dengan canda dan tawa penuh kebahagiaan.
Amora adalah hidupnya dan ia hidup untuk Amora... Amora dan bagian dari mereka berdua. Buah hatinya, bukti cintanya dengan wanita yang sangat dicintainya.
Amora Hill akan selamanya menjadi pemilik hatinya, tak tergantikan meskipun maut memisahkan mereka kelak.
Lbk
====250619====
Alhamdulillah sudah end yah, gk ada tambahan lagi.. Hee
Thanks yang udah baca dan kasih support, di tunggu kisah selanjutnya yah kalau ada ide.. Hee
Salam hangat aokirei12
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top