1. Beautiful Pain (Amora)

Idenya tiba-tiba saja muncul ketika bangun tadi. Ini oneshot yah, jadi harap maklum. Aku disini hanya sedikit mau menggambarkan perasaan seorang wanita.. Hee
Hope you like this story.
Happy reading.
Salam hangat aokirei12 😘

=====



Seharusnya tidak seperti ini...

Seharusnya tidak begini...

Seharusnya tidak seperti ini...

Seharusnya tidak begini...

Berulang kali aku mengatakan kalimat itu setiap kali mengingat apa yang telah terjadi padaku. Rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Aku memandangi keramaian yang terjadi di kejauhan. Suara musik, obrolan dan tawa terdengar memekakan telingaku. Mereka tidak menyadarinya, tidak ada satupun yang akan menyadari keberadaanku karena hari ini, aku tidak menjadi bagian dalam kebahagiaan yang tengah terjadi.

Aku adalah tamu yang tak di undang. Seorang wanita yang seharusnya tidak ada di sini. Seorang wanita yang seharusnya pergi dan menghilang.

Tapi aku melanggarnya. Aku datang. Aku memaksakan diri untuk melihat apa yang terjadi. Aku memaksakan diri melihat kebahagiaan yang tengah berlangsung.

Aku memaksakan diri... meskipun hal itu teramat sangat menyakitkan hatiku.

Aku hanyalah seorang wanita biasa. Bukan sang penakluk, bukan pula wanita super yang memiliki kekuatan untuk menghadapi rasa sakit.

Aku hanyalah wanita biasa.

Seorang wanita yang pada akhirnya dicampakkan setelah dianggap tidak lagi berguna.

Aku hanyalah wanita biasa.

Seorang wanita yang hanya bisa menyalahkan takdir hidupku tapi tidak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya.

Aku hanyalah wanita biasa.

Seorang wanita yang hanya bisa berdiri di kejauhan dan menatap kebahagiaan yang tengah berlangsung tanpa bisa melakukan apapun.

Aku hanyalah wanita biasa.

Seorang wanita yang terluka, kecewa dan hancur karena takdir tidak berpihak pada cintanya.

Akulah Amora Hill.

Seorang wanita yang memiliki mimpi tentang pernikahan yang akan membuatnya bahagia sepanjang sisa usianya.

Tapi bukankah aku mengatakan takdir tidak berpihak pada kisah cintaku? Memang begitulah yang terjadi. Berbanding terbalik dengan namaku... Amora yang berarti cinta. Sayangnya cintaku tidak lagi memberikan kebahagiaan.

Aku mencintai pria itu, pria yang tengah tertawa bersama wanita cantik dan muda yang kini tengah menjadi istrinya. Pria yang dulu adalah... suamiku.

Semua karenaku, karena ketidakmampuanku untuk memberikannya keturunan membuat keluarga besarnya mengambil tindakan untuk memisahkan kami.

Kejam.

Tapi begitulah kenyataannya.

Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu bagaimana inginnya aku memiliki anak, memiliki keturunan seperti orang lain.

Mereka tidak mengerti.

Bukankah semua itu Tuhan yang menentukan?

Tidak ada manusia yang bisa menciptakan sebuah nyawa. Tapi kenapa masih banyak orang-orang yang menyalahkan seorang wanita yang tak kunjung bisa hamil?

Lima tahun. Lima tahun aku bersamanya. Membingkai perjalanan rumah tangga kami dalam lukisan kebahagiaan. Tapi ternyata hal itu tidak pernah cukup, karena menurut keluarganya dan mungkin juga dirinya kehadiran seorang anaklah yang menentukan kebahagiaan dalam rumah tangga.

Tapi bukankah kehadiran seorang anak hanyalah bonus dalam sebuah pernikahan dari Tuhan? Tujuan pernikahan adalah untuk menyatukan dua orang, menjadi teman sepanjang hidupnya yang akan selalu menemani dalam susah maupun senang, dalam sakit maupun sehat sampai ajal memisahkan.

Bukankah sebuah pernikahan harusnya seperti itu?

Tapi kenapa banyak orang-orang yang tidak mengerti.

Apakah harus kebahagiaan sebuah pernikahan di ukur dari kehadiran seorang anak?

Jika jawabannya iya, lalu pada siapa, kami para wanita yang tidak bisa menjadi seorang ibu harus mengadu? Bukankah Tuhan sudah menentukan nasib setiap orang sejak dalam kandungan? Seharusnya setiap manusia juga menerima takdir yang telah Tuhan gariskan dan bukannya malah menghakimi sesama manusia hanya karena ketikmampuannya memiliki anak.

Tapi tidak, hal itu tidak terjadi padanya. Takdirnya justru membuatnya sakit. Ia menderita. Terluka karena takdir hidupnya yang tidak baik. Takdir yang membuatnya kebingungan.

"Kau tahu aku mencintaimu Amora. Aku bahkan sangat mencintaimu," William menggenggam tangan Amora dengan erat, "Tapi keharusanku untuk memberikan keturunan pada keluarga ini, dan meneruskan gelar kebangsawanan ini membuatku tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak bisa menolak tuntutan keluargaku. Terlalu banyak yang harus dikorbankan jika aku tidak mengambil tindakan ini."

"Dan pada akhirnya kau mengorbankan wanita yang telah berjanji sehidup semati denganmu, My Lord."

Air mata Amora mengalir. Ia tidak sanggup lagi menahan kesedihan yang dirasakannya. Desakan dari keluarga William membuatnya tak bisa lagi mengelak. Ia tahu, cepat atau lambat semua akan terjadi. Ia bukannya tidak bisa memiliki keturunan, tapi hanya sedikit tidak subur. Sayangnya keluarga besar William tidak bisa menunggu lebih lama lagi, mereka terus mendesak. Mereka tidak ingin kehilangan harta dan kekuasaan yang mereka miliki jika William tidak juga memiliki anak. Mereka tidak mau mengambil resiko, begitulah yang mereka katakan.

"Maafkan aku Amora, sayangku."

Amora menghapus air matanya. Ia tahu tidak bisa menyalahkan William atas apa yang terjadi. Kesalahan ada padanya karena tidak bisa memberikan pria yang dicintainya keturunan. Ia mencintai William, tapi ia tidak ingin menjadi wanita egois, karena keegoisannya untuk mempertahankan cintanya hanya akan mengorbankan semua orang.

Ia meraih kertas yang diletakkan William di atas meja, membubuhkan tangan tangan serta stempel miliknya lalu menyerahkannya pada William yang kini tidak bisa menyembunyikan keterkejutan yang dirasakannya.

"Aku menyetujui perceraian kita dan sekarang aku..." Amora menghampus air mata yang mengalir di pipinya, "Kau dan aku tidak lagi terikat dalam ikatan pernikahan My Lord. Kau bebas menikah dengan wanita yang telah dipilihkan untukmu. Aku pergi."

Amora berdiri hendak melangkah pergi, tapi William dengan cepat menahan tangannya, "Aku akan mengantarmu."

Amora menggeleng. Ia melepaskan tangan William yang menahan pergelangan tangannya. Inilah terakhir kali ia bisa menyentuh pria yang kini tidak lagi menjadi suaminya itu. Kenyataan itu membuat air mata Amora kembali membasahi pipinya.

"Jangan membuatku semakin sulit untuk melupakanmu, My Lord. Kau tahu betapa aku mencintaimu dan cinta itulah yang pada akhirnya membuatku rela melepaskanmu. Aku tidak ingin kau menderita. Aku tidak ingin kau terluka. Tapi biarkan aku sendiri dalam kesendirian yang kau berikan. Jangan membuatku semakin terluka karena perlakuan baikmu padaku."

Amora menatap William selama sesaat. Merekam wajah pria yang telah menjadi suaminya selama lima tahu terkahir dalam hidupnya, membawanya menjadi kenangan yang akan selalu diingatnya.

"Aku pergi dan terima kasih atas semua yang telah kau berikan untukku selama ini."

"Aku mencintaimu, Amora."

Air mataku mengalir ketika mengingat apa yang telah terjadi seminggu yang lalu. Bagaimana akhirnya kisah cintaku harus berakhir begitu saja.

Seminggu telah berlalu dan aku masih di sini, di tempat yang sama tidak beranjak sedikit pun seperti yang dilakukan semua orang di dalam pesta itu. Aku terpaku pada masa lalu yang tidak pernah ingin aku lupakan.

"Anda bisa sakit jika tidak memakai mantel anda My Lady."

Suara lembut Marta, pelayan pribadiku menyadarkanku dari lamunan panjangku. Aku menoleh padanya ketika dengan perlahan ia menyampirkan mantel tebal di tubuhku yang memang sudah mulai kedinginan. Aku tidak menyadarinya sama sekali karena satu-satunya yang menjadi fokusku adalah pesta pernikahan yang kini tengah berlangsung.

"Kita harus kembali My Lady. Apa anda masih ingin berada di sini?"

Rasanya aku ingin mengatakan iya, tapi aku sadar itu tidak bisa kulakukan. Aku harus pergi jika tidak ingin terlambat.

"Apa kau sudah memberikan surat yang kutulis pada kepala pelayan His Lordship?"

"Sudah My Lady. Robert bahkan akan memastikan memberikan sendiri surat dari anda ketika saya mengatakan bahwa ini sangat penting."

"Aku tidak salah kan Marta?" tanyaku sesaat ketika keraguan menghampiriku. Aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang kini tengah terjadi, tapi bukankah suamiku atau lebih tepatnya mantan suamiku berhak mengetahui yang sebenarnya?

"Anda tidak salah My Lady. Anda sudah melakukan hal yang benar. Bagaimana pun juga His Lordship berhak mengetahui apa yang tengah terjadi pada anda saat ini."

Aku mengulas senyum tipis lalu berbalik, keluar dari persembunyianku di balik pohon besar dan berjalan menjauh. Meninggalkan hiruk pikuk pesta pernikahan yang tengah berlangsung.

Semua telah berakhir. Aku memutuskan untuk pergi dan memulai hidup baruku. Di tempat baru. Tempat yang telah dipilihkan orang tuaku. Tempat yang mereka pikir bisa membantuku melupakan rasa sakit yang kurasakan.

Tapi mereka salah.

Mungkin aku bisa melupakan rasa sakitku, tapi cintaku akan selalu kuberikan untuk satu-satunya pria yang kucintainya. Hanya saja kali ini aku pastikan akan membaginya dengan satu-satunya bagian dari pria itu yang tengah berjuang hidup dalam perutku.

Yah, aku hamil dan aku baru mengetahuinya pagi tadi ketika aku tiba-tiba saja tidak sadarkan diri.

Bukankah takdir hidupku sangat aneh?

Lima tahun aku menanti untuk memiliki kesempatan ini, dan ketika kesempatan itu datang aku malah harus kehilangan pernikahanku.

Aku tidak mungkin mengatakan kehamilanku dan menghancurkan pernikahan yang tengah disiapkan keluarga besarnya. Aku tidak ingin membuatnya semakin merasa bersalah. Aku memilih pergi seperti yang diinginkan keluarganya dan menata kembali kehidupanku dengan bayi yang saat ini tengah aku kandung.

William akan tahu kehamilanku, itulah yang aku pastikan. Memberitahunya setelah ia menikah adalah satu-satunya solusi yang kupikirkan meskipun kedua orang tuaku bersikeras untuk tidak memberitahu William apa yang terjadi padaku.

Tapi sekali lagi aku berpikir William berhak tahu karena anak yang saat ini tengah kukandung adalah anaknya juga. Meskipun kenyataan itu tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi.

Kami telah berpisah dan keputusanku untuk pergi telah final.

Aku akan memulai hidup baruku dengan anak yang kini tengah aku kandung. Anak yang merupakan bukti terakhir kalau dulu kami pernah bersama dalam ikatan suci pernikahan.

Aku mencintaimu William... Aku mencintaimu William Claypole. Aku mencintaimu My Lord.


====020619====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top